Wednesday, August 25, 2010

SUSAH MENOLAK COKLAT?

Siapa yang bisa menolak minuman coklat panas di saat hujan deras begini? Sebagian lagi mengeluhkan

sulitnya stop makan cokelat. Hanya orang dengan niat nekat diet ketat saja yang mampu menolak makanan ini. Benarkah?

Ternyata, memang tidak ada makanan yang dapat menggantikan keinginan untuk makan cokelat, kecuali cokelat itu sendiri. Demikian Elisabeth Somer, MA RD, penulis buku "Food & Mood: The Complete Guide to Eating Well and Feeling Your Best". Dalam sebuah studi, penggemar cokelat diberi cokelat susu, cokelat putih, atau bubuk cokelat. Ternyata yang dirasakan dapat benar-benar menggantikan cokelat adalah cokelat susu.

Mengapa hampir semua orang suka coklat?

Kegemaran akan makanan tertentu ditimbulkan oleh keseimbangan zat-zat kimiawi dalam otak yang disebut neurotransmitter. Dan cokelat tampaknya mempengaruhi hampir semua reseptor otak, sehingga keinginan untuk makan makanan yang satu ini biasanya sangat sulit ditahan.

Makan coklat tidak akan menimbulkan kecanduan, tetapi bagi sebagian orang rasa coklat yang enak mungkin menyebabkan kerinduan untuk mengkonsumsinya kembali. Ini yang disebut chocolate craving. Dampak coklat terhadap perilaku dan suasana hati (mood) terkait erat dengan chocolate craving. Rindu coklat bisa karena aromanya, teksturnya, manis-pahitnya dsb. Hal ini juga sering dikaitkan dengan kandungan phenylethylamine (PEA) yaitu suatu substansi mirip amphetamine yang dapat meningkatkan serapan triptofan ke dalam otak yang kemudian pada gilirannya menghasilkan dopamine. Dampak dopamine adalah muncul perasaan senang dan perbaikan suasana hati. Phenylethylamine juga dianggap mempunyai khasiat aphrodisiac yang memunculkan perasaan seperti orang sedang jatuh cinta (hati berbunga). Konon Raja Montezuma di jaman dahulu selalu mabuk minuman coklat sebelum menggilir harem-haremnya yang berbeda setiap malam. ;)

Selain itu, cokelat juga mengandung theobromin Dan kafein, yang akan memacu enerji dan menimbulkan efek terjaga. Jadi, kalau sedang lemburan dan ngantu-ngantuk, bolehlah secangkir minuman coklat atau sepotong permen coklat sebagai dopping. :D

Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa semakin keras Anda berusaha menjauhi cokelat, justru semakin besar keinginan untuk mengkonsumsinya.

Lalu benarkah coklat harus dihindari? Coklat membahayakan kesehatan seperti kata orang selama ini? Ada benarnya, ada juga tidaknya.

Kata coklat berasal dari xocoatl (bahasa suku Aztec) yang berarti minuman pahit. Ini merujuk kepada rasa asli biji coklat yang sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi setelah melalui rekayasa proses dapat dihasilkan coklat sebagai makanan yang disukai oleh siapapun. Biji coklat mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%. Protein coklat kaya akan asam amino triptofan, fenilalanin, dan tyrosin.

Di Amerika Serikat konsumsi coklat hanya memberikan kontribusi 1% terhadap intake lemak total sebagaimana dinyatakan oleh National Food Consumption Survey (1987-1998). Jumlah ini relatif sedikit khususnya bila dibandingkan dengan kontribusi daging (30%), serealia (22%), dan susu (20%). Lemak pada coklat, sering disebut cocoa butter, sebagian besar tersusun dari lemak jenuh (60%) khususnya stearat. Tetapi lemak coklat adalah lemak nabati yang sama sekali tidak mengandung kolesterol. Untuk tetap menekan lemak jenuh agar tidak terlalu tinggi, ada baiknya membatasi memakan cokelat hanya satu potong saja per hari.

Telah lama diketahui bahwa stearat adalah asam lemak netral yang tidak akan memicu kolesterol darah. Mengapa? Stearat ternyata dicerna secara lambat oleh tubuh kita dan juga diabsorpsi lebih sedikit.

Sepertiga lemak yang terdapat dalam coklat adalah asam oleat yaitu asam lemak tak jenuh. Asam oleat ini juga dominan ditemukan pada minyak zaitun. Studi epidemiologis pada penduduk Mediterania yang banyak mengkonsumsi asam oleat dari minyak zaitun menyimpulkan efek positip oleat bagi kesehatan jantung.

Kalau memang coklat baik untuk kesehatan, lalu seberapa banyak kita boleh mengkonsumsi coklat? Tidak ada anjuran gizi yang pasti untuk ini, namun demikian makan coklat 2-3 kali seminggu atau minum susu coklat tiap hari kiranya masih dapat diterima. Prinsip gizi sebenarnya mudah yaitu makanlah segala jenis makanan secara moderat. Masalah gizi umumnya timbul bila kita makan terlalu banyak atau terlalu sedikit (kekurangan).

Hanya saja coklat perlu diwaspadai, khususnya bagi orang-orang yang rentan menderita batu ginjal. Konsumsi 100 g coklat akan meningkatkan ekskresi oksalat dan kalsium tiga kali lipat. Oleh karena itu kiat sehat yang bisa dianjurkan adalah minumlah banyak air sehabis makan coklat.

Belum ada bukti bahwa coklat menyebabkan timbulnya jerawat.Masalah yang ditimbulkan oleh coklat adalah adanya penambahan gula dan susu yang berlebihan dalam mengolah coklat. Jadi, untuk mendapatkan efek positif dari coklat, pilihlah coklat yang dengan gula dan susu paling minimal. Biasanya adalah jenis dark chocolate.

Selamat menikmati secangkir minuman coklat panas tanpa cemas..

Disarikan dari berbagai sumber.

Sunday, August 22, 2010

FYI : ASKETISME POLITIK

Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, menyerukan agar para politisi melaksanakan asketisme politik. Lalu apa sih asketisme politik itu? Ada satu artikel di bawah ini yang semoga bisa memberi sedikit gambaran tentang asketisme yang ternyata tidak hanya harus diterapkan dalam kehidupan berpolitik, tapi juga hendaknya dapat mewarnai kehidupan kita sehari-hari.


Asketisme Politik Para Politisi


Oleh: Hajriyanto Y Thohari, MA

KONSEP asketisme (ascetism) memang bisa saja dirujuk ke Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930).

Tetapi dapat juga dirunut dari khazanah sufisme atau tasawuf (mistisisme dalam Islam). Juga, rasanya ada baiknya dalam hidup yang tidak lama (fana)ini kita sesekali menengok khazanah sufisme yang luar biasa kaya dengan tingkat relevansinya yang nyaris abadi dalam kehidupan itu. Istilah asketisme sepadan dengan istilah zuhud (al-zuhd) yang berasal dari khazanah sufisme atau tasawuf.

Kata tasawuf itu sendiri,demikian antara lain menurut Al-Kalabadzi dalam Al-ta’aruf li madzhabi ahli ‘l-tasawuf (1969:6),sebenarnya berasal dari kata al-suf (semacam kain wol yang kasar). Pasalnya, dulu orang-orang yang mempraktikkan ajaran tasawuf itu mempunyai kebiasaan berpakaian wol kasar (al-suf, sehingga karenanya orangnya disebut sufi, atau pengamal tasawuf), sebagai simbol kesederhanaan (antikemewahan).

Walhasil, tasawuf itu sebenarnya dapat juga dibaca sebagai kritik dan protes atas maraknya kemewahan, kemegahan, dan hidup berlebihan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat waktu itu. Inti tasawuf adalah sikap hidup asketis, yaitu meninggalkan kelezatan keduniaan (al-imtimta’ min ladzaidzil dunya) dan menjauhi materi.

Tetapi pada abad-abad berikutnya zuhud atau asketisme itu dipahami sebagai menjauhi dunia dan keramaian,yakni menyepi dan melakukan praktek eskapisme atau alienasi diri dari keramaian dunia sambil melakukan latihan-latihan rohani (riyadhah) dalam rangka untuk menyucikan jiwa. Menurut orientalis Ignas Goldziher, sikap asketis yang ekstrem ini lahir karena perasaan bersalah dan ketakutan yang berlebihan pada siksaan di alam akhirat nanti.

Dalam tulisan ini,istilah asketisme digunakan tidak dalam pengertian menjauhi dunia (politik) secara ekstrem seperti tersebut di atas. Asketisme di sini berarti sikap hidup sederhana, bersahaja (Jawa: prasaja), tidak berlebihan,dan jauh dari sikap hidup berfoya-foya. Asketisme di sini mungkin lebih tepat semacam sikap hidup bersahaja (Jawa: prasaja, sak madyo, dan sak cukupe).

Meskipun mampu untuk hidup mewah, glamor, dan berfoya- foya, tetapi itu tidak dilakukan karena hadirnya kesadaran bahwa sebagai bangsa kita memang masih harus hidup sederhana dan prihatin. Tidak justru hidup ”beringas” tanpa peduli lingkungan sekitar. Sikap hidup beringas ini biasanya dilakukan oleh orang-orang kaya baru (Perancis: nouveau riche).

Khazanah sufisme mengajarkan sikap hidup asketis, bersahaja, sak madyo, kata pujangga Jawa kenamaan, Suryamentaram. Lantas apa yang dimaksudkan dengan asketisme politik dalam tulisan ini? Jawabnya: berpolitik secara bersahaja. Asketisme tidak berarti menjauhi politik, apalagi yang bersifat eskapistis. Sebab eskapisme politik (political escapism), apalagi apatisme politik (political apatism) atau sinisme politik (political cynism), berarti lari dari tanggung jawab.

Para politisi cukup untuk disebut asketis jika dia berpolitik secara bersahaja dan tidak berlebihan, meskipun secara otoritatif mungkin saja dia sangat berhak dan mampu untuk melakukannya. Berpolitik tidak di sembarang tempat dan waktu, tetapi berpolitik secara empan papan. Berpolitik secara asketis dapat diwujudkan dengan tidak menjadikan semua hal sebagai komoditas politik.

Kalau semua hal dipolitisasi atau dimainkan secara politik, itu namanya berpolitik sak kecekele (sekenanya)! Sebagai anggota DPR atau pimpinan partai politik, misalnya, dia bisa saja menjadikan semua hal sebagai komoditas politiknya. Politisi yang memiliki sikap hidup asketis tidak mau melakukan itu karena ingin berpolitik secara empan papan.Tidak semua hal dipolitisasi.

Pasalnya, tidak semua yang bener itu pener (tepat)! Politikus yang tidak memiliki jiwa asketis sangatlah destruktif. Ambisi politiknya menjadi sangat liar. Tidak ada yang dipikirkan dan dikerjakan kecuali bagaimana melakukan muslihat untuk menggoyang kemapanan.

Kerja politik dipahami sebagai menggoyang kemapanan perpolitikan. Setiap hari, isu yang diteriakkan adalah menggoyang kemapanan karena mengira dengan itu semua peluangnya untuk masuk kekuasaan terbuka bagi diri dan kelompoknya. Pertanyaannya kemudian, adakah politikus asketis di sekitar kita dewasa ini? Meski dibandingkan dengan masa-masa sekitar kemerdekaan jumlahnya terus merosot, tetapi melalui interaksi sehari-hari kita bisa menemukannya di sekitar kita.

Mungkin secara persentase atau proporsional sangatlah kecil, apalagi jika dibandingkan dengan kalangan ilmuwan dan intelektual, tetapi secara numerik politikus asketis masih banyak. Mereka bukan hanya ada di parlemen atau partai politik, tetapi juga di pemerintahan. Mereka bukan hanya asketis secara politis, melainkan juga hidup secara asketis. Bahkan, di tengah-tengah rekan-rekannya yang selalu bermanuver politik secara norak dan sak kecekele, mereka tetap saja bersahaja.

Nah, jika jumlah politikus yang memiliki sikap asketis ini semakin besar, baik secara angka maupun proporsi, saya rasa akan besar dampaknya bagi kebaikan bangsa dan negara kita ini: bukan hanya akan mengurangi rasa muak rakyat terhadap politik, melainkan juga meningkatkan rasa respek rakyat terhadap para pemimpinnya karena sama-sama bisa prihatin atas nasib bangsa yang kian terpuruk karena krisis panjang ini.

Dalam konteks Indonesia sekarang ini sampai beberapa tahun mendatang tampaknya sikap hidup asketis semacam itu sungguh sangat diperlukan. Apalagi bagi kalangan para politikus, pejabat negara, dan para elite pemimpin bangsa yang lain. Asketisme relevan pada mereka yang tersebut ini, sebab rakyat kebanyakan by nature memang sudah hidup asketis: menyerahkan soal negara ini kepada para pemimpinnya karena sudah hampir putus asa alias mupus.

Dengan kata lain, rakyat kebanyakan sudah asketis karena terpaksa! Pada saat di mana rakyat sudah menerimakan keadaan ini, sikap hidup asketis di kalangan elite rasanya perlu untuk diamalkan. Tentu,kalau mau! (*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/asketisme-politik-para-po

Hajriyanto Y Thohari, MA
Antropolog dan Pengamat Sosial Keagamaan

Saturday, August 21, 2010

IMO : STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS SEBAGAI UJUNG TOMBAK PENYELENGGARA LAYANAN DASAR TINGKAT PERTAMA DI KABUPATEN BANJARNEGARA



Masalah kesehatan yang utama di Kabupaten Banjarnegara adalah rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari berbagai indikator cakupan hasil kegiatan yang masih di bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang tercantum dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara tahun 2007 – 2009 dan telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara Nomor : 188.4/184. Diantara indikator tersebut adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang dari tahun 2007 dan 2008 terus mengalami peningkatan.

Disamping itu, masih adanya kasus gizi buruk sepanjang tahun 2008 sebanyak 282 kasus (0,56%), kejadian keracunan makanan di beberapa wilayah Puskesmas sebanyak delapan kejadian dengan korban kesakitan 81 orang (tidak ada korban meninggal) dan Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue, dimana sudah muncul kasus penularan setempat. Hal-hal tersebut masih diperburuk dengan masih adanya penyakit menular seperti malaria, TBC Pru dan HIV/AIDS. Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat karena penyakit-penyakit tersebut sangat besar karena penderitanya, yang sebagian besar usia produktif, tidak dapat bekerja maksimal dan kematian para pencari nafkah yang disebabkan oleh penyakit tersebut berakibat pada hilangnya pendapatan masyarakat.

Rendahnya derajat kesehatan masyarakat tersebut, disebabkan oleh : 1) Rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dasar (baik akses terhadap pelayanan maupun akses terhadap program); 2) Rendahnya mutu layanan kesehatan dasar (secara komprehensif yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif); 3) Kurangnya pemahaman perilaku hidup sehat (ditunjukkan dengan cakupan PHBS unuk tingkat Paripurna yang baru mencapai 0,45%); 4) Kurangnya layanan kesehatan reproduksi.

Penyebab rendahnya mutu layanan kesehatan diantaranya adalah terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan kesehatan dan sarana kesehatan. yaang dimaksud dengan terbatasnya jumlah tenaga di sini, disamping karena distribusi yang tidak merata mengenai jenis dan jumlah tenaga di suatu wilayah, juga karena tidak semua tenaga kesehatan memiliki ketrampilan yang sesuai standar minimal yang dipersyaratkan dan komitmen terhadap pekerjaan mereka. Sementara untuk peralatan, obat dan sarana, terutama sarana fisik, sudah cukup memadai.

Menurut data SDKI 2002-2003, masalah utama dalam mendapatkan layanan kesehatan adalah kendala biaya, jarak dan transportasi. Pemanfaatan Rumah Sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan layanan kesehatan di Puskesmas. Mengingat bahwa pendududk miskin di Kabupaten Banjarnegara masih mencapai lebih dari 40%, maka Puskesmas benar-benar menjadi sarana utama bagi sebagaian besar masyarakat Kabupaten Banjarnegara untuk mendapatkan layanan kesehatan. oleh karena itu, peningkatan mutu layanan kesehatan di Puskesmas menjadi pilihan yang logis untuk dijadikan prioritas kegiatan Dinas Kesehatan. Peningkatan mutu layanan ini termasuk dalam strategi yang lebih luas untuk pengembangan Puskesmas secara keseluruhan.

STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS

Strategi pengembangan Puskesmas yang dilaksanakan, dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi Puskesmas untuk mengembangkan diri sesuai potensi masing-masing yang tujuannya adalah peningkatan mutu layanan secara komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip strategi pengembangan Puskesmas. Prinsip-prinsip strategi pengembangan Puskesmas tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pengelolaan Puskesmas dan menjadi salah satu agenda prioritas kegiatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Prinsip-prinsip strategi pengembangan Puskesmas yang harus diperhatikn diantaranya adalah :

1. Mengembangakan dan Mengelola Puskesmas Sebagai Pelaksana Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya kesehatan Perorangan (UKP)

Sesuai fungsinya, Puskesmas merupakan lembaga yang bertanggungjawab menyelenggarakan layanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Layanan kesehatan tersebut meliputi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) sekaligus. Dalam UKP, tujuan utamanya adalah menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan. Layanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan rawat inap. Di UKP lebih ditekankan pada upaya medis teknis. Sementara untuk UKM, tujuan kegiatan yang utama adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Layanan ini bersifat publik (public goods). Yang termasuk dalam layanan ini antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat dan berbagai program kesehatan masyarakat lainnya. Dua tujuan layanan ini apabila tidak dikelola dengan baik, akan timbul permasalahan di belakang hari. Kenyataan di lapangan membuktikan, bahwa semakin maju layanan UKP di dalam gedung Puskesmas, maka layanan UKM banyak yang terbengkalai. Dari permasalahan ini muncul konsep untuk memisahkan antara dua jenis layanan tersebut dalam dua institusi yang berbeda. Contoh untuk pemisahan ini adalah Kabupaten Rembang, dimana untuk pelayanan UKP dan UKM benar-benar terpisah dalam dua lembaga yang berbeda.

Untuk kabupaten Banjarnegara, konsep pemisahan mutlak seperti ini mungkin belum mendesak. Konsep yang lebih cocok dikembangkan adalah pemisahan pengelolaan UKP dan UKM, tetapi masih dalam satu institusi. Pemisahan ini lebih ditekankan pada reformasi organisasi atau restrukturisasi Puskesmas. Konsep Puskesmas Terpadu mungkin perlu kita ingat kembali dan disempurnakan.

2. Mengembangakan dan Mengelola Upaya Pemberdayaan Masyarakat Untuk Kesehatan

Dalam Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, disebutkan bahwa fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan pemberian layanan kesehatan strata pertama (primer). Puskesmas memiliki tanggungjawab agar perorangan, terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hdup sehat dengan memperhatikan situasi dan kondisi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.

3. Mengembangkan dan Mengelola Strategi Kompetisi Dengan Layanan Kesehatan Primer Lainnya

Puskesmas bukanlah satu-satunya pemberi layanan kesehatan primer (strata pertama). Di tengah-tengah masyarakat ada banyak pemberi layanan kesehatan primer lainnya yang langsung berhubungan dengan masyarakat, terutama untuk layanan UKP. Di sana ada dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, Balai Pengobatan dan Klinik swasta serta rumah sakit baik negeri atau swasta yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat layanan rujukan, tapi sering juga memberikan layanan langsung kepada masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat (memberi layanan primer).

Untuk menyikapi ini, karena Puskesmas bukan organisasi yang berorientasi pada keuntungan (finansial), maka Puskesmas harus mampu mengembangkan strategi kompetisi yang sehat, agar layanan puskesmas mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Termasuk dalam hal ini puskesmas harus melakukan “social marketing” untuk memasarkan kegiatan-kegiatannya, terutama kegiatan layanan UKM yang biasanya tidak terlalu digarap serius oleh sektor swasta. Beberapa kegiatan layanan dalam gedung juga memiliki keunggulan. Contohnya adalah kegiatan imunisasi dasar pada bayi. Dibandingkan layanan oleh swasta, Puskesmas memiliki rantai dingin (cold chain) untuk penyimpanan vaksin yang standar yang tidak dimiliki oleh sebagian besar sektor swasta, pemakaian yang sering dan jumlah banyak memungkinkan vaksin di Puskesmas selalu baru. Biayanya juga lebih murah karena merupakan program pemerintah, sehingga pengadaan vaksin dan perlengkapannya mendapatkan subsidi. Tanggung jawab Puskesmas adalah mempertahankan standarisasi tersebut termasuk dalam tindakan pemberian vaksinnya. Ini adalah peluang baik yang dimiliki Puskesmas untuk berkompetisi dengan penyedia layanan primer lainnya.

Disamping dengan sektor swasta, puskesmas juga harus berkompetisi dengan Puskesmas lainnya, terutama di wilayah-wilayah yang saling berbatasan. Untuk ini diharapkan akan ada upaya di tiap Puskesmas untuk meningkatkan mutu layanannya dan setiap Puskesmas diharapkan dapat mengembangkan kegiatan lokal spesifik sebagai ciri khas masing-masing Puskesmas untuk meningkatkan daya saing.

4. Mengembangkan dan Mengelola Kerjasama Dengan Layanan Kesehatan Primer Lainnya

Puskesmas sebagai ujung tombak Pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk menyampaikan dan memberikan program-program layanan kesehatan baik pada perorangan maupun masyarakat. Agar kegiatan-kegiatan tersebut dapat berjalan dan memperoleh hasil seperti yang diinginkan, maka Puskesmas harus membangun kerjasama dengan layanan kesehatan primer lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Kerjasama ini penting supaya tidak terjadi perbedaan yang sangat dramatis untuk penanggulangan masalah penyakit atau kesehatan yang akhirnya akan berdampak buruk pada masyarakat. Contoh, Pengobatan Tuberculosis (TBC) dengan strategi DOTs. Sudah terbukti bahwa pengobatan TBC dengan strategi DOTs lebih efektif daripada strategi konvensional. Kombinasi obat dan cara pemberiannya sudah sangat jelas. Angka kesembuhan juga tinggi (lebih dari 90%). Tapi sayang, tidak semua penderita TBC diobati dengan strategi DOTs, terutama mereka yang berobat ke layanan swasta. Pengobatan yang diberikan msih sangat bervariasi, kadang malah sub-standar. Salah satu penyebabnya adalah karena Puskesmas tidak melibatkan layanan swasta dengan memberikan informasi dan fasilitasi sarana (obat) untuk pengobatan penderita TBC dengan strategi DOTs. Aibatnya banyak penderita TBC yang tidak mengalami kesembuhan karena drop out minum obat, bahkan muncul resistensi kuman terhadap obat. Karena itu kerjasama menjadi sangat penting supaya capaian program bisa berhasil.

Kerjasama lain yang harus dikembangkan misalnya dalam hal pencatatan dan pelaporan. Sesuai dengan asasa kerja Puskesmas yang berbasis kewilayahan, maka Puskesmas merupakan penanggung jawab seluruh kegiatan yang berhubungan dengan upaya peningkatan layanan kesehatan di wilayahnya. Selama ini, layanan kesehatan yang dilakukan oleh sektor swasta sering tidak terpantau oleh Puskesmas karena belum ada sistem pencatatan dan pelaporan yang baku dari sektor swasta untuk melaporkan kegiatannya ke Puskesmas. Begitu juga dengan rumah sakit yang tidak melaporkan kegiatannya ke Dinas Kesehatan. hal ini menyebabkan kita banyak kehilangan banyak data yang sangat penting untuk untuk perencanaan kegiatan dan pengambilan keputusan guna menentukan suatu kebijakan. Oleh karena itu kerjasama dalam hal ini perlu ditingkatkan, misalnya dengan menetapkan suatu standar sistem pelaporan tentang kegiatan layanan kesehatan di seluruh wilayah kabupaten.

5. Mengembangkan dan Mengelola Layanan Kesehatan Lokal Spesifik

Penting bagi puskesmas untuk mengembangkan kegiatan lokal spesifik sebagai ciri khas layanan kesehatan Puskesmas tersebut. Layanan yang dikembangkan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, baik lingkungan geografis, demografis maupun sosial budaya. Ini dimaksudkan agar agar Puskesmas mampu memberikan pilihan kepada masyarakat mengenai layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini juga dapat menjadi nilai lebih untuk meningkatkan daya saing Puskesmas bersangkutan. Contoh kegiatan lokal spesifik yang dapat dikembangkan oleh Puskesmas sangat banyak, diantaranya pada Puskesmas yang kondisi geografisnya sangat rawan terjadi bencana alam (misal : Banjarmengu, Batur, Pejawaran, Kalibening, dan lain-lain) dapat mengembangkan layanan manajemen faktor resiko terutama untuk faktor resiko bencana.

Puskesmas – puskesmas yang kesulitan mengembangkan kegiatan kuratifnya dapat mengembangkan kegiatan promotif preventif sebagai ciri khas layanan kesehatan di Puskesmas tersebut, misalnya Puskesmas sebagai Pusat Informasi Kesehatan yang dapat diakses oleh siapa saja. Puskesmas dapat juga mengembangkan UKBM-UKBM yang ada di wilayahnya menjadi kegiatan andalan dan sebagai bentuk layanan kesehatan yang mengupayakan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan.

Puskesmas yang berada di jalur jalan raya yang ramai dan rawan kecelakaan dapat mengembangkan Kegiatan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan yang berbasis masyarakat sehingga dapat mengurani angka kesakitan dan kematian karena pertolongan awal yang tidak tepat. Puskesmasnya sendiri dapat mengembangkan diri sebagai layanan dasar untuk Trauma Center.

Masih banyak kegiatan lain yang dapat dikembangkan oleh Puskesmas sesuai kreativitas dan inovasi masing-masing, tanpa meninggalkan aturan yang berlaku. Dengan begitu, Puskesmas akan memiliki satu bentuk layanan kesehatan yang khas yang dibutuhkan oleh masyarakat dan diharapkan masyarakat akan mengenali Puskesmas tersebut dengan bentuk layanan khas yang dimilikinya, tanpa meninggalkan peran puskesmas secara utuh.

6. Mengembangkan dan Mengelola Layanan Rawat Jalan dan Rawat Inap Untuk Penyakit/Kondisi Kesehatan Kronik dan Akut

Adanya perubahan yang pesat terhadap teknologi membawa dampak besar tehadap perilaku sosial budaya masyarakat, yang imbasnya adalah perubahan pola penyakit di masyarakat. Bila pada awalnya UKP Puskesmas dirancang untuk menangani masalah kesehatan atau penyakit akut di masyarakat, saat ini harus mulai memberikan porsi yang lebih besar untuk masalah kesehatan atau penyakit kronik karena epidemiologi penyakit sekarang mulai bergeser, dimana kasus penyakit kronik mulai meluas dan penyakit akut belum hilang. Hal ini menjadi beban ganda untuk penanggulangan penyakit di masyarakat.

7. Mengembangkan dan Mengelola Pembiayaan Upaya Kesehatan Perorangan, Masyarakat dan Manajemen Keuangan

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab rendahnya derajat kesehatan masyarakat adalah masalah rendahnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang bermutu. Akses yang dimaksud di sini adalah biaya, jarak dan transportasi. Biaya untuk mendapatkan layanan kesehatan masih merupakan masalah, terutama untuk masyarakat miskin. Sampai saat ini jumlah masyarakat miskin di Kabupaten Banjarnegara masih di atas 40%, dari jumlah tersebut belum seluruhnya memiliki Kartu Jaminan Layanan Kesehatan dari pemerintah (Jamkesmas). Dana pemerintah daerah yang disediakan untuk mendukung layanan penduduk miskin non kuota (yang tidak memiliki Jamkesmas) masih jauh dari kebutuhan. Sehingga masyarakat miskin semakin tidak mampu mengakses layanan kesehatan dari sisi biaya. Dengan model pembayaran langsung (out of pocket) untuk layanan kesehatan seperti sekarang ini, hanya mereka yang memiliki uang sajalah yang mampu mendapatkan layanan kesehatan setiap saat mereka membutuhkan. Di lain pihak, masyarakat belum terbiasa menabung untuk dana cadangan apabila sewaktu-waktu membutuhkan layanan kesehatan. terutama untuk masyarakat miskin yang untuk memenuhi kebutuhan dsasarnya saja sudah sangat kesulitan.

Karenanya, puskesmas sebagai tempat utama masayarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan, harus memikirkan bagaimana kelompok ini dapat tetap memperoleh layanan kesehatan. tentu saja ini bersama-sama dengan Dinas Kesehatan dan seluruh stake holder untuk memfasilitasinya. Berbagai bentuk dana sehat yang ada di masyarakat mungkin perlu diaktifkan kembali dan dikoordinir pelaksanaannya supaya lebih bisa menjamin keterjangkauan seluruh masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan, baik UKP maupun UKM. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) dapat dijadikan salah satu upaya dan bila perlu dengan mewajibkan seluruh masyarakat untuk ikut serta di dalamnya. Kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya risk dan cost sharing bagi upaya layanan kesehatan di seluruh lapisan masyarakat, baik miskin maupun kaya.

Dari sisi keuangan Puskesmas, juga perlu adanya pengelolaan yang menjamin seluruh kegiatan puskesmas dapat terakomodasi dan mendapatkan pendanaan secara efisien. Sebagaimana kita ketahui selama ini, bahwa kecenderungan Puskesmas dalam mengelola keuangan lebih banyak untuk sektor kuratif dan sangat minim untuk kegiatan promotif maupun preventif. Hal ini tentunya harus dibenahi agar UKP dan UKM bisa berjalan seimbang.

Adanya ketentuan bahwa pendapatan Puskesmas ditarget untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menimbulkan kefrustasian di kalangan Kepala Puskesmas beserta seluruh karyawannya bila tidak berhasil mencapai target. Seakan-akan ada aturan tidak tertulis bahwa pencapaian target pendapatan merupakan tolok ukur keberhasilan suatu Puskesmas, sehingga Puskesmas berlomba-lomba meningkatkan upaya kuratif yang di Puskesmas merupakan “sumber pendapatan” dan melupakan upaya UKM-nya.

Pendapatan yang didapat Puskesmas selanjutnya disetor seluruhnya ke kas daerah. Puskesmas dapat meminta pengembalian dari setoran tersebut untuk kegiatan dengan mengajukan Rencana kegiatan yang prosesnya cukup memakan waktu. Akibatnya banyak kegiatan yang terpaksa tertunda karena dana belum turun, padahal kegiatan tersebut mendesak untuk segera dilaksanakan. Sehingga muncul pemikiran Puskesmas Swakelola atau barangkali bahkan Puskesmas bisa dijadikan Badan Layanan Umum (BLU), sehingga kebutuhan dana untuk operasional dapat langsung dikelola sendiri oleh Puskesmas dari pendapatan yang masuk.

8. Mengembangkan dan Mengelola Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Layanan Kesehatan Primer Melalui Supervisi Suportif

Rendahnya mutu layanan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh kurangnya pembinaan dari pihak-pihak terkait terhadap pemberi layanan kesehatan, dalam hal ini seharusnya Dinas kesehatan dapat menjadi Fasilitator dan koordinator. Harus ada suatu mekanisme monitoring dan evaluasi untuk menjamin seluruh komponen dalam sistem kesehatan dapat berjalan optimal. Supervisi suportif dapat dikembangkan untuk kegiatan penguatan sistem monitoring dan evaluasi ini.

Dinas Kesehatan tidak mungkin dapat menjangkau seluruh pemberi layanan kesehatan di wilayahnya. Karena itu, Puskesmas juga harus dilibatkan dalam kegiatan pelaksanaan supervisi suportif ini terhadap jaringan pemberi layanan kesehatan di wilayahnya. Kegiatan supervisis ini juga dapat melibatkan organisasi profesi yang memahami standar inerja untuk tenaga kesehatan tertentu. Hal-hal yang akan dijadikan standar penilaian dalam kegiatan supervisis dikomunikasikan dan disepakati terlebih dahulu oleh supervisor maupun pihak-pihak yang akan disupervisi. Penilaian yang dilakukan bukanlah mencari kesalahan pihak yang disupervisi, tapi lebih ke arah identifikasi masalah dan alternatif solusinya, dimana alternatif solusi yang dimunculkan melibatkan pihak yang akan disupervisi secara penuh. Dengan cara demikian, diharapkan pemecahan masalah berjalan optimal karena menyesuaikan dengan pihak yang disupervisi.

Kegiatan supervisi ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dan dilakukan oleh tenaga khusus yang terlatih yang memang bertugas untuk itu. Jadi, bukan oleh tenaga di Dinas Kesehatan atau Puskesmas yang bersifat sampingan. Dengan adanya supervisi terpadu dan pelaksanaannya khusus, maka diharapkan kegiatan supervisi dapat lebih fokus dan tercapai tujuannya. Hasil dari supervisi tersebut kemudian dijadikan bahan evaluasi untuk rencana tindak lanjut yang bersifat terus-menerus dan berkesinambungan untuk perbaikan.

Dengan adanya strategi pengembangan Puskesmas yang dilaksanakan secara terencana dengan baik, diharapkan revitalisasi Puskesmas yang diharapkan akan segera terwujud. Di masa mendatang, Puskesmas benar-benar menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dan bukan lagi menjadi pilihan karena tidak ada pilihan lain. Semoga.

Sunday, August 15, 2010

DISPEPSIA DAN PUASA

Kalau awal puasa begini, keluhan yang paling sering muncul di ruang praktek adalah "sakit maag". Sudah itu, minta ijin diperbolehkan tidak puasa (loh! Emang dokter itu apaan? He he he, minta legalisasi karena pengen gak puasa ya?).
Itu karena dispepsia dan apakah penderita dispepsia boleh berpuasa? Pertanyaan yang sering muncul di masyarakat.

Dispepsia adalah nyeri abdomen episodik atau berulang, yg terjadi pada saluran cerna bagian atas. Gejala yang sering muncul biasanya kembung, rasa mual, muntah, cepat kenyang, rasa penuh dan nyeri perut bagian atas atau di daerah ulu hati. Masyarakat umum sering menyebutnya "sakit maag".

Dari suatu survey di DKI Jakarta, 60% orang yang disurvey pernah mengalami gejala dispepsia dalam hidupnya. Dari penelitian lain disebutkan bahwa 40-50% orang yang datang ke dokter umum adalah penderita dispepsia dan 50-60% yang datang ke spesialis gastrologi karena keluhan dispepsia.

Dispepsia dibagi menjadi 2, yaitu dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik jika setelah dilakukan endoskopi ditemukan kelainan struktural seperti ulkus (luka/tukak), kanker, radang, karena obat-obatan, infeksi dan gangguan metabolik. Sementara dispepsia fungsional adalah bisa disebabkan gangguan fungsi lambung, hipersensitivitas, disfungsi saraf vagal dan masalah psikhologis. Lebih dari 60% penderita dispepsia adalah fisiologis.

Dispepsia disebabkan karena ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif saluran cerna. Hal ini terjadi biasanya karena ketidakteraturan makan, konsumsi lemak, merokok Dan stress. Faktor agresif meliputi obat-obatan, stress, kuman dan rokok. Faktor defensif meliputi lapisan lendir, prostaglandin dan ketebalan mukosa.

Ada peran penting dari meningkatnya pengeluaran asam lambung dengan terjadinya dispepsia. disamping itu adanya peningkatan sensitivitas dinding saluran pencernaan dan perubahan gerak karena pengaruh asam lambung juga berpotensi menimbulkan keluhan dispepsia. Karenanya, pengobatan dispepsia salah satunya adalah dengan memberikan obat-obat yang dapat menekan pengeluaran asam lambung, seperti proton pump inhibitor (PPI). PPI sendiri jenisnya bermacam-macam yang pemberiannya disesuaikan kondisi penderita.

Kalau begitu, bolehkan penderita dispepsia berpuasa? Mengingat bila berpuasa selama 6-8 jam, akan terjadi peningkatan asam lambung. Tentunya ini akan memperparah dispepsia yang diderita. Benarkah?

Menurut dr. Marcellus Simadibrata, PhD, Sp.PD-KGEH, pada prinsipnya orang dengan keluhan dispepsia boleh berpuasa. Terutama untuk dispepsia fungsional. Tergantung dari kelainannya, dokter akan memberikan obat untuk mengurangi keluhannya. Diharapkan dengan berpuasa, maka makannya menjadi lebih teratur, menghindari cemilan tidak sehat, mengurangi merokok dan diharapkan faktor stress-nya terkendali, karena menjadi lebih tenang.

Tapi pada dispepsia organik, harus dilihat dulu masalahnya. Apakah ada tukak atau tidak. Bila ada tukak, harus diobati dulu baru boleh berpuasa. Bahkan pada beberapa kasus dengan tukak, setelah diobati dianjurkan berpuasa. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa minum obat dan berpuasa akan lebih baik.

Kalau ada tumor atau kanker, dianjurkan tidak berpuasa, tapi ini juga relatif melihat kondisi penderita. Tapi, ada penderita yang memang tidak boleh berpuasa. Biasanya kalau kondisinya akut, disertai muntah-muntah hebat, perdarahan saluran cerna dan tidak bisa makan, maka tidak boleh berpuasa.

Untuk yang berpuasa, minggu awal merupakan masa penyesuaian yang cukup berat. Biasanya pada saat ini memerlukan obat untuk menurunkan produksi asam lambung yang tujuannya supaya bisa melewati minggu ini dengan baik. Pada dispepsia organik, obat dipilihkan yang diminum sehari dua kali saat sahur dan berbuka. Pada yang fungsional, biasanya cukup sehari sekali, setengah jam sebelum sahur.

Intinya, menurut para ahli, berpuasa memiliki kebaikan pasti untuk penderita dispepsia organik maupun fungsional. Hanya tergantung kasusnya, pengelolaannya akan menyesuaikan. Yang jelas, walaupun sakit merupakan kondisi yan diberi keringanan untuk tidak berpuasa, kondisi sakit jangan dijadikan alasan untuk dengan ringan meninggalkan puasa.
Selalu ada solusi dalam setiap permasalahan.

Semoga bermanfaat...

Disarikan dari berbagai sumber
Joen '91

Wednesday, August 4, 2010

MENYIMPAN OBAT DI RUMAH

‎​

Hari ini ada yang bertanya, "Kalau obat flu sirup sudah saya buka dan saya gunakan, kemudian saya simpan di kulkas. Berapa lama obat tersebut masih layak untuk di konsumsi?". Saya yakin pertanyaan itu pasti sering ditanyakan oleh banyak orang lainnya.
Yang lebih penting adalah, mengetahui perlukah kita menyimpan obat di rumah? Obat apa saja? Bagaimana menyimpannya?

Perlu kiranya setiap rumah tangga menyediakan obat-obat tertentu untuk disimpan di rumah. Mengingat apabila kita sakit, ada situasi dimana kita harus memberikan obat sebagai pertolongan pertama sebelum dibawa ke sarana pelayanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Obat-obat yang bisa kita simpan di rumah adalah obat-obatan yang bisa dibeli tanpa resep dokter, yaitu golongan obat bebas dan bebas terbatas. Logonya berupa lingkaran warna biru atau hijau dengan tepi hitam.

Obat-obatan yang sebaiknya ada di kotak penyimpanan obat di rumah kita, diantaranya adalah :
1. Acetaminophen/paracetamol.
Obat dengan kandungan ini umumnya diminum untuk mengatasi demam, dan nyeri. Bagi orang dewasa, obat jenis ini juga bisa untuk menyembuhkan sakit kepala.
2. Ibuprofen.
Ibuprofen membantu mengurangi nyeri, bengkak dan peradangan. Obat jenis ini umumnya digunakan sebagai obat sakit kepala. Selain itu, obat ini juga digunakan untuk mengurangi sakit otot, nyeri haid, flu dan nyeri selepas pembedahan.
3. Krim antiseptik atau obat antiseptik.
Obat ini cocok untuk dipakai di beberapa situasi. Misalnya, luka potong, luka tergores, dan gigitan serangga.
4. Krim untuk luka bakar – Luka bakar bisa menjadi masalah serius. Pastikan Anda memilih obat luka bakar yang efektif menangani luka bakar ringan. Terutama obat yang bisa mengurangi rasa sakit, dan menyembuhkan dengan cepat.
5. Obat batuk dan flu. Seringkali batuk dan flu bisa dialami tanpa diduga, bahkan di tengah malam. Agar bisa kembali tidur nyenyak, Anda bisa meredakan batuk dan flu dengan obat yang biasa Anda minum.

Obat lainnya yang bisa Anda simpan di kotak obat, selain lima obat di atas, antara lain: aspirin, krim tabir surya, obat tetes mata, alkohol, obat alergi, obat untuk pereda nyeri otot, vitamin, dan plester luka.
Terakhir adalah obat yang diresepkan dokter untuk anggota keluarga yang sakit, tentunya juga harus disimpan dengan benar.


Cara Menyimpan Obat di Rumah :
1. Sediakan tempat khusus tertutup untuk menyimpan obat yang jauh dari jangkauan anak-anak. Bisa berupa lemari obat tersendiri atau bagian dari lemari/rak/laci yang diperuntukkan khusus untuk menyimpan obat.

2. Simpan obat pada wadah aslinya. Apabila berupa blister, jangan dibuka dari blisternya bila tidak akan diminum.

3. Jangan pernah menyimpan tablet dan kaplet yang berbeda dalam satu wadah. Obat lepasan hendaknya disimpan dalam wadah sendiri-sendiri. Usahakan wadah terbuat dari kaca dan berwarna gelap transparan.

4. Hindarkan obat dari sinar matahari langsung dan udara panas.

5. Jangan menyimpan tablet/kaplet di kamar mandi atau dekat tempat cuci piring karena uap air dapat merusak tablet/kaplet. Jangan menyimpan obat di dapur.

6. Usahakan obat dalam bentuk cairan jangan membeku. Untuk bentuk suspensi yang berasal dari serbuk, setelah dicairkan, obat tidak boleh dikonsumsi lagi setelah satu minggu. Untuk bentuk larutan, bila sudah dibuka dan bukan antibiotika yang habis, masih bisa dikonsumsi setelah tiga bulan asal tidak mengalami kerusakan.

7. Jangan simpan obat di lemari pendingin kecuali kalau dianjurkan. Obat tertentu yang harus disimpan dalam lemari es, segera simpan dalam lemari es, misal : anti hemoroid yang dimasukkan lewat anus, tablet vagina, dll. Pisahkan obat dari makanan dalam tempat tersendiri.

8. Jangan simpan obat di mobil untuk waktu yang lama.

9. Jangan meletakkan obat di atas barang elektronik. Barang elektronik biasanya akan mengeluarkan panas yang bisa merusak obat.

10. Jangan simpan obat yang kadaluwarsa.

11. Jangan pernah meminum obat di tempat yang gelap.


Selain cara menyimpan obat yang benar, perlu kiranya kita mengenali tanda-tanda bahwa obat telah rusak. Obat rusak harus segera dimusnahkan.
Beberapa hal yang bisa dijadikan patokan bahwa obat telah rusak, diantaranya adalah :

1. Perhatikan tanggal kadaluarsa dan kemasan obat. Obat kadaluarsa kita anggap sudah rusak. Begitu juga bila kemasan rusak, obat kita anggap rusak.

2. Tablet
a. Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
b. Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah, retak dan atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
c. Kaleng atau botol wadah tablet rusak
d. Beberapa jenis tablet ada yang basah, luntur atau lengket satu dengan yang lainnya

2. Kapsul
a. Perubahan warna isi kapsul
b. Kapsul terbuka, kosong, rusak, lengket atau melekat satu sama lain.

3. Cairan
a. Menjadi keruh atau timbul endapan atau menggumpal.
b. Kekentalannya berubah. Bisa menjadi lebih encer, atu lebih kental, bahkan membeku.
c. Warna atau rasa berubah
d. Botol/segel rusak atau bocor

4. Salep
a. Warna berubah
b. Pot atau tube rusak atau bocor
c. Bau berubah

Adakalanya kita harus memusnahkan obat yang kita simpan. Kapan kita melakukannya.

Musnahkan Obat bila :
1. Saat menerima obat, pastikan apakah obat tersebut harus dihabiskan walaupun anda sudah merasa sehat. Jika tidak maka ketika anda sudah merasa sehat kembali, segera buang sisa obat tersebut ke toilet. Jangan dibuang sembarangan di tempat sampah.
2. Jika pasien yang seharusnya minum obat tersebut sudah meninggal, kumpulkan obat dan segera musnahkan.
3. Obat sudah jelas rusak atau kadaluarsa.


Luangkan waktu sebentar untuk rutin mengecek obat yang kita simpan di rumah secara fisik atau dengan penciuman atau rasa kita, agar kita terhindar dari akibat fatal akibat kelalaian. Demikian, semoga bermanfaat.

Disarikan dari berbagai sumber

Monday, August 2, 2010

SURPLUS DAN DEFISIT BLU

Berdasarkan PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, penggunaan surplus atau defisit adalah sebagai berikut:

Pasal 29:

“Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.”

Pasal 30:

(1) “Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya. kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.”

(2) “Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.”

Namun dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai.

Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”. Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.

Padahal sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.

Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan sebagai argumen dalam mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen tersebut adalah:

1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan aturan yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.

Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat keputusan lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana peraturan dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih aturan mana yang harus dipakai.

Demikian garis besar tentang pelaksanaan BLU yang diharapkan akan mempermudah dalam pemberian dan peningkatan mutu pelayanan publik, utamanya pelayanan kesehatan.

AKUNTANSI DAN PELAPORAN BLU

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BLU, sistem akuntansi BLU adalah sebagai berikut:

1. Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib.

2. Periode akuntansi BLU meliputi masa 1 (satu) tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Sistem Akuntansi BLU terdiri dari:

Sistem Akuntansi Keuangan

Sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan laporan keuangan pokok untuk keperluan akuntabilitas, manajemen, dan transparansi yang dirancang agar paling sedikit menyajikan:

1. Informasi tentang posisi keuangan secara akurat dan tepat waktu;

2. Informasi tentang kemampuan blu untuk memperoleh sumber daya ekonomi berikut beban yang terjadi selama suatu periode;

3. Informasi mengenai sumber dan penggunaan dana selama suatu periode;

4. Informasi tentang pelaksanaan anggaran secara akurat dan tepat waktu;

5. Informasi tentang ketaatan pada peraturan perundang-undangan.

Sistem akuntansi keuangan BLU memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:

1. Basis akuntansi yang digunakan pengelolaan keuangan BLU adalah basis akrual;

2. Sistem akuntansi dilaksanakan dengan sistem pembukuan berpasangan; dan

3. Sistem akuntansi BLU disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian intern sesuai praktek bisnis yang sehat.

Dalam rangka pengintegrasian Laporan Keuangan BLU dengan Laporan Keuangan kementerian negara/lembaga, BLU mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP.

BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi keuangan sesuai dengan jenis layanan BLU dengan mengacu kepada standar akuntansi paling sedikit mencakup kebijakan akuntansi, prosedur akuntansi, subsistem akuntansi, dan bagan akun standar

Sistem Akuntansi Aset Tetap

Sistem akuntansi aset tetap, yang menghasilkan laporan aset tetap untuk keperluan manajemen aset tetap yang paling sedikit mampu menghasilkan:

1. Informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap milik BLU; dan

2. Informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap bukan milik BLU namun berada dalam pengelolaan BLU.

Dalam pelaksanaan sistem akuntansi aset tetap, BLU dapat menggunakan sistem akuntansi barang milik negara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sistem Akuntansi Biaya

Sistem akuntansi biaya, yang menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan, pertanggungjawaban kinerja ataupun informasi lain untuk kepentingan manajerial yang paling sedikit mampu menghasilkan:

1. Informasi tentang harga pokok produksi;

2. Informasi tentang biaya satuan (unit cost) per unit layanan; dan

3. Informasi tentang analisis varian (perbedaan antara biaya standar dan biaya sesungguhnya).

Sistem akuntansi biaya menghasilkan informasi yang berguna dalam:

1. Perencanaan dan pengendalian kegiatan operasional BLU;

2. Pengambilan keputusan oleh Pimpinan BLU; dan

3. Perhitungan tarif layanan BLU.

4. BLU dapat mengembangkan sistem akuntansi lain yang berguna untuk kepentingan manajerial yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66/PMK.02/2006, bahwa setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan disertai laporan kinerja yang disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah periode pelaporan berakhir.

Selain itu, setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara lengkap yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja yang disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan laporan keuangan dan laporan kinerja BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode pelaporan berakhir.

PENGELOLAAN BARANG DAN INVESTASI BLU


PENGELOLAAN BARANG

Berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2005 pasal 20, tentang pengelolaan keuangan BLU, pengadaan barang/ jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dimana kewenangan atas pengadaan tersebut diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.

Dengan kata lain, pengadaan barang/jasa BLU yang sumber dananya berasal dari pendapatan operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama lainnya dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan pimpinan BLU, tanpa mengikuti ketentuan Keppres no. 80 tahun 2003 beserta seluruh perubahannya, dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil,/tidak diskriminatif, akuntabilitas, dan praktis bisnis yang sehat. Sehingga dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan mengenai pengadaan barang/jasa, dalam kaitannya dengan Kepres no. 80 tahun 2003, dengan alasan efektivitas dan efisiensi.

INVESTASI

Dalam hal investasi, BLU mengenal dua jenis investasi dalam pengelolaan keuangannya, yaitu:

1. Investasi jangka panjang;

2. Investasi jangka pendek.

Dana/kas yang dimiliki suatu badan pemerintahan yang menggunakan sistem BLU dalam pengelolaan keuangannya tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Segala keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU, sehingga diperuntukkan sesuai tujuan dibentuknya sistem pengelolaan keuangan BLU yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat umum.

Investasi jangka panjang yang dimaksud antara lain:

1. Penyertaan modal;

2. Obligasi jangka panjang; dan

3. Investasi langsung (pembentukan perusahaan) atas nama Menteri Keuangan.

Pengelolaan kas BLU dapat pula dilakukan investasi jangka pendek, yang ketentuannya sama seperti pengelolaan investasi jangka pendek pada umumnya. Hal ini dikarenakan badan/instansi pemerintahan yang menyelenggarakan sistem BLU sebagai asas pengelolaan keuangannya diperkenankan untuk memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dengan demikian kas yang dimiliki oleh badan/instansi pemerintahan yang telah menerapkan sistem BLU dapat berkembang jumlahnya sehingga dengan jumlah kas yang bertambah diharapkan terjadi peningkatan layanan yang lebih baik keadaan masyarakat umum.