Sunday, November 13, 2011

PENELITIAN KUALITATIF (1)


A.    PARADIGMA KUALITATIF

Penelitian kualitatif sering disebut sebagai alternatif metodologi penelitian yang selama ini didominasi oleh positivisme-kuantitatif. Paradigma kualitatif masih saja disebut tidak valid dan para periset kualitatif lebih sering disebut sebagai wartawan daripada ilmuwan. Bahkan sering temuan dan kesimpulan studi kualitatif lebih disebut kritik daripada teori (Denzin & Lincoln, 1994). Hal ini tentunya sangat menggelisahkan peminat studi kualitatif, dan menjadi pertanyaan besar bagi mereka adalah “Bagaimana dapat menggambarkan makna yang valid dari data kualitatif?” (Miles dan Huberman, 1992).
Dalam perkembangannya, penelitian kualitatif sering disebut dengan berbagi istilah, misalnya “penelitian lapangan” (field research) yang berkembang dalam kajian sosiologi dan antropologi. Dalam psikologi dan pendidikan lazim digunakan istilah penelitian naturalistik. Selain itu ada yang menyebut dengan etnografi, studi kasus, interpretif, fenomenologi, dan lain – lain. Definisinya sangat lentur, baik oleh Denzin & Lincoln yang meyebutkan bahwa penelitian kualitatif sebagai kajian yang “ multimethod in focus, involving and interpretive, naturalistic approach to its subject matter”.
Secara mudah, penelitian kualitatif adalah penelitian yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan dan bukan dari laboratorium atau penelitian yang terkontrol.
2.      Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi alamiah.
3.      Adanya pengembangan dialogis sebagai situasi ilmiah.  
Karakteristik di atas masih akan menimbulkan berbagai pengertian dan interpretasi yang berbeda – beda. Menjembatani berbagai perbedaan tersebut maka pendekatan kualitatif didasarkan pada perspektif interpretif dan kritis. Dari dua perspektif tersebut, dapat dikemukakan beberapa ciri dari penelitian kualitatif, sebagai berikut :
1.    Studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry).
2.    Analisis deduktif.
3.    Kontak personal langsung dengan periset di lapangan.
4.    Perspektif holistik.
5.    Perspektif dinamis.
6.    Orientasi pada kasus unik.
7.    Netralitas empatik.
8.    Fleksibilitas design.
9.    Periset sebagai instrumen kunci.
Mengenai studi kasus, Robert E. Stake, membedakannya dalam tiga jenis, yaitu :
1.    Studi kasus intrinsik, yakni studi yang dilakukan karena suatu kasus yang menarik dan periset berupaya memahaminya secara lebih mendalam.
2.    Studi kasus instrumental, yakni studi kasus yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu masalah atau pembaruan suatu teori.
3.    Studi kasus kolektif atau studi kasus instrumental yang diperluas, yakni  studi atas sejumlah kasus yang dilakukan secara simultan guna memperoleh pemahaman yang lebih baik atas masalah tertentu. 

B.             PENGAMBILAN SAMPEL

Dalam penelitian kualitatif, istilah sampel tidak lazim digunakan. Istilah yang digunakan adalah kasus atau informan. Untuk selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman, akan digunakan istilah “subjek”. Karena karakter penelitian kualitatif yang “investigatif”, maka kualitas subjek penelitian lebih diutamakan daripada jumlah/kuantitasnya.
Secara umum, prosedur pengambilan subjek dalam studi kualitatif memiliki karakter sebagai berikut :
1.        Diarahkan pada kekhususan kasus (spesifik) sesuai dengan masalah penelitian.
2.        Tidak ditentukan secara kaku di awal penelitian, tapi bisa berubah sesuai pemahaman dan kebutuhan yang berkembang selama proses studi.
3.        Tidak diarahkan pada keterwakilan/representasi, melainkan pada kecocokan pada konteks (siapa dengan jenis informasi apa).
Pada pakteknya, sering terdapat beberapa variasi model purposif dan tidak digunakan secara tunggal.

C.             PENGUMPULAN DATA

Tehnik pengumpulan data yang lazim digunakan dalam studi kualitatif adalah observasi dan wawancara. Lebih spesifik lagi masing – masing tehnik yang lazim dilakukan itu disebut sebagai observasi melibat (participant observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview).

1. OBSERVASI
Ada dua prinsip pokok dalam observasi, yaitu :
1.      Observer kualitatif tidak boleh “mencampuri” urusan subjek penelitian.
2.      Observer kualitatif harus menjaga sisi alamiah dari subjek penelitian.
Observasi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu :
1.    Pemilihan setting.
2.    Memperoleh “ijin masuk” dalam setting.
3.    Pelatihan pengumpul data (bila dilakukan dalam tim).
4.    Mulai mengumpulkan data.
Dalam observasi melibat, perlu diperhatikan beberapa hal, yakni :
1.    Tingkat keterlibatan periset.
2.    Fokus yang diamati.
3.    Sikap periset.
4.    Lama pengamatan.
Dalam mengurangi bias interpretasi periset seputar hasil observasi, dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :
1.    Memperpanjang tempo pengamatan.
2.    Menggunakan observer jamak.
3.    Pemaparan laporan temuan studi dengan menggunakan verisimilitude, yaitu gaya tulisan yang mendekatkan pembaca kepada subjek yang ditulis. Untuk menghindari bias interpretasi periset, laporan ditulis dengan gaya deskriptif dan bukan interpretatif.

2.      WAWANCARA
Ada dua jenis wawancara, yaitu :
1.    Wawancara terstruktur, bahan wawancara disipkan secara ketat.
2.    Wawancara tak terstruktur, menghindari ketatnya struktur bahan.
Dikenal pula model wawancara kelompok (group interview) yang melahirkan model pengambilan data dengan tehnik focus group discussion. Ini merupakan perangkat wawancara yang dilakukan secara simultan terhadap sejumlah individu.
Wawancara berlangsung dari alur umum ke alur khusus. Periset dapat melakukan loncatan materi wawancara kepada responden yang secara natural memiliki informasi lebih banyak dan menjadi informan yang lebih penting.
Dari sisi struktur, wawancara dibedakan dalam empat model, yaitu :
1.      Wawancara alamiah-informal, yakni pertanyaan dikembangkan secara spontan selama terjadinya percakapan antara periset dan subjek.
2.      Wawancara dengan pedoman umum, yakni periset hanya menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disiapkan sesuai materi penelitian.
3.      Wawancara dengan pedoman terstandar terbuka, yakni digunakan bila wawancara melibatkan banyak pengumpul data, untuk membatasi variasi temuan yang mungkin muncul.
4.      Wawancara tidak langsung, yakni seperti nomer 3, yang karena suatu hal, tidak dapat dilakukan sendiri oleh periset.
Keempat model wawancara tersebut dapat dilakukan secara sendiri – sendiri maupun bersamaan dalam satu studi. Pokok – pokok wawancara biasanya berkenaan dengan tiga tema sentral, yaitu tingkah laku, sistem nilai dan perasaan subjek penelitian.  Pertanyaan sebaiknya berbentuk terbuka, netral, tidak mengarahkan. Istilah teknis sebaiknya dihindarkan.

Sumber :
1.    Agus Salim. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Edisi kedua. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2006.
2.    Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2009

Friday, November 11, 2011

HARI KESEHATAN NASIONAL KE-47 TAHUN 2011


Hari ini adalah Hari Kesehatan Nasional (HKN)! Hari Kesehatan Nasional diperingati tiap tanggal 12 November dan tahun 2011 ini adalah peringatan ke-47.  Sudah sangat lama. Tema Peringatan tahun ini adalah  “INDONESIA CINTA SEHAT”. Tema ini dipilih dalam rangka menggapai impian “INDONESIA SEHAT” yang didukung oleh tiga pilar, yaitu : Perilaku Sehat, Lingkungan Sehat dan Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas.
“Sehat memang bukan segalanya, tapi apabila tidak sehat segalanya menjadi tidak ada artinya”, merupakan kalimat yang sangat sering kita dengar dalam setiap peringatan HKN. Sebagaimana halnya kesembuhan dari sakit, untuk tetap sehat juga merupakan bentuk ikhtiar. Sesuatu yang hanya bisa diupayakan dan diperjuangkan. Dalam banyak hal, sehat ditentukan oleh perilaku manusia sendiri. Dan untuk menjaga tetap sehat diperlukan kerjasama dengan faktor eksternal yang kompleks, melibatkan multisektor.
Tapi baiklah, kita tidak perlu memikirkan tentang Pembangunan Kesehatan yang sangat multidimensi dan rumit itu. Yang sederhana saja, sudahkah kita menjadi pribadi (setidaknya berusaha) yang berperilaku hidup sehat? Sebagaimana diamanatkan dalam Undang – undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal (11) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan dan memajukan kesehatan setinggi – tingginya”.  Bagaimana perilaku sehat dan perilaku merusak kesehatan itu? Sudah terlalu sering diserukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Kita sudah sangat sering mendengarnya. Kenyataannya, masih banyak orang yang dzolim terhadap tubuhnya sendiri dari hak sehatnya dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Di lain pihak, perilaku kita bisa mempengaruhi kesehatan orang lain dan begitu juga sebaliknya.
Sudahkah kita berperilaku hidup sehat? Kalau belum, tidak ada kata terlambat. Mari kita mulai dari diri kita dan keluarga kita. Caranya? Mulailah menyehatkan mental kita terlebih dahulu dengan selalu berpikir positif. Kemudian lanjutkan dengan tidur lebih awal (paling lambat jam 11 malam) dan bagun lebih pagi (jangan lebih dari jam lima pagi). Penuhilah paru – paru kita dengan udara bersih dini hari. Sejukkan mata kita dengan hijauan daun dan warna – warni bunga. Biarkan kulit kita dihembus angin dan basah oleh embun. Gerakkan otot – otot kita. Ajaklah seluruh keluarga untuk ikut menikmati. Lakukan tanpa ketergesaan. Sesederhana itu? He.. he.. he.., siapa bilang sederhana? Coba saja lakukan dengan rutin….
Setelah itu, barulah kita berusaha meningkatkan diri dengan perilaku hidup sehat yang lebih rumit.
Yang pasti, Indonesia Sehat hanya akan bisa dicapai kalau individu – individunya sudah berperilaku hidup sehat. Tidak ada kata terlambat…
Selamat hari Kesehatan Nasional. Selamat menikmati hidup sehat! 

Banjarnegara, 12 November 2011

Saturday, November 5, 2011

DOKTER DAN DUNIANYA (2)


KOMPETENSI DOKTER : Bukan Sekedar Mengetahui Tentang Penyakit dan Pengelolaannya

Gb. Dokter dan profesi lain sebagai mitra.
Hari ini, Jum’at 4 November 2011. Aku sudah bersiap pulang ketika dua orang perempuan muncul dari balik pintu. Setelah kutanya keperluannya, ternyata mau mengurus Surat Ijin Praktek Dokter. Karena jam sudah menunjukan pukul 11.10 siang dan ruangan sudah sepi (hanya tinggal empat orang), kuminta dia datang besok dan karena saat itu kupikir petugas yang biasa mengurusi ijin sudah pulang. Ternyata belum pulang, sehingga kuminta untuk membantunya.
Sebagaimana lazimnya bila ada dokter yang belum aku kenal, aku bertanya – tanya kepada mereka tentang banyak hal. Namanya, alamatnya, lulusan dari mana, tahun berapa, mau praktik di mana dan sebagainya. Pertanyaan wajar dan standar saja, mengingat tugas pokok pembinaan praktek tenaga kesehatan ada di bidangku.
Satu hal yang membuatku terkejut adalah bagaimana salah satu dari dua dokter yang baru (lulusan akhir tahun 2010 dari sebuah PTS) itu berkomunikasi dengan cara yang menurutku tidak etis. Tanpa memandang kepada orang yang diajak bicara dan bersikap sangat sinis. Aku yang tadinya berniat membantu, akhirnya jengah dengan situasi tersebut. Aku hanya berpikir, beginikah seorang dokter berkomunikasi? Setidaknya aku membuktikan sendiri perkataan Ketua IDI Cabang Banjarnegara mengenai etika dokter baru yang saat ini sangat memprihatinkan. Lalu bagaimana mereka akan berkomunikasi terhadap pasien? Apakah mereka berpikir bahwa kompetensi dokter hanya terbatas pada pengetahuan dan ketrampilan mengenai penyakit dan tatakelolanya?
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter adalah profesi yang luhur dan mulia. Kemuliaan ini ditunjukkan dengan adanya 6 (enam) sifat dasar yang harus ada pada setiap dokter, yaitu :
1.    Sifat Ketuhanan.
2.    Kemurnian Niat.
3.    Keluhuran Budi.
4.    Kerendahan Hati.
5.    Kesungguhan Kerja.
6.    Integritas Ilmiah dan Sosial.
Berkenaan dengan hal – hal tersebut di atas, dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, setiap dokter harus bersandar pada kompetensi sebagai wujud profesionalitasnya. Standar kompetensi bagi seorang dokter telah diatur oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Menurut SK Mendiknas No. 045/U/2002 kompetensi adalah  seperangkat tindakan cerdas dan penuh  tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Dalam hal ini tentunya tugas – tugas sebagai seorang dokter. Dokter harus dapat melebur dan berperan  dalam pembangunan kesehatan serta menjadi ujung tombak Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) yang bersifat menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) dan berkesinambungan dan bekerjasama dengan profesi kesehatan lainnya.
        Untuk dapat melaksanakan tugas – tugas di atas dengan baik, seorang dokter perlu dibekali dengan standar kompetensi yang memadai dan ini harus dikuasai oleh dokter yang akan melaksanakan praktik kedokteran. Ada 7 (tujuh) area kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang dokter, yaitu :
1. Komunikasi efektif
2. Keterampilan Klinis
3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
4. Pengelolaan Masalah Kesehatan
5. Pengelolaan  Informasi
6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien
         Dari ketujuh area di atas dapat dipahami bahwa kompetensi dokter bukanlah terbatas pada kemampuan dokter mengetahui tentang penyakit dan pengelolaannya saja, tapi lebih luas dari itu. dokter harus mampu mengembangkan aspek sosial pergaulannya secara positif melalui komunikasi yang efektif. Bagaimana komunikasi efektif itu dijabarkan dalam komponen kompetensi dengan lengkap. Dan sepertinya banyak dokter lupa tentang hal ini. Hal ini dapatlah dimengerti akan terasa aneh jika seorang dokter tidak mengenal satu sama lain dalam lingkup oganisasi profesi yang diikutinya. 
        Setidak – tidaknya IDI sebagai wadah profesi para dokter dapat mengingatkan mengenai ranah kompetensi yang harus dikuasai seorang dokter apabila mereka akan melakukan praktik kedokteran. Merupakan kewajiban IDI untuk mengajarkan bagaimana para dokter berkomunikasi dengan kolega dan pasiennya, serta petugas kesehatan lainnya. 

Sumber : Standar Kompetensi Dokter

DOKTER DAN DUNIANYA (1)


PAPAN NAMA PRAKTIK DOKTER, Adakah Standar-nya?

Selama ini kita melihat bahwa papan nama praktik dokter adalah papan nama dengan bentuk yang sederhana. Papan warna putih dengan tulisan berwarna hitam yang menginformasikan tentang nama dokter dan jam prakteknya. Itu juga yang tergambar dalam benak masyarakat kita bila mencari papan nama praktik seorang dokter. Nyaris semuanya sama.
Tapi akhir – akhir ini, beberapa kali kita lihat papan nama praktik dokter yang mulai berubah. Ada yang tidak lagi berwarna dasar putih dan tulisannya pun bervariasi. Ada yang berwarna hijau bahkan merah. Ada yang sangat besar dan mencolok, bahkan dibuat seperti neon box untuk iklan. Apakah itu dilarang?
Dalam Undang – undang praktik kedokteran, tidak disebutkan mengenai standar papan nama untuk praktik ini. Di sana hanya disebutkan bahwa dokter wajib memasang papan nama praktik dan bila tidak dapat dikenai sanksi. Hal ini berlaku untuk dokter yang melakukan praktik profesi kedokteran. Bagi dokter yang tidak praktik, kewajiban ini tentu saja tidak berlaku.
Lalu di mana ada aturan mengenai papan nama praktik dokter itu? peraturan itu tertuang dalam Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 221/PB/A.4/2002 tentang Penerapan Kode Etik kedokteran Indonesia. Dalam Kewajiban Umum Pasal 4 dikatakan “Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang memuji diri”. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, sebagai pedoman tehnis pelaksanaan pasal 4 tersebut di atas, Salah satunya adalah bahwa dokter tidak boleh mengiklankan dirinya. Ini bukan berarti bahwa dokter tidak boleh memasang iklan atau memasang papan nama, tapi diatur pelaksanaannya.
Pada awal prakteknya, dokter diperkenankan memasang iklan di surat kabar dengan ukuran maksimal dua kolom kali lima baris. Dalam iklan tersebut harus dicantumkan nama dokter dengan gelarnya yang sah, jenis pelayanannya (dokter umum, spesialis), SIP, jam bicara, alamat praktik dan nomor telepon. Tidak boleh mengiklankan metode penyembuhan dan berbagai hal yang menjurus pada tindakan menonjolkan diri/memuji diri. Pemasangan iklan boleh diulang bila dokter akan menutup prakteknya, atau akan membuka kembali.
Kembali pada papan nama, dokter boleh menggantungkan papan nama di ruang praktiknya dengan ketentuan papan nama tersebut berukuran 40 cm X 60 cm dan maksimal 60 cm X 90 cm dengan warna dasar cat putih dengan tulisan huruf hitam. Dicantumkan juga gelar yang sah, jenis pelayanan yang sesuai dengan Surat Ijin Praktek. Tidak boleh dihiasi warna dan penerangan yang bersifat iklan. Tidak dibenarkan mencantumkan tulisan – tulisan seperti “praktik umum terutama untuk anak – anak dan wanita”, “tersedia pemeriksaan dengan penyinaran”, dan lain – lain yang sejenis.
Pemasangan papan nama di persimpangan jalan masih diperbolehkan sepanjang papan nama yang dipasang memenuhi syarat. Pemasangan disertai dengan tanda panah menuju tempat praktik. Pemasangan ini boleh sepanjang dengan alasan memudahkan mencari alamat.
Begitu juga yang berlaku di kertas resep, surat keterangan dokter, amplop, kuitansi dokter. Yang boleh dicantumkan adalah apa yang boleh dicantumkan di papan nama dokter. Untuk kertas resep ukuran maksimal ¼ folio (10,5 cm X 16,5 cm).
Saat ini banyak kita lihat papan nama, kertas resep dan lain – lain dari perlengkapan praktik dokter yang mencantumkan nama obat/perusahaan tertentu sebagai sponsor. Hal ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan kode etik.
Demikian agar rekan sejawat dokter dapat mengetahui dan papan nama dokter yang sederhana adalah cerminan dari salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang dokter, yaitu kerendahan hati.

Sumber : Kode Etik Kedokteran Indonesia

Thursday, November 3, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (7)

PUSKESMAS KELILING YANG BERUBAH FUNGSI

Salah satu jaringan Puskesmas untuk memperluas jangkauan pelayanannya adalah Puskesmas Keliling. Puskesmas Keliling merupakan Unit bergerak milik Puskesmas yang di banyak Puskesmas unit ini berupa mobil Puskesmas Keliling. Sebagai jaringan Puskesmas, maka kegiatan Puskesmas Keliling ini juga mengacu pada kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas induknya, yaitu meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Kegiatan tersebut dalam rangka menunjang fungsi – fungsi Puskesmas secara keseluruhan. Unit Puskesmas Keliling ini terdiri dari Tim. Bisa dibantu kendaraan roda dua, roda empat atau bahkan perahu di tempat – tempat tertentu di Indonesia.
Saat ini, unit Puskesmas Keliling lebih banyak melakukan kegiatan kuratif daripada kegiatan Puskesmas lainnya. Bila ada kegiatan Puskesmas Keliling di suatu tempat, maka yang muncul pertama kali di benak kita adalah kegiatan pengobatan massal di luar gedung Puskesmas. Masyarakat datang berbondong – bondong untuk berobat. Padahal pengobatan bukanlah kegiatan utama Puskesmas. Sehingga dari sini muncul kerancuan bahkan perubahan fungsi dari Unit Puskesmas Keliling ini menjadi Unit Pengobatan Keliling, tidak jauh beda dari penyimpangan fungsi kegiatan Puskesmas pada umumnya. Bahkan di banyak Puskesmas, mobil Unit Puskesmas Keliling banyak yang berubah fungsi menjadi ambulans, bahkan mobil jenazah!
Atas dasar itulah, perlu dikembalikan lagi fungsi Unit Puskesmas Keliling ini ke asalnya. Mengingat bahwa kegiatan Unit Puskesmas Keliling ini meliputi seluruh upaya kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas, maka Unit ini perlu dilengkapi dengan sarana yang mendukung. Selain petugas yang mampu melakukan pelayanan komprehensif, berbagai media promotif dan peralatan preventif mestinya dilengkapi selain untuk kegiatan pengobatan itu sendiri. Sehingga, bisa jadi sebuah kendaraan Unit Puskesmas Keliling juga dilengkapi dengan media penyuluhan, seperti LCD proyektor dengan laptopnya, sanitarian kit sampai diagnostik set sederhana dan obat – obatan. Jadi, perlengkapannya akan sangat berbesa sekali dengan ambulans atau ambulans jenazah. Dan Unit ini perlu disosialisasikan penggunaannya pada petugas Puskesmas dan masyarakat, sehingga ke depan penyimpangan tujuan dan fungsi Unit Puskesmas Keliling ini tidak terjadi lagi. Bukan lagi hanya mengerjakan kegiatan kuratif dan akhirnya akan menjadi Unit Pengobatan Keliling.   

Tuesday, November 1, 2011

Aerosmith - I Don't Wanna Miss a Thing

REVITALISASI PUSKESMAS (6)

APA YANG DIMAKSUD DENGAN JARINGAN PUSKESMAS?

Gb. Pembekalan Bidan PTT sebagai Bidan di Desa
yang merupakan jaringan Pelayanan Puskesmas
     Dalam tujuan awal didirikannya Puskesmas adalah untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kenyataannya, dalam suatu wilayah tidak akan sama permasalahan yang dihadapi. Apabila mengambil satu wilayah kerja Puskesmas adalah Kecamatan, tiap Kecamatan memiliki luas dan jumlah penduduk yang penyebarannya berbeda – beda, juga kondisi geografisnya. Ada Puskesmas yang wilayahnya mudah dijangkau dan ada yang sulit. Padahal kewajiban Puskesmas adalah memberikan pelayanan yang menjangkau seluruh wilayah, tanpa kecuali. Untuk wilayah yang sulit dijangkau, di sinilah diperlukan jaringan Puskesmas untuk menjangkau sampai ke seluruh wilayah.
         Lalu apakah yang dimaksud dengan jaringan Puskesmas itu? selama ini dalam berbagai tulisan sering disebutkan bahwa jaringan Puskesmas meliputi Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Poskesdes, Posyandu, dan lain – lain. Dalam tulisan sebelumnya, penulis juga masih menuliskannya demikian. Benarkah?
Dalam Petunjuk Pelaksanaan Puskesmas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan jaringan Puskesmas adalah  Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan Bidan di Desa (bukan Poskesdes/Polindes/PKD). Jaringan inilah yang diharapkan menjadi tangan panjang Puskesmas dalam melakukan pelayanan kesehatan masyarakat (bukan hanya perorangan) di seluruh wilayah Puskesmas. Disamping itu, untuk meluaskan jangkauan pelayanan, Puskesmas diharapkan dapat membina jaringan dengan pelayanan kesehatan strata pertama lainnya, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta sebagai mitra. Puskesmas juga harus mampu membuat jaringan dan kerjasama yang erat dengan berbagai tempat pelayanan kesehatan rujukan dalam koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Di masyarakat, kita mengenal jenis – jenis Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM). UKBM ini diselenggarakan oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat. Contoh UKBM ini adalah Poskesdes/Polindes/PKD, Posyandu, Bina Keluarga, UKS/UKGS, Kadarzi, Saka Bhakti Husada, Poskestren, Pos UKK, Desa Siaga, Toga, Battra, Tabulin, Pokmair, dan lain – lain. UKBM ini bukan jaringan pelayanan Puskesmas, tapi mereka “dirangkul” oleh Puskesmas agar dapat digunakan sebagai mitra dalam penyampaian program – program kesehatan yang mengutamakan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat. Terhadap UKBM ini, kedudukan Puskesmas adalah sebagai pembina yang melaksanakan bimbingan teknis, pemberdayaan dan rujukan sesuai kebutuhan.
Jadi jelas di sini bahwa jaringan Puskesmas untuk memperluas jangkauan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan adalah Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan Bidan di Desa. Ketiga jaringan ini langsung di bawah tanggung jawab Puskesmas dan melaksanakan fungsi – fungsi Puskesmas dalam lingkup yang lebih kecil. Sehingga ke depan, diharapkan tidak ada lagi perdebatan mengenai jaringan Puskesmas ini. Dan sebagai pembina UKBM, agar Puskesmas dapat bekerjasama dengan lintas sektoral sebagai leading UKBM tersebut. Pembinaan dilakukan bersama – sama, berkesinambungan, sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya, di bawah koordinasi pemimpin wilayah setempat.