Thursday, January 26, 2012

IN-SERVICE TRAINING


Rycus dan Hughes (2000), mendefinisikan in-service training ini sebagai pelatihan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang. Penilaiannya bisa dilaksanakan sendiri, dengan bantuan penyelia, pelatih atau mentor. Kegiatannya sering informal walaupun menggunakan instrumen – instrumen yang dipakai pada pelatihan formal. Pada hakekatnya, in-service training ini adalah bentuk dari on-the job training yang sudah biasa dilakukan apabila ada karyawan baru dalam sebuah organisasi kerja.
Dengan metode in-service training ini diharapkan setiap orang dalam sebuah organisasi kerja akan mendapatkan pelatihan yang tepat dan alam waktu yang tepat, sehingga akan memaksimalkan relevansi, aktualitas dan ketersediaan sebuah pelatihan sementara sumber daya yang disediakan untuk sebuah pelatihan benar – benar dapat diberikan untuk pelatihan yang paling dibutuhkan.
Hal – hal tersebut di atas memungkinkan karena dibandingkan teknik pelatihan konvensional, in-service training memiliki beberapa karakteristik yang mendukung, diantaranya adalah :
a.       Tanpa sistem yang formal untuk kegiatan pembelajaran. Seringnya proses pembelajaran dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tugas – tugas peserta pelatihan dalam pekerjaannya, sehingga akan langsung berhubungan dengan pekerjaannya dan dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaannya.
b.       Tidak perlu meninggalkan tempat kerja untuk menuju tempat pelatihan sehingga akan mengurangi  biaya transport dan penginapan.
c.       Tidak terpaku pada standar yang kaku dan mengakomodasi kepentingan peserta latih karena dilibatkan sejak mulai perencanaan kebutuhan pelatihan, pelaksanaan sampai evaluasi.
d.       Setiap individu peserta pelatihan akan mendapatkan materi pelatihan hanya yang berhubungan dan dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaannya.
e.       Pelaksanaan pelatihan dapat individual atau kelompok.
Karena karakteristiknya yang langsung berhubungan dengan pekerjaan peserta pelatihan, maka in-service training akan lebih efisien, mudah diterima dan dapat dikembangkan untuk memaksimalkan hasil sesuai yang diinginkan. In-service training sudah banyak diterapkan di berbagai tempat. dari berbagai hasil penelitian terbukti bahwa metode ini memiliki efektifitas tinggi terhadap implementasi hasil pelatian.
Sisson (2009), menuliskan suatu bentuk lain dari in-service training yang disebutnya dengan hands-on training. Ini juga merupakan on-the job training yang ditujukan terutama untuk memberikan motivasi bagi penyelia atau karyawan yang terampil untuk melatih karyawan lainnya. Dengan ini dimungkinkan bahwa pelatih dalam in-service training bisa dilakukan oleh bukan pelatih profesional yang tidak terlalu mementingkan teori tentang pelatihan. Mereka adalah para pekerja terampil di bidangnya masing – masing. Mereka akan mengajarkan karyawan lainnya bagaimana melakukan pekerjaan tersebut dengan baik.
Perbedaan antara on-the job training tradisional dengan metode hands-on training adalah :
a.     On-the job training tradisional :
a.     Instruktur fokus pada pekerjaan, utamanya pada produktivitas kerja.
b.     Pelatihannya tidak terstruktur dan mengikuti irama kerja.
c.     Instruktur biasanya hanya mengajarkan pengalaman dan ketrampilan yang dimilikinya pada peserta latih.
d.     Methode pelatihan ditentukan oleh instruktur.
b.     Hands-on training :
a.     Mempersiapkan peserta latih.
b.     Memberikan petunjuk.
c.     Mencoba/menilai kinerja.
d.     Tindak lanjut.
Jadi, hands-on training merupakan kegiatan on-the job training dengan menggunakan pendekatan pelatihan yang terstruktur. Dalam hal ini, sama dengan in-service training. Dalam kegiatan ini, siapapun dapat menjadi instruktur selama dia memiliki kemampuan untuk melakukan fasilitasi pelatihan, atau memiliki kemampuan sebagai fasilitator atau pelatih.


Sumber :
Rycus, Judith, S. Huges, Ronald, C. (2000), What Is Competency-Based Inservice Training. USA, Institute For Human Resources. e-book.

Sisson, Gary, R. (2009), Hands-on Training. A Simple and Effective Method for On-the-Job Training. Colorado, Berret – Koehler Publishers. e-book.

Bornman, J., Alant, E. (2007). A Beginning Communication Intervention Protocol : In-service Training of Health Worker. Jurnal Education and Training in Developmental Dissabilities. Juni. Vol : 42, p : 206 – 207. (internet). (Diakses 15 Januari 2012)

Newton, O., English, M. (2010). In-service Training for Healh Professionals to Improve Care of The Seriously Ill Newborn or Child in Low and Middle-income Countries. John Wiley & Sons, Ltd (internet), Mei. (Diakses 15 Januari 2012)

McDermott, J., Beck, D., Buffington, S.T., Annas, J., Supratikto, G., Prenggono, D., Ekonomi, D.M.F., Achadi, E. (2001). Two models of in-service training to improve midwifery skills: How well do they work. Journal of Midwifery \& Women's Health. Vol : 46, p : 217-225. (internet). (Diakses 15 Januari 2012)

Joynes, O. (2010). Distance Learning for Health : A Global Review of Accredited Post-qualification Training Programmes for Health Worker in Low and Middle Income Countries. London International Development Centre. (internet), Oktober. (Diakses 15 Januari 2012)

EVALUASI PELATIHAN


Evaluasi pelatihan secara khusus mencermati masalah – masalah yang terkait dengan aplikasi pembelajaran di tempat kerja, implementasi jangka panjang, biaya dan efektifitas pelatihan serta pengembangan yang diberikan (Rae, 2005).
Kirkpatrick (1994), mengemukakan beberapa alasan perlunya diadakan suatu evaluasi terhadap pelatihan, diantaranya adalah :
a.       Mempertanggungjawabkan keberadaan bagian Diklat dengan menunjukkan bagaimana bagian ini berkontribusi terhadap tujuan dan cita – cita organisasi.
b.       Membuat keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan program – program pelatihan.
c.       Mendapatkan informasi bagaimana mengembangkan program – program pelatihan selanjutnya.
Kirkpatrick juga mengatakan bahwa untuk melakukan evaluasi pelatihan teradapat empat tahap proses yang dikenal dengan The four level evaluation. Tahapan – tahapan itu merupakan serangkaian proses yang dinamis. Meskipun evaluasi pada tahap yang lebih tinggi akan memakan waktu yang lebih lama dan sulit, namun dapat memberikan informasi yang lebih lengkap tentang program pelatihan yang dievaluasi.
Empat tahap evaluasi itu adalah :
a.       Reaction. Evaluasi ini dilakukan pada saat dan setelah menerima materi pelatihan, yakni evaluasi untuk mengukur minat dan reaksi peserta atas pelatihan.
b.       Learning. Disebut juga evaluasi hasil belajar. Evaluasi ini dilakukan untuk mengukur tingkat pemahaman peserta setelah menerima pembahasan dari para pelatih setiap sesi pelatihan. Penilaian terhadap tingkat pemahaman ini sangat penting untuk mengetahui apakah peserta materi yang diberikan dalam pelatihan.
c.       Behavior. Evaluasi ini dilakukan setelah pelatihan. Tujuannya untuk melihat bagaimana perilaku peserta setelah mengikuti pelatihan, langkah – langkah apa yang sudah dilakukan serta bagaimana sikap stake holder terhadap hasil pelatihan.
d.       Result. Merupakan evaluasi jangka panjang, yakni evaluasi mengenai kinerja lembaga yang terjadi akibat kinerja anggota organisasi yang mengikuti pelatihan. Evaluasi ini dapat dilakukan tiga sampai empat tahun setelah pelatihan.

Sumber :
Rae, Leslie. (2005), Using Evaluation in Training and Development. Ed. Terjemahan.  Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.

Patrick, Donal, L. (2008), Evaluating Training Programs. The Four Level. (1st ed). San Fransisco, Berret – Koehler Publishers.


FASILITATOR PELATIHAN

Biech (2005), mengatakan bahwa fasilitator berbeda dengan pelatih, walaupun dalam hal ini fasilitator adalah juga seorang pelatih. Dengan dikenalkannya konsep andragogi oleh Malcom Knowles tahun 1060-an, konsep pelatihan mengalami perubahan menjadi konsep pembelajaran orang dewasa. Di sini seorang pelatih bukan hanya sekedar penyampai informasi, tapi juga mulai menrapkan prinsip – prinsip pembelajaran orng dewasa yang proaktif dan responsif dengan kebutuhan peserta latih, fleksibel tapi tetap berpegang pada agenda yang sudah dibuat, menyampaikan materi pelatihan dan memfasilitasi diskusi dengan peserta untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang paling efektif. Mereka menyebut pelatih seperti ini sebagai “facilitative trainer” atau pelatih yang memfasilitasi. Pelatih ini disebut juga fasilitator. Dengan kata lain, Biech menegaskan bahwa fasilitator adalah pelatih yang efektif (effective trainer).
Kapur (2002) menyebutkan peran dari fasilitator pelatihan ini adalah sebagai berikut :
a.       Berperan dalam upaya pencapaian – pencapaian organisasi.
b.       Memahami permasalahan - permasalahan kunci di organisasi.
c.       Melakukan seleksi dari sasaran peserta pelatihan.
d.       Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan.
e.       Mengembangkan rencana pembelajaran.
f.        Membuat rancangan program pelatihan.
g.       Menyiapkan bahan dan rencana pelatihan.
h.       Menyiapkan administrasi dan supervisi pelatihan.
i.        Menyiapkan pendanaan.
j.        Implementasi dan memonitor program.
k.       Melakukan evaluasi.
l.        Menerima umpan balik dari peserta latih atau fasilitator lain.
m.     Membuat pencatatan pelaporan
Cook (1999) menyusun karakter yang harus dimiliki oleh seorang pelatih agar dapat menjadi pelatih yang efeektif. Karakter – karakter itu adalah :
a.     Positif.
b.     Penuh semangat.
c.     Mendukung.
d.     Memberi kepercayaan.
e.     Fokus.
f.      Berorientasi pada tujuan.
g.     Memiliki pengetahuan.
h.     Mengarahkan.
i.      Penuh penghargaan.
j.      Sabar
k.     Jelas.
l.      Tegas.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pelatihan yang efektif adalah tujuan. Pelatihan dikatakan efektif bila peserta latih mendapatkan apa yang mereka butuhkan dalam mendukung pekerjaan atau kehidupan mereka. Jadi, peran fasilitator menjadi sangat vital dan yang dibutuhkan dalam sebuah pelatihan memang akhirnya lebih daripada sekedar seorang pelatih konvensional.
  
Sumber :
Stevens, Nicola. (2008), Learning to Coach. For Personal and Proffesional Development (2nd ed). UK, How To Book by Deer Park Productio, Inc. e-book

Blanchard, Scott. Homan, Medelein. (2006), Coahing Secrets of The Top Executives. Ed. Terjemahan.  Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.

Biech, Elaine. (2005), Training for Dummies. USA, Wiley Publishing, Inc.

Kapur, S. (2002), Becoming An Effective Facilitator. (1st ed). New Dehli, Infinity Books.

Cook, Marshall, J. (1999), Effective Coaching. USA, The McGraw-Hill Companies.  
     

PELATIHAN UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN MANAJEMEN PUSKESMAS (2)


PELATIHAN MANAJEMEN UNTUK KEPALA PUSKESMAS

Dengan diberlakukannya pendanaan internasional untuk pelayanan kesehatan, para pemberi dana ingin tahu seberapa jauh pelaksanaan program-program kesehatan yang didanainya mewujudkan tujuan mereka. Untuk itu para pengelola pelayanan kesehatan harus memahami dan meningkatkan kualitas evaluasi intervensi. Dan, sangat penting evaluasi akhir kegiatan dimasukkan dalam pelaksanaan pelatihan selama proses pembelajaran (Ridde, et al., 2009).
Dilaksanakannya pelatihan pada area ketrampilan-ketrampilan khusus akan menyiapkan para pemimpin dan pelaksana pelayanan kesehatan secara lebih baik dan lebih efektif dalam merespon bahkan membuat perubahan dalam menjawab tantangan-tantangan kesehatan. Ketrampilan khusus yang dimaksud di sini adalah manajemen pelayanan kesehatan masyarakat. Pengembangan kemampuan manajemen adalah unsur pokok dalam upaya negara untuk meningkatkan infrastruktur kesehatan masyarakat. Pelatihan kesehatan masyarakat yang profesional harus memasukkan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan tentang kepemimpinan yang akan meningkatkan secara keseluruhan kompetensi dari sumber daya manusia (Saleh, et al., 2009).
Prakarsa dalam penyelesaian masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang sering gagal bukan karena kurangnya ilmu pengetahuan, melainkan karena kurangnya kompetensi manajerial dari para tenaga kesehatan. Kurangnya ketrampilan manajemen pada sumber daya manusia ini semakin terlihat pada tahun-tahun belakangan oleh adanya desentralisasi pelayanan. Pelatihan-pelatihan yang ada sering difokuskan pada prosedur-prosedur tehnis pada bagian-bagian kecil penyakit atau masalah kesehatan. Sementara keberhasilan pelaksanaan suatu program ditentukan oleh manajer garis depan dengan ketrampilan-ketrampilan yang lengkap dalam menentukan prioritas, merencanakan dan memecahkan masalah (McEwan, et al., 2001).
Dalam rangka meningkatkan ketrampilan manajerial para pengelola program pelayanan kesehatan ini, maka berbagai program pelatihan dibuat untuk diberikan. Yang pertama adalah pelatihan Manajemen Puskesmas. Puskesmas menjadi penting di sini, karena sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomer 128 Tahun 2004, Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis, puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian tugas tehnis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pelatihan ini diberikan untuk Kepala Puskesmas dan sempat diberikan sebagai pembekalan bagi para dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang akan melaksanakan tugas di Puskesmas.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 267/Menkes/SK/III/2008 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Daerah, disebutkan ada Pendidikan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) yang ditujukan untuk Pegawai Negeri Sipil yang menduduki Jabatan Struktural. Dimulai yang paling rendah yaitu Diklatpim tingkat IV untuk para pejabat struktural eselon IV. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomer 13 Tahun 2002 dan Kemenkes Nomer 276 Tahun 2008, Eselon IV merupakan jabatan tehnis umum dan disyaratkan mengikuti Diklatpim Tingkat IV. Diklatpim ini ditujukan untuk memberi bekal ketrampilan dan pengetahuan tentang manajemen dan kepemimpinan yang dibutuhkan, dalam hal ini untuk mengelola kegiatan yang langsung bersifat tehnis pelaksanaan. Baik Pelatihan Manajemen Puskesmas maupun Diklatpim IV adalah pelatihan yang bersifat individual atau perorangan.
Ada lagi pelatihan untuk memberikan bekal ketrampilan dan pengetahuan manajerial dan kepemimpinan yang sifatnya berkelompok atau tim. Salah satunya adalah pembentukan District Team Problem-Solving (DTPS). District Team Problem-Solving adalah suatu proses, kira-kira dalam waktu satu tahun, dalam sebuah tim yang dipandu melalui workshop (dengan tugas yang terstruktur berangkaian) dalam :
1.    Melakukan analisis salah satu prioritas masalah kesehatan masyarakat yang utama di wilayah mereka (dalam lingkup Kabupaten/kota)
2.    Merencanakan, kemudian mengimplementasikan alternatif pemecahan masalah oleh mereka sendiri dalam waktu satu tahun
3.    Menyelenggarakan dan menunjukkan hasil evaluasi mereka sendiri terhadap pelasanaan yang dilterapkan (kemajuan, hambatan, perbaikan pelayanan, dan dampaknya terhadap derajat kesehatan)
4.    Pengembangan team-work yang baik dan peningkatan ketrampilan manajerial
Salah satu contoh DTPS yang dikembangkan di Indonesia adalah pembentukan DTPS-MPS (District Team Problem-Solving – Making Pregnancy Safer). Pembentukan DTPS-MPS ini dimaksudkan sebagai  forum diskusi untuk merumuskan masalah dan mencari solusi untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Tim yang terdiri dari berbagai lintas program dan lintas sektoral ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan AKI – AKB melalui kegiatan-kegiatan dalam tupoksi dan kewenangannya yang mendukung tujuan tersebut.
Berbagai pelatihan manajemen dan kepemimpinan yang diberikan kepada para tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang terus bermunculan dimana salah satu penyebabnya adalah karena kemampuan manajemen yang lemah. Dalam Sistem Kesehatan Nasional Tahun 2009, disebutkan bahwa manajemen merupakan salah satu isu strategis yang harus mendapatkan perhatian. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kebijakan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan, berbasis bukti dan operasional. Untuk itu, peningkatan kemampuan manajerial dari sumber daya manusia kesehatan menjadi suatu keharusan (SKN, 2009).

Sumber :
Ridde, V., Fournier, P., Banza, B., Tourigny, C and Ouedraogo, D. (2009). Programme Evaluation Training for Health Professionals in Francophone Africa : Process, Competence and Use. http:// www.Pubmed.com/health service research. January. (Diakses 12 Oktober 2011)
Saleh, S.S., Williams, D and Balougan, M. (2009). Evaluating the Effectiveness of Public Health Leadership Training : The NEPHLI Experience. American Journal of Public Health. July 2004; 94 : 1245 – 1249.
McEwan, E., Conway, M.J.,  Bull, D.L and Malison, D, Developing Public Health Management Training Capacity in Nicaragua.  American Journal of Public Health.Field Action Report. Oktober 2001; 91 : 1586 – 1588.
Thorne, M., Sapirie, S,  Rejeb, H, Distric Team Problem Solving Guidelines for Maternal and Child Health, Family Planning and Other Public Health Services.  World Health Organization. Oktober 1993 : 1.
Depkes, R.I, (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 267/Menkes/SK/III/2008 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Daerah. Sekretariat Jenderal.
Depkes, R.I, (2009). Sistem Kesehatan Nasional : Bentuk dan Cara Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan. Sekretariat Jenderal.

PELATIHAN UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN MANAJEMEN PUSKESMAS (1)


PELATIHAN

Pelatihan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu proses latihan, yaitu proses belajar dan membiasakan diri agar mampu melakukan sesuatu. Menurut Departemen kesehatan, pendidikan adalah proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme dan atau menunjang pengembangan karier tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, agar produktif dan bermutu melalui proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan andragogi.
Danim (2008) memadankan pelatihan dengan coaching yang merupakan teknik belajar yang melibatkan pengamatan individual pada pekerjaan dan penentuan umpan balik untuk memperbaiki kinerja dan mengoreksi kesalahan. Oleh karenanya, pelatihan dapat diberi makna sebagai persiapan untuk :
a.       Meningkatkan kompetensi dan ketrampilan staff.
b.      Persiapan promosi untuk posisi – posisi penyeliaan.
c.       Peningkatan kinerja kepemimpinan bagi orang – orang yang berada di posisi tersebut.  
Sementara Stevens (2008) mendefinisikan pelatihan sebagai hubungan yang dibangun sedemikian rupa dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran, efektivitas dan pemenuhan. Hubungan yang dimaksud di sini adalah hubungan profesional antara pelatih dan peserta pelatihan yang saling melengkapi, baik individual maupun kelompok. Pelatihan digunakan saat suatu ketrampilan, baik secara teori atau praktik, dibutuhkan untuk dipelajari.
Sasaran utama pelatihan adalah membantu peserta pelatihan secara obyektif mereka sedang berada di mana (kondisi sekarang) dan ingin berada di mana (kondisi masa datang), lalu mengembangkan suatu rencana untuk bergerak dari tempat sekarang menuju tempat yang ingin dicapai. Jelas di sini bahwa pelatihan merupakan proses berkelanjutan yang tidak berhenti dan pembelajaran selanjutnya lebih penting daripada sekedar pelatihan itu sendiri.

Sumber :
Danim, Sudarwan. (2008), Kinerja Staf dan Organisasi.  Bandung : Pustaka Setia.
Biech, Elaine. (2005), Training for Dummies. USA, Wiley Publishing, Inc.

PUSKESMAS PONED


Dalam upaya penurunan AKI dan AKB, grand strategy yang ditetapkan Indonesia adalah Making Pregnancy Safer (MPS). Dalam MPS ditetapkan berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mendukung penurunan AKI dan AKB. Salah satu hal yang diupayakan adalah pengadaan Puskesmas dengan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar). Puskesmas PONED diharapkan mampu menjadi rujukan antara sebelum Rumah sakit untuk mengatasi kegawatdaruratan yang terjadi pada ibu hamil, melahirkan dan nifas. Sebagaimana telah diketahui bahwa  salah satu faktor penyebab kematian ibu adalah keterlambatan merujuk ke Rumah Sakit apabila ada kegawatdaruratan. Keterlambatan ini yang berkaitan dengan kondisi geografis.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis, Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu Kecamatan.
Dalam kondisi tertentu, masyarakat membutuhkan pula pelayanan rawat inap dan di beberapa wilayah juga dibutuhkan pelayanan medik spesialistik. Puskesmas PONED merupakan pengembangan pelayanan medik spesialistik di Puskesmas dalam rangka mendekatkan pelayanan rujukan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini adalah beberapa pelayanan kegawatandaruratan kebidanan dan bayi baru lahir. Pengembangan tersebut dalam pelaksanaannya harus memperhatikan berbagai persyaratan tenaga, sarana sesuai standar yang telah ditetapkan. Selain di Puskesmas, PONED bisa diselenggarakan di saran pemberi layanan kesehatan lainnya sepanjang itu memenuhi syarat – syarat yang ditetapkan.
Kematian ibu dan bayi sering terjadi karena komplikasi yang terjadi pada masa sekitar persalinan, maka intervensi ditekankan pada kegiatan pertolongan persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan terlatih. Melalui pertolongan yang baik dan benar, diharapkan komplikasi akibat salah penanganan bisa dicegah, mengetahui dengan cepat komplikasi yang timbul dan dan dengan segera memberikan pertolongan termasuk merujuk bila diperlukan. Kegiatan difokuskan pada kegiatan peningkatan penyediaan pelayanan kesehatan ibu berkualitas dan pemanfaatannya.
Karena kejadian komplikasi sulit diduga sebelumnya, maka harus tersedia fasilitas dan tenaga kesehatan yang mampu memberikan pertolongan bila terjadi komplikasi di semua tingkatan dan dapat melayani secara purna waktu. Dan kegiatan untuk penanganan komplikasi ditujukan pada :
a.  Penyediaan sumber daya :
1.  Bidan mampu PPGDON
2.  Puskesmas mampu PONED
3.  Rumah sakit mampu PONEK
b.  Menjamin pencegahan dan penanggulangan infeksi.
c.  Program jaminan mutu.
d.  Pemenuhan alat medis dan obat-obatan yang mendukung terlaksananya pelayanan kegawatdaruratan.
e.  Penanganan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan metode kanguru.
f.   Persiapan dalam manghadapi kondisi gawat darurat.
Dalam salah satu outputnya, strategi MPS menyebutkan bahwa setiap Kabupaten/kota diharapkan mengembangkan minimal empat fasilitas PONED yang berkualitas, terutama di Puskesmas dengan tempat tidur.
Kegiatan – kegiatan yang dilakukan dalam membentuk puskesmas PONED dimulai dengan meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan untuk menangani kesehatan ibu dan bayi baru lahir melalui pemberian pelatihan intensif untuk dokter umum dan bidan. Kegiatan pelatihan diikuti dengan memantau efektivitas program in-service training dan pendidikan berkelanjutan.
Adapun kualitas PONED dipantau melalui assesment yang dilakukan setiap enam bulan sekali untuk melihat indikator keberhasilan pelaksanaannya yang meliputi :
a.  Peningkatan pengetahuan dan kinerja klinis. Ini dilihat dari penilaian langsung dengan menggunakan daftar tilik dan evaluasi kinerja dari waktu ke waktu melalui audit klinis.
b.  Penghargaan positif dari masyarakat yang dilayani. Ini dilihat dari kunjungan PONED dari waktu ke waktu.
c.  Peningkatan moral pelaksana yang secara positif memperngaruhi retensi dan motivasi.
Indikator – indikator di atas akan tercapai, salah satunya dengan pelaksanaan kegiatan pelatihan berkelanjutan melalui in-service training yang dilakukan di fasilitas PONED.
Agar tujuan diadakannya Puskesmas PONED ini tercapai, diperlukan pengelola yang memiliki kemampuan manajemen dan ketrampilan memadai. Selain pengelola PONED langsung, peran Kepala Puskesmas sebagai pengambil keputusan tertinggi di Puskesmas sangat menentukan keberlangsungan PONED. Kapasitas manajerial Kepala Puskesmas untuk memfasilitasi pengembangannnya sangat vital.
Tindakan kegawatdaruratan yang dapat dilakukan pada pelaksana  PONED (sesuai buku acuan dan panduan) ini adalah :
a.     Plasenta manual,
b.     Kuretase pada abortus inkomplit tanpa komplikasi dengan AVM,
c.     Penanganan awal perdarahan ante partun dan post partum,
d.     Penjahitan robekan porsio,
e.     Kompresi bimanual dan aorta,
f.      Resusitasi pada asfiksia neonatal,
g.     Pemberian medikamentosa melalui vena umbilikalis,
h.     Ekstraksi vakum letak (stasion 0/0) rendah dengan vakum ekstraksi manual,
i.      Penanganan awal pre eklamsia/eklamsia, penanganan distosia bahu,
j.      Melaksanakan rujukan ke rumah sakit.
Pembinaan tehnis dilakukan bersama antara Dinas Kesehatan, dokter spesialis Rumah Sakit Umum Daerah sebagai konsulen dan Pusat Pelatihan Klinik Primer Kabupaten Banjarnegara.
Keberlangsungan Puskesmas PONED sangat bergantung pada komitmen para pelaksananya. Adapun perkembangannya dipantau melalui assesment yang dilakukan setiap enam bulan sekali dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Di luar itu, Puskesmas melakukan self assesment untuk mengevaluasi pencapaian dan ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan kapasitas. Penyebaran informasi dan pengembangan ketrampilan terhadap seluruh petugas terkait menjadi sangat penting. Tim yang dilatih harus mampu memberikan informasi dan melakukan assesment pelaksanaan PONED di Puskesmas. Selain self assesment, juga dilakukan peer review yang dilakukan antar tenaga kesehatan maupun antar puskesmas. Dengan demikian, setiap personal akan berupaya meningkatkan kemampuannya. Tiap puskesmas diharapkan akan meningkat kualitas pelayanannya.
Untuk hal tersebut di atas, peran kepala Puskesmas sangat besar dalam menumbuhkan motivasi mengembangkan diri pada karyawan yang akhirnya akan berimbas pada peningkatan kualitas pelayanan. Hal tersebut hanya akan terjadi bila dalam Puskesmas tersebut ada semangat untuk belajar. Semangat dan motivasi untuk menjadi organisasi pembelajaran (learning organization).
Di samping yang sudah disebutkan di atas, untuk menjamin keberlangsungan program, perlu diciptakan suatu mekanisme untuk memelihara dan memutakhirkan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam praktek sehari – hari. Untuk hal tersebut, perlu pemantauan efektivitas program in-service training dan pendidikan berkelanjutan.
Selain peran Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan pengelola PONED di Puskesmas memiliki andil besar dalam pelaksanaan dan pemantauan kegiatan in-service training ini. Kepala Puskesmas harus mampu menjadi fasilitator dalam kegiatan ini. Dengan pelaksanaan in-service training yang efektif,  pelaksanaan PONED diharapkan akan semakin mantap dan berkelanjutan.  

Sumber :
Depkes, R.I, (2008). Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010. Sekretariat Jenderal.
Depkes, R.I, (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Depkes, R.I, (2009). Sistem Kesehatan Nasional : Bentuk dan Cara Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan. Sekretariat Jenderal.
Senge M, Peter. (1990). The Fifth Discipline. The Art And Practice on The Learning Organization. (1st ed). USA, Bantam Doubleday Dell Publishing Group, Inc.

PERAN DINAS KESEHATAN KABUPATEN DALAM PENGEMBANGAN KABUPATEN LAYAK ANAK



PENDAHULUAN
Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka Dinas Kesehatan berada pada cluster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Walaupun sebenarnya, antara satu cluster dengan cluster lainnya akan saling berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. Pembentukan cluster uni hanya untuk memudahkan agar masing – masing sektor memiliki peran yang jelas dengan tupoksi yang tidak tumpang tindih dengan sektor lainnya.
Sesuai UU Nomor 36 Tahun 2009, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. termasuk di sini tentunya anak – anak yang masuk dalam kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan. UU tersebut juga mengatur secara khusus mengenai upaya kesehatan anak. Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan pemeliharaan kesehatan anak adalah sejak dari dalam kandungan sampai berusia 18 (delapan belas tahun).
Hubungannya dengan Kabupaten Layak Anak (KLA), dalam UU tersebut diatur dalam pasal 135 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan anak untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat” serta “tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan  terhadap resiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak”.
       Jelas di dalam kalimat di atas, bahwa setiap pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, harus meminimalkan faktor resiko yang bisa membahayakan anak dari sisi kesehatannya. Sementara yang dimaksud dengan kesehatan di sini adalah sehat secara fisik, mental, spiritual maupun sosial. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, upaya pemeliharaan kesehatan anak ini ada dalam tugas pokok dan fungsi dari Bidang Pelayanan Kesehatan Keluarga yang didukung oleh bidang – bidang lainnya dalam hal – hal tertentu.

PERMASALAHAN KESEHATAN ANAK SECARA UMUM
       Berbagai permasalahan kesehatan yang sering ditemukan pada anak, dapat digolongkan dalam beberapa kelompok :
1.     Terbakar, sangat sering dijumpai. Termasuk di sini adalah preventable injury yang banyak terjadi di rumah tangga, seperti benda tajam, terpeleset, dan lain – lain.
2.      Pola – pola kekerasan terhadap anak.
a.   Fisik : pemukulan, kekerasan yang menyebabkan perlukaan fisik lainnya.
b.   Mental : caci maki, cemooh, penghinaan, dll.
c.  Kekerasan seksual, yang sering tidak dipahami pada anak – anak kecil (balita) dan berakibat pada perkembangan selanjutnya.
3.      Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan mental. Terbanyak adalah dari keluarga atau lingkungan sekolah. Biasanya pemberian “hukuman” yang berat dan tidak mendidik akan berimbas pada kesehatan mental mereka selanjutnya. Bullying yang dilakukan oleh teman sebaya yang tidak terdeteksi oleh orang tua maupun guru.
4.      Penyakit menular dan kesalahan terapi.
5.   Gangguan kesehatan karena faktor lingkungan. Yang paling banyak terdeteksi adalah adanya polusi udara baik dari kendaraan atau asap rokok, kasus – kasus keracunan karena pencemaran air dan tanah oleh logam – logam berat atau zat kimia berbahaya, termasuk pemakaian bahan tambahan makanan berbahaya pada produk makanan yang ditujukan untuk anak – anak.
6.      Kecelakaan lalu – lintas. Terbanyak karena pemakaian helm (anak tidak dipakaikan helm saat berkendaraan dengan sepeda motor) dan anak – anak yang tidak dikenakan sabuk pengamanyang sesuai dengan mereka.
7.      Kelainan/cacat bawaan sejak lahir. Paling sering adalah adanya kelemahan/gangguan fungsi otak. Penyebabnya bermacam – macam dan biasanya sangat berhubungan dengan kondisi ibu saat hamil.


PERAN DINAS KESEHATAN
        Untuk mewujudkan KLA ini, peran Dinas Kesehatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya adalah mengintegrasikan upaya – upaya untuk pemeliharaan kesehatan anak secara komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif).
Beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya adalah :
1.    Mengintegrasikan kebijakan kesehatan anak ini dalam kebijakan kesehatan secara umum dan saling berkaitan dengan kebijakan kesehatan lainnya sebagai bagia yang tidak terpisahkan.
2.    Meningkatkan advokasi terhadap upaya - upaya pengendalian kecelakaan/perlukaan terhadap anak yang terintegrasi dengan lintas sektoral.
3.    Meningkatkan upaya peningkatan mutu layanan kesehatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan anak, baik dengan melengkapi sarana, sumber daya manusia dan kebijakan teknis yang mengaturnya.
Dari tiga kebijakan besar itu kemudian dibreakdown dalam program dan kegiatan yang ada di Dinas Kesehatan yang sesuai dengan indikator – indikator KLA yang telah ditetapkan.

PENUTUP
       Dari uraian di atas terlihat bahwa untuk menciptakan KLA, dibutuhkan peran lintas sektoral secara terpadu. Tidak ada satu sektor pun yang secara dominan mampu melakukannya sendirian. Dan sebelum ditetapkan, indikatornya harus ditetapkan terlebih dahulu sejelas – jelasnya, disesuaikan dengan kebutuhan kota/kabupaten masing – masing tanpa meninggalkan pedoman yang sudah ada.
        Penting diketahui adalah bahwa permasalahan – permasalahan kesehatan anak, hampir semuanya dapat dicegah. Hanya dibutuhkan kerjasama yang baik antara orang tua, keluarga, masyarakat umum dan pemerintah untuk melakukannya. Dan yang lebih penting lagi adalah upaya rehabilitasi terhadap anak – anak yang sudah terlanjur mengalami perlukaan/ masalah kesehatan tersebut. Bila akhirnya dia menjadi disable, bagaimana pemerintah dapat menyediakan sarana untuk memfasilitasi mereka dengan disabilitasnya agar tetap dapat berinteraksi dengan lingkungan.