Monday, November 12, 2012

PENTINGNYA SATUAN PEMERIKSA INTERNAL (SPI) RUMAH SAKIT



 A. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang pentingnya pengendalian internal, kita dapat analogkan dengan tubuh manusia yang memiliki sistem sangat kompleks akan tetapi semuanya berjalan sangat tertib dan teratur sesuai dengan fungsi masing-masing.  Ketika suatu bagian atau komponen tertentu mengambil beban yang melebihi batas maka akan terjadi kerusakan pada sistem secara keseluruhan dan demikian juga ketika suatu bagian atau komponen berfungsi secara berlebihan maka juga akan mengganggu sistem besar.  Ketika manusia yang bersangkutan dapat mengendalikan fungsi dan peran masing-masing komponen atau bagian sehingga tidak berlebihan maka akan berlangsung secara normal.
Demikian juga suatu organisasi, lembaga, atau perusahaan yang dibentuk dari komponen-komponen sistem yang masing-masing memiliki kepentingan, maka sangat memerlukan adanya pengendalian internal.  Pengendalian internal ini dimaksudkan untuk mencegah secara dini tindakan yang akan menyimpang dari jalur pencapaian tujuan organisasi, lembaga, atau perusahaan.  Tujuan tersebut (tujuan lembaga, organisasi, perusahaan) merupakan tujuan bersama diantara anggota-anggota yang tergabung pada organisasi, lembaga, atau perusahaan.
 Rumah Sakit sebagai sebuah organisasi juga memiliki tujuan – tujuan yang harus dicapai, dalam hal ini adalah pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu terhadap para pelanggan baik internal maupun eksternal. Undang – undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengisyaratkan bahwa Rumah Sakit harus memiliki standar pelayanan yang harus dicapai dalam setiap aspek kegiatannya. Untuk mencapai standar ini Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi Rumah Sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan dan tata kelola klinis yang baik.
Dalam perjalanannya, pengelolaan Rumah sakit, sebagaimana sebuah organisasi, juga rawan terjadi penyimpangan – penyimpangan. Penyimpangan yang terjadi pada pemberian layanan, bukan tidak mungkin bisa beresiko cidera, bahkan kematian pasien dan berlanjut pada tuntutan hukum. Begitu juga bila yang terjadi adalah penyimpangan terhadap keuangan dan aset, bisa menjadi ancaman tindak kecurangan atau korupsi. Apapun bentuk penyimpangannya, potensial untuk menimbulkan kerugian terhadap Rumah Sakit. oleh karena itu, Undang – undang mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraannya, Rumah Sakit harus dilakukan audit. Audit yang dimaksud bisa berupa audit kinerja dan audit medik. Audit medik dilakukan oleh Komite Medik dan audit kinerja dilakukan oleh tenaga pengawas baik internal maupun eksternal. Audit kinerja internal dilakukan oleh Satuan Pemeriksa Internal (SPI) Rumah Sakit.


B. HARAPAN TERHADAP KEBERADAAN SPI DI RUMAH SAKIT
Tujuan pokok dari suatu pemeriksaan internal adalah membantu agar para anggota organisasi dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif, sehingga sistem dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Rumah Sakit sebagai sebuah organisasi, bila ingin maju maka SPI-nya haruslah kuat. ini menjadi semacam peraturan tidak tertulis bagi sebuah organisasi yang menginginkan tetap eksis dan berkembang. Karena dengan SPI yang berfungsi sesuai dengan tugas pokok dan perannya, maka organisasi dapat mencegah terjadinya kehilangan uang, menjaga aset dari tindakan korupsi, kelalaian, kebiasaan salah yang dibenarkan, penyimpangan, kecurangan dan pemborosan yang pada akhirnya organisasi dihindarkan dari kerugian – kerugian yang bisa dicegah.
Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit, keberadaan SPI diharapkan dapat menjadi mitra kerja yang baik bagi manajemen dalam menilai setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit. SPI bukanlah unit kerja yang mencari kesalahan, tetapi unit kerja yang membantu top manajemen dalam mengawasi dan mengevaluasi sistem pengendalian manajemen sehingga mengarahkan jalan-nya perusahaan dalam jalur yang benar.
Karena Rumah Sakit merupakan organisasi yang unik, maka SPI Rumah sakit harus mampu memngakomodasi keunikan tersebut.  Keunikan tersebut karena Rumah Sakit merupakan organisasi dengan produknya adalah jasa pelayanan yang berhubungan dengan manusia, sehingga area auditnya meliputi audit medik, audit keuangan dan aset, audit sumber daya manusia beserta administrasinya. Audit medik yang merupakan kekhususan dari SPI Rumah Sakit inilah yang akan berperan penting secara langsung terhadap mutu layanan yang diberikan oleh sebuah Rumah Sakit.
Pembentukan SPI haruslah didasari dengan itikad baik untuk memajukan Rumah Sakit. Dengan audit yang kuat dan sesuai harapan, Rumah Sakit akan semakin dipercaya dimana kepercayaan masyarakat terhadap layanan Rumah Sakitlah yang akan menentukan hidup matinya Rumah Sakit. 
Oleh karena itu anggota SPI diharapkan mampu :
1.         Menjalin komunikasi dengan seluruh anggota organisasi melalui sebuah metode pendekatan audit yang bersifat fasilitatif. Anggota SPI diharapkan mampu menempatkan diri untuk membantu para anggota organisasi dalam menilai kinerja dan mengatasi persoalan atau hambatan yang terjadi sehingga dapat berfungsi secara efektif dan kinerja menjadi optimal.
2.         Anggota SPI harus memiliki pemahaman yang memadai terhadap bidang – bidang yang akan diaudit. Karena itu, penempatan personil sebagai anggota SPI harus memikirkan berbagai aspek baik latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, kompetensi melakukan audit, memiliki catatan kinerja baik, loyalitas tinggi dan dedikasi terhadap pekerjaan. Integritas dan kredibilitas anggota menjadi penilaian utama. Penempatan personil yang tidak layak hanya akan memperlemah SPI dan ini akan membuat SPI tidak bisa memberikan kinerja seperti yang diharapkan. Karena itu, anggota SPI hendaknya juga diberikan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai sebagai dasar kompetensi mereka melakukan kegiatan audit.
3.         Disamping memiliki ilmu yang memadai, anggota harus mengasai kemampuan untuk menganalisa, melakukan penilaian, mengajukan rekomendasi atau saran – saran perbaikan sampai melakukan penilaian ulang apakah proses perbaikan sudah dilakukan sehingga persoalan benar – benar bisa selesai dengan tuntas.
4.         Tim SPI bukanlah merupakan Tim yang mencari – cari kesalahan anggota.  Tim ini merupakan unit kerja yang membantu manajemen dalam mengawasi dan mengevaluasi sistem pengendalian manajemen sehingga mengarahkan jalan-nya perusahaan dalam jalur yang benar. Temuan SPI tidak selalu negatif tetapi juga ada temuan positif, temuan positif ini sebaiknya di sebarluarkan sehingga dapat menjadi contoh bagi unit kerja yang lain. Setiap temuan Tim SPI yang memerlukan tindak lanjut oleh manajemen sebaiknya melalui manajemen review yang khusus membahas temuan atau rekomendasi SPI. Sehingga tidak ada kesan bahwa SPI merupakan “polisi” perusahaan yang langsung bisa mengambil tindakan koreksi tanpa koordinasi dengan manajemen. Untuk ini diperlukan komitmen yang kuat antara manajemen dengan SPI agar sistem kendali tetap bisa berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan ketakutan pada anggota organisasi.
5.         Adanya kewenangan yang memadai yang diberikan kepada Tim SPI untuk bisa mengakses berbagai tempat atau dokumen di organisasi sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dalam rangka melakukan tugasnya . Apabila tidak ada keterbukaan dan akses yang cukup, maka segala penyimpangan yang beresiko terhadap kerugian Rumah sakit tidak segera diketahui untuk segera dicarikan jalan penyelesaiannya.
6.         Tim mampu mengawal tindak lanjut yang direkomendasikan oleh auditor eksternal agar dapat diselesaikan oleh manajemen.
7.         Adanya independensi dari Tim SPI, yang artinya bahwa Tim SPI berpihak pada kebenaran faktual yang berdasarkan data dan fakta yang otentik, relevan dan cukup.
8.         Adanya aturan internal organisasi yang jelas yang mengatur tentang Tim SPI ini yang diketahui dan disepakati oleh semua pihak di Rumah Sakit. Aturan ini memuat tentang pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, hak dan kewenangan auditor, serta bentuk pertanggungjawabannya. Hal ini untuk menghindari salah pengertian tentang keberadaan Tim SPI itu sendiri di Rumah Sakit.

C. KONDISI SAAT INI
Kenyataan yang terjadi saat ini bahwa SPI masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tercermin dari beberapa hal berikut ini :
1.         Pembentukan SPI masih merupakan syarat untuk sebuah penyelenggaraan Rumah Sakit dan belum dirasakan sebagai kebutuhan internal untuk perbaikan organisasi. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan anggota yang yang kurang memperhatikan standar minimal kompetensi seorang auditor. Hal ini bisa dimengerti, salah satunya karena memang pekerjaan auditor merupakan pekerjaan yang “kurang diminati” oleh sebagian kalangan. Pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan “mencari musuh”. Hal ini tentunya tidak benar bila pemahaman tentang auditor internal ini sudah merata pada seluruh anggota organisasi.
2.         Adanya komunikasi yang kurang baik antara auditor dengan anggota organisasi. hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan yang masih belum tepat tentang auditor baik oleh auditor itu sendiri maupun anggota organisasi. Tidak adanya aturan yang jelas yang mengatur tentang auditor ini juga sering menyebabkan salah pengertian. Harusnya memang ada aturan yang jelas mengenai keberadaan auditor ini dan adanya komitmen seluruh anggota organisasi termasuk manajemen untuk menghormati peraturan ini.
3.         Kesulitan mencari personil yang akan ditempatkan dalam Tim SPI. Hal ini mungkin karena pekerjaan auditor dianggap pekerjaan yang tidak menarik dan di Rumah Sakit sendiri mungkin merupakan beban tambahan dari tupoksi seorang karyawan yang ditempatkan sebagai auditor internal. Hal ini karena di banyak Rumah Sakit, Tim SPI masih diambilkan dari karyawan yang sehari – harinya memiliki tupoksi dan belum merupakan Tim yang benar – benar independen dengan tupoksi hanya sebagai auditor internal.

D. PENUTUP
Dengan adanya pelatihan untuk Kepala SPI ini diharapkan ke depan SPI dapat menjadi mitra kerja manajemen dalam mengawal organisasi mencapai visi dan misinya melalui SPI yang menjadi :
1.    Pihak paling independen untk melakukan pengawasan seluruh jajaran organisasi sesuai tupoksinya.
2.    Pihak yang mengawal misi khusus yaitu pengelolaan resiko dan pengendalian operasional yang akan menjadi penyeimbang bagi jajaran manajemen dalam menjalankan organisasi agar dapat mengeliminasi hambatan – hambatan yang muncul menjadi sekecil mungkin.
3.    Tim yang menerapkan kinerja secara integrasi dan berkesinambungan setiap waktu sebagai sebuah siklus.
4.    Tim yang memiliki anggota dengan kompetensi memadai yang memiliki pengalaman untuk mencegah terjadinya tindak kecurangan yang akan merugikan organisasi.

 Disarikan dari banyak sumber.

Saturday, April 28, 2012

BAHASA POLITIK VS BAHASA KALBU, MANA YANG KITA PILIH?


Bahasa dan politik, jelas merupakan dua hal yang berbeda. Bahasa secara harfiah adalah bunyi – bunyian yang memiliki makna yang keluar dari mulut manusia. Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat kominikasi. Dengan bahasa manusia berinteraksi, bekerjasama dan bahasa juga bisa menjadi simbol identitas diri seseorang. Sedangkan politik berasal dari bahasa Yunani, Polis, yang artinya negara kota. Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Aristoteles mendefinisikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik). Akhirnya, dari berbagai definisi yang ada, diupayakan suatu penggabungan untuk mendefinisikan politik sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Sehingga dapat dimengerti bahwa sebenarnya arti dari politik adalah sesuatu yang positif. Tapi dewasa ini, politik telah diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan (baca : kekuasaan), dengan menghalalkan segala cara. Politik telah mengalami peyorasi karena perilaku dari para oknum pelakunya. Lalu bagaimana bila kedua kata itu digabungkan?
Dalam politik, fungsi bahasa direduksi sebagai alat yang sebatas untuk mengekspresikan kekuasaan. Bahasa politik adalah alat untuk mempengaruhi sehingga penuh eufimisme, jargon dan retorika. Penggunaan eufimisme (penghalusan bahasa) akan memberikan kesan bahwa seolah – olah segalanya terlihat baik, berkesan positif dibandingkan realita sesungguhnya. Eufimisme dan retorika bahasa digunakan untuk membungkus tindakan penguasa agar terlihat baik dan beradab, namun penggunaan bahasa ini justru akan membuat bahasa mengalami distorsi makna yang jauh menyimpang dari arti yang sebenarnya. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan mengalami penyesatan yang luar biasa. Banyak contoh mengenai ini. Misalnya, “tolong agar bisa dibantu” bisa berarti “harus bisa, bagaimanapun caranya”, “anda harus memahami bahasa kami” bisa berarti “anda harus menuruti kehendak saya!” dan lain – lain. Istilah “mengamankan, menertibkan, menjaga stabilitas” sering digunakan untuk “menculik, membunuh, memenjarakan” orang – orang yang berseberangan dengan penguasa. Dengan kata lain bahwa bahasa politik sebenarnya adalah bahasa yang digunakan sebagai alat politik.
Kalbu, dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian sebagai sesuatu yang berasal dari hati/nurani. Berasal dari bahasa Arab, Qolb, yang kemudian di-indonesiakan menjadi kalbu. Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan pengertian Qolb, salah satunya adalah bahwa Qolb adalah suatu organ tubuh yang terletak di dada manusia sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan keburukan. Pendapat ini dalam Islam didukung oleh Al- Qur’an Surat Al-Hajj ayat 46. Oleh karena itu Qolb selalu berbolak – balik dan bergejolak. Qalb atau selanjutnya kita sebut kalbu bukan sekedar sebongkah hati yang hanya bisa merasa. Kalbu adalah tempat “bersarangnya” pikiran (mind), jiwa (soul) dan ruh (spirit). Kalbu inilah yang membuat manusia mampu berpikir, membuat rencana – rencana, mengolah apa yang diterima indra, mampu menyelesaikan masalahnya, memiliki kendali terhadap perilaku dan dorongan akibat interaksinya dengan manusia lain dan kalbu inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan kalbu inilah manusia diharapkan mampu membuat kebaikan – kebaikan baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Jadi, bahasa kalbu adalah bahasa yang berasal dari hati/nurani yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menolak segala keburukan yang disadari. Merupakan hasil olah pikir, jiwa dan perasaan untuk mengemukakan kebenaran dengan cara – cara yang benar.
Kembali ke bahasa politik, bahasa menjadi tidak bermakna karena tidak keluar dari hati (baca : kalbu). Bahasa sebagai alat politik juga keluar dari mulut manusia – manusia yang suka berjanji tanpa ada niat untuk menepati. Hanya sebagai pemanis bibir saja. Hal ini banyak terlihat saat musim kampanye. Kampanye apapun yang intinya adalah untuk memperoleh kekuasaan. Janji – janji manis yang keluar tanpa diolah dari kalbu akan berhamburan dan semua hanya tinggal janji bila musim pemilihan berakhir.  Bahasa sebagai alat kekuasaan juga bisa berupa nasehat – nasehat bijaksana yang justru dilanggar sendiri oleh para pemberi nasehat. Contoh : dalam masa sulit ini, penguasa meminta rakyat untuk berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. Tapi pada kenyataannya, para penguasa justru hidup bermewah – mewahan, menuntut fasilitas mahal, sarana kelas satu yang jelas menghambur – hamburkan uang. Belum lagi pameran gaya hidup hedonis para penguasa yang jelas tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Bahasa sebagai alat politik juga bisa jatuh nilainya karena digunakan untuk mengumpat, mencela, mencaci – maki dan menjelek – jelekkan lawan politiknya dengan tujuan untuk menjatuhkannya. Ini hampir setiap hari dengan mudah kita saksikan di televisi sebagai tayangan yang digemari (?).
Lalu adakah bahasa yang mampu menyampaikan pesan – pesan kepada pendengarnya, bukan hanya sampai di telinga tapi juga sampai ke hatinya? Kalau kita mau jujur, bahasa kalbu-lah jawabannya. Tapi di jaman serba pragmatis dengan gaya hidup materialistis seperti saat ini, bahasa kalbu seperti tergilas. Para penggunanya sering dianggap sebagai orang yang “berseberangan” dan “tidak loyal” kepada penguasa yang menggunakan bahasa (sebagai alat) politik. Terutama bagi mereka yang berada dalam sistem pemerintahan. Saya yakin, masih banyak yang menggunakan bahasa kalbu dalam pengambilan kebijakan atau keputusan – keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Apa yang mereka katakan berasala dari dalam hatinya, bermakna mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Mereka adalah orang – orang yang memiliki integritas dan kredibilitas. Antara perilaku dan perkataannya selalu ada kesesuaian. Mereka tak akan menjanjikan sesuatu yang mereka tahu tak akan mampu dipenuhi.
Tapi orang – orang yang berbicara dengan bahasa kalbu ini minoritas, mereka dianggap sebagai orang – orang yang “berani” menentang arus dengan segala resikonya. Terutama bagi para pejabat pemerintahan. Karir yang terhambat, “kehilangan” jabatan, pengucilan, caci – maki bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwa diri maupun lingkungannya merupakan konsekuensi yang bisa terjadi. Sehingga akhirnya, banyak yang terjebak untuk mengikuti arus dengan mengakomodasi bahasa politik dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Bila sudah begini, kapan sistem akan diperbaiki?
Memang merupakan dilema, mana yang harus dipilih, bahasa politik atau bahasa kalbu. Tapi bila kita ingat bahwa segala yang kita katakan atau lakukan kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan “Sang Pemberi Amanah”, masihkan kita berpikir untuk mengakomodasi bahasa politik? Wallahu’alam.
NB : berharap ada masukan dan saran (CMIIW)

MANAJEMEN OBAT DI PUSKESMAS


PENGELOLA OBAT PUSKESMAS KELEBIHAN BEBAN?
Dari 35 Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara, baru 17 Puskesmas yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Tenaga teknis kefarmasian dan dua diantaranya ditambah hal tenaga apoteker. 18 Puskesmas lainnya dikerjakan oleh tenaga non teknis kefarmasian (paramedis, JMD, tenaga administrasi). Hal ini yang dirasakan merupakan salah satu penyebab masalah tidak tertibnya pengelolaan obat di Puskesmas, terutama masalah administrasi.
Pengelola obat menyatakan bahwa beban kerja mereka terlalu besar sehingga sering tidak mampu menyelesaikan administrasi tepat pada waktunya. Benarkah para pengelola obat Puskesmas kelebihan beban pekerjaan tupoksi kefamasian?
Gb 1. Tempat Pelayanan Obat di salah satu Puskesmas
Berdasarkan pengamatan penulis pada bulan April 2012 di 7 (tujuh) Puskesmas, dapat dikatakan bahwa pengelola kefarmasian di Puskesmas belumlah kelebihan beban. Hal ini berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan kefarmasian langsung ke pasien dan pencatatan register harian.
Adapun perhitungannnya adalah sebagai berikut : sampel diambil secara acak di tujuh Puskesmas, masing – masing antara 3 – 15 resep (74 resep). Waktu rata – rata yang diperlukan sejak petugas obat menerima resep sampai pasien menerima obat yang sudah diracik adalah 4,24 menit. Sementara waktu yang diperlukan oleh petugas kefarmasian untuk memasukkan satu resep dalam register harian (dari 74 resep yang sama), rata – rata membutuhkan waktu 0,19 menit. Sehingga jumlah total yang dibutuhkan sebuah resep untuk dilayani sampai masuk register harian rata – rata 4, 43 menit. Perhitungan tersebut sudah termasuk resep yang harus diracik (berupa puyer) sebanyak 14 resep (18,9%).

Dengan kunjungan rawat jalan Puskesmas rata – rata dua tahun (2010 dan 2011) sebanyak 747.511 kunjungan per tahun, maka rata – rata kunjungan rawat jalan Puskesmas per hari adalah 71,2 tiap Puskesmas. Dengan demikian, setiap harinya diperlukan sekitar 315,4 menit atau 5,3 jam atau 31, 8 jam tiap minggunya untuk pelayanan kefarmasian langsung. Dengan jam kerja 37,5 jam per minggu, mereka masih memiliki sisa 5,7 jam tiap minggu atau 22,8 – 28,5 jam setiap bulan untuk mengerjakan laporan bulanan, memperbaiki kartu stok dan membuat Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat serta mengatur pengelolaan obat untuk rawat inap dan Bidan di Desa.
Beberapa fakta yang bisa diungkapkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah sebagai berikut :
1.                     Dalam pelayanan obat di ruang obat, petugas pengelola obat jarang bekerja sendirian untuk melakukan pengemasan obat. Mereka banyak dibantu oleh petugas lain. Dengan kata lain, petugas pengelola obat lebih banyak bertanggungjawab mengerjakan pekerjaan administrasinya saja.
2.                     Pengelola obat sering menunda pencatatan dalam register harian, sehingga makin hari akan menumpuk, akhirnya setiap harus melakukan stok opname, register harian tidak terselesaikan dan langsung mengerjakan LPLPO. Ini menyebabkan antara LPLPO dan stok kenyataan selalu ada perbedaan.
3.                     Kurangnya perhatian Kepala Puskesmas untuk melakukan pendampingan dan evaluasi hasil kerja dari petugas pengelola obat agar mereka melaksanakan tugas sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
4.                     Masih ada beberapa pengelola obat yang bukan tenaga teknis kefarmasian. Mereka adalah tenaga fungsional lain yang diberi tugas mengelola obat.
5.                     Untuk Puskesmas yang kunjungannya di atas rata – rata, sudah ada yang memiliki dua petugas obat dan bagi yang baru memiliki satu petugas, banyak Kepala Puskesmas mengambil inisiatif untuk menugaskan secara lesan petugas lain untuk membantu.
Gb 2. Salah Satu Gudang Obat di Puskesmas
Dari beberapa hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya pengelola obat puskesmas tidak kelebihan beban dalam melakukan pengelolaan obat di Puskesmas. Pekerjaan mereka masih dalam batas wajar sesuai jam kerja mereka sebagai pegawai. Beberapa ketidakberesan yang timbul lebih disebabkan karena motivasi kerja tiap petugas.
Untuk mengatasi beberapa kendala yang muncul, kami merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1.                     Untuk Puskesmas yang belum memiliki tenaga teknis kefarmasian, agar tenaga yang diberi tugas sebagai pengelola obat, bila jumlah kunjungan perhari sama atau di atas rata – rata, diupayakan agar petugas tersebut tidak merangkap dengan tugas lainnya. Bagi yang di bawah rata – rata, bisa menyesuaikan.
2.                     Apabila memang tidak ada tenaga lain yang bisa diperbantukan, maka dapat diadakan lembur bila pengerjaan tugas tersebut memang melebihi jam kerja normatif (dengan disertai data pendukung yang menunjukkan kelebihan beban tersebut).
Perhitungan di atas tentulah merupakan perhitungan yang masih sangat kasar dan belum memenuhi kaidah penelitian yang baik. Sehingga, apa yang dituliskan masih perlu dikaji lebih mendalam untuk melihat keadaan yang sebenarnya, dengan sampel yang lebih banyak dan variabel yang jelas. Tapi setidaknya hal di atas bisa memberikan gambaran awal, bahwa sesungguhnya, pengelola obat di Puskesmas tidaklah kelebihan beban seperti yang dikatakan sebelumnya. Insya Allah. 

Tuesday, February 28, 2012

NAIK KERETA API EKSEKUTIF BIMA PURWOKERTO - GAMBIR

Dapat tugas dinas luar ke Jakarta selama empat hari, Selasa sampai Jum’at. Dari Banjarnegara, sepertinya lebih nyaman naik kereta api. Kalau naik pesawat, harus ke Jogjakarta atau Semarang terlebih dulu dan itu paling tidak empat jam perjalanan.
Setelah cari – cari informasi, akhirnya dapat juga tiket Kereta Api kelas eksekutif Bima seharga Rp 235.000,00. Lumayan juga untuk harga tiket Kereta Api. Kereta dijadualkan berangkat hari Selasa, 28 Pebruari 2012 pukul 00.40 pagi dan berhenti di stasiun Gambir. Di tiket pesawat tertera nomor gerbong 4 dengan nomor kursi 6D. Memang, sekarang Kereta Api memberlakukan satu bangku satu penumpang, sehingga diharapkan lebih nyaman.
Aku membeli tiket di loket pemesanan di stasiun dengan menunjukkan kartu identitas. Seorang wanita yang melayani memberikan informasi bahwa aku tidak harus datang ke stasiun untuk membeli tiket. Tiket bisa diperoleh secara online atau melalui agen (di Banjarnegara bisa diperoleh di Kantor Pos) dengan harga sama dengan kalau kita beli di stasiun. Ah, makin mudah saja pelayanan untuk calon penumpang. Akhirnya aku putuskan untuk membeli tiket berangkat saja dan pulangnya (karena belum ada kepastian tanggal) akan aku beli di Kantor Pos.
Pada hari keberangkatan, sebelum pukul 23.00 wib aku sudah siap di stasiun. Lebih baik menunggu daripada terburu – buru, begitu pertimbanganku. Sambil terkantuk – kantuk, anak – anak ikut mengantar karena tidak mau ditinggal. Pukul 23.30 wib mendapat informasi dari Polsus KA bahwa kereta diperkirakan terlambat lebih dari satu jam. Hah?! Terlambat? Ternyata karena ada gerbong kereta yang anjlog do stasiun Balapan, Solo. Ah, semoga lekas diatasi dan perjalanan selanjutnya lancar. Jangan kebiasaan delay ya? Aamiin…
Akhirnya, aku diantar rombongan kecilku menunggu di ruang tunggu penumpang umum. Sengaja aku tidak menunggu di ruang tunggu eksekutif karena anak – anak ingin melihat kereta. Aku sendiri ingin melihat – lihat suasana stasiun. Kami duduk – duduk di bangku tunggu empat seat yang terbuat dari stainless steel , bukan bangku panjang dari kayu yang sering tergambar di benakku mengenai ruang tunggu stasiun. Lantai ruang tunggu yang dikeramik kombinasi warna krem dan coklat terrakota juga terlihat bersih. Tak ada sampah berserakan yang dulu sering kulihat saat kecil bila akan ke Jakarta bersama orang tuaku. Banyak tong sampah yang tertutup disediakan di sekitar stasiun. Beberapa orang cleaning service juga tak henti untuk membersihkan lantai atau bangku yang terlihat kotor. Fasilitas kamar kecil juga disediakan, gratis. Cukup bersih dengan air mengalir yang melimpah.
Yang tak kalah menarik adalah pemandangan pedagang asongan di dalam stasiun. Mereka berseragam berwarna biru tua dengan dagangan yang dikemas dan tertata rapi. Cara menera menjajakan juga tidak membuat gerah calon pembeli. Mereka tidak menawarkan dengan memasuki dari gerbong ke gerbong, tapi hanya menawarkan dari pintu gerbong. Penumpang yang membutuhkan akan menuju pintu gerbong, menghampiri. Sehingga suasana di dalam gerbong tetap nyaman.
Memperhatikan perubahan yang sangat nyata terhadap pelayanan stasiun kereta api, tak terasa kalau waktu sudah beranjak lebih dari satu jam. Beberpa kereta silih berganti datang dan pergi. Penumpang pun turun naik. Pukul 01.55 wib, kereta yang akan kunaiki datang. Kereta tidak berhenti lama, hanya sekitar lima menitan. Pukul 02.00 wib kereta mulai berjalan perlahan dan akhirnya meninggalkan stasiun Purwokerto menuju Jakarta.
Di dalam kereta, tempat duduk yang dapat distel terasa sangat nyaman. Seluruh tempat duduk hampir penuh. Air conditionernya tidak terlalu dingin sehingga aku tidak membutuhkan selimut untuk dapat tidur dengan nyaman. Tapi mataku tak mau terpejam. Entah karena terlalu excited dengan layanan Kereta Api sekarang atau karena hal lain, yang jelas aku hanya memandang kosong pada langit gelap dari balik jendela yang tirainya setengah terbuka.
Pukul 05.55 wib, Kereta Api berhenti di Stasiun Dawuan. Stasiun kecil setelah Cirebon. Di sini kereta berhenti cukup lama, hampir lima belas menit. Beberapa penumpang kulihat menunaikan shalat subuh di bangkunya masing – masing. Kugunakan kesempatan ini umtuk ke kamar kecil. Sambil menunggu antrian, di dekat resto kulihat beberapa bapak – bapak berkumpul sambil bercakap – cakap ramai. Rupanya itu smoking area.
Beberapa crew kereta menawarkan sarapan pagi. Aku yang terbiasa sarapan, akhirnya memilih nasi goreng dan segelas kopi susu. Sayang, pelayanan yang nyaman agak terganggu dengan menu yang kurasakan kurang cocok. Nasgornya terlalu asin dan kopi susunya encer. Kopinya kopi bubuk yang berampas. Untuk sepiring nasi goreng dengan lauk telur dadar dan sepotong daging giling goreng, serta segelas kopi susu, aku harus merogoh kocek sebesar tiga puluh ribu rupiah. Ah, mahal! He he he… Tapi lumayan, daripada nanti perut bermasalah.
Kereta melanjutkan perjalanan dan pukul 07.05 wib sampai di Stasiun Jatinegara. Kereta berhenti untuk menurunkan penumpang. Tidak lama karena penumpang yang turun di sini juga tidak banyak. Setelah berjalan beberapa saat, pukul 07.26 wib, sampailah kereta di stasiun terakhir, Gambir.
Di Stasiun yang terkenal ini aku turun dan keluar melalui pintu utara. Setelah bertanya tempat pemesanan taksi pada petugas jaga stasiun (entah, petugas apa ya, seragamnya biru tua), aku memesan taksi Blue Bird sesuai rekomendasi seorang teman. Aku memang agak ragu dengan sembarang taksi, sehingga agak cukup lama aku menunggu di peron stasiun sebelum memutuskan memesan taksi. Di tempat pemesanan, aku dikenai biaya taxi service  sebesar lima ribu rupiah. Tak apalah, yang penting aman, mengingat aku sendirian.
Blue Bird memang taksi resmi di stasiun gambir selain Taxiku dan Putra Taxi (info dari pengemudi taksi) yang berwarna kuning. Blue Bird sendiri berwarna biru. Pengemudinya cukup ramah dan identitasnya, juga identitas kendaraannya jelas. Biaya taksi dengan menggunakan argo, tidak perlu tawar – menawar (ini yang aku hindari!). Alkhamdulillah, pukul 08.15 wib aku sampai di Hotel Ibis Slipi di Jl. Letjen. S. Parman dengan selamat. Argo taksi menunjukkan pada angka 27500.  Sementara bila order by phone, untuk taksi reguler Blue Bird dikenai minimum charge sebesar tigapuluh ribu rupiah. Tigapuluh ribu rupiah tidaklah mahal untuk sebuah kenyamanan dan rasa aman. Untuk pembatalan dikenai fee sepuluh ribu rupiah. Semua tertulis dengan jelas pada stiker – stiker yang ditempel di dalam taksi. Sebuah standar pelayanan terhadap pelanggan yang akuntable.
Secara umum, aku cukup puas dengan pelayanan kereta api yang kualami dalam perjalanan kali ini. Semoga ke depannya semakin baik.

Thursday, January 26, 2012

IN-SERVICE TRAINING


Rycus dan Hughes (2000), mendefinisikan in-service training ini sebagai pelatihan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang. Penilaiannya bisa dilaksanakan sendiri, dengan bantuan penyelia, pelatih atau mentor. Kegiatannya sering informal walaupun menggunakan instrumen – instrumen yang dipakai pada pelatihan formal. Pada hakekatnya, in-service training ini adalah bentuk dari on-the job training yang sudah biasa dilakukan apabila ada karyawan baru dalam sebuah organisasi kerja.
Dengan metode in-service training ini diharapkan setiap orang dalam sebuah organisasi kerja akan mendapatkan pelatihan yang tepat dan alam waktu yang tepat, sehingga akan memaksimalkan relevansi, aktualitas dan ketersediaan sebuah pelatihan sementara sumber daya yang disediakan untuk sebuah pelatihan benar – benar dapat diberikan untuk pelatihan yang paling dibutuhkan.
Hal – hal tersebut di atas memungkinkan karena dibandingkan teknik pelatihan konvensional, in-service training memiliki beberapa karakteristik yang mendukung, diantaranya adalah :
a.       Tanpa sistem yang formal untuk kegiatan pembelajaran. Seringnya proses pembelajaran dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tugas – tugas peserta pelatihan dalam pekerjaannya, sehingga akan langsung berhubungan dengan pekerjaannya dan dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaannya.
b.       Tidak perlu meninggalkan tempat kerja untuk menuju tempat pelatihan sehingga akan mengurangi  biaya transport dan penginapan.
c.       Tidak terpaku pada standar yang kaku dan mengakomodasi kepentingan peserta latih karena dilibatkan sejak mulai perencanaan kebutuhan pelatihan, pelaksanaan sampai evaluasi.
d.       Setiap individu peserta pelatihan akan mendapatkan materi pelatihan hanya yang berhubungan dan dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaannya.
e.       Pelaksanaan pelatihan dapat individual atau kelompok.
Karena karakteristiknya yang langsung berhubungan dengan pekerjaan peserta pelatihan, maka in-service training akan lebih efisien, mudah diterima dan dapat dikembangkan untuk memaksimalkan hasil sesuai yang diinginkan. In-service training sudah banyak diterapkan di berbagai tempat. dari berbagai hasil penelitian terbukti bahwa metode ini memiliki efektifitas tinggi terhadap implementasi hasil pelatian.
Sisson (2009), menuliskan suatu bentuk lain dari in-service training yang disebutnya dengan hands-on training. Ini juga merupakan on-the job training yang ditujukan terutama untuk memberikan motivasi bagi penyelia atau karyawan yang terampil untuk melatih karyawan lainnya. Dengan ini dimungkinkan bahwa pelatih dalam in-service training bisa dilakukan oleh bukan pelatih profesional yang tidak terlalu mementingkan teori tentang pelatihan. Mereka adalah para pekerja terampil di bidangnya masing – masing. Mereka akan mengajarkan karyawan lainnya bagaimana melakukan pekerjaan tersebut dengan baik.
Perbedaan antara on-the job training tradisional dengan metode hands-on training adalah :
a.     On-the job training tradisional :
a.     Instruktur fokus pada pekerjaan, utamanya pada produktivitas kerja.
b.     Pelatihannya tidak terstruktur dan mengikuti irama kerja.
c.     Instruktur biasanya hanya mengajarkan pengalaman dan ketrampilan yang dimilikinya pada peserta latih.
d.     Methode pelatihan ditentukan oleh instruktur.
b.     Hands-on training :
a.     Mempersiapkan peserta latih.
b.     Memberikan petunjuk.
c.     Mencoba/menilai kinerja.
d.     Tindak lanjut.
Jadi, hands-on training merupakan kegiatan on-the job training dengan menggunakan pendekatan pelatihan yang terstruktur. Dalam hal ini, sama dengan in-service training. Dalam kegiatan ini, siapapun dapat menjadi instruktur selama dia memiliki kemampuan untuk melakukan fasilitasi pelatihan, atau memiliki kemampuan sebagai fasilitator atau pelatih.


Sumber :
Rycus, Judith, S. Huges, Ronald, C. (2000), What Is Competency-Based Inservice Training. USA, Institute For Human Resources. e-book.

Sisson, Gary, R. (2009), Hands-on Training. A Simple and Effective Method for On-the-Job Training. Colorado, Berret – Koehler Publishers. e-book.

Bornman, J., Alant, E. (2007). A Beginning Communication Intervention Protocol : In-service Training of Health Worker. Jurnal Education and Training in Developmental Dissabilities. Juni. Vol : 42, p : 206 – 207. (internet). (Diakses 15 Januari 2012)

Newton, O., English, M. (2010). In-service Training for Healh Professionals to Improve Care of The Seriously Ill Newborn or Child in Low and Middle-income Countries. John Wiley & Sons, Ltd (internet), Mei. (Diakses 15 Januari 2012)

McDermott, J., Beck, D., Buffington, S.T., Annas, J., Supratikto, G., Prenggono, D., Ekonomi, D.M.F., Achadi, E. (2001). Two models of in-service training to improve midwifery skills: How well do they work. Journal of Midwifery \& Women's Health. Vol : 46, p : 217-225. (internet). (Diakses 15 Januari 2012)

Joynes, O. (2010). Distance Learning for Health : A Global Review of Accredited Post-qualification Training Programmes for Health Worker in Low and Middle Income Countries. London International Development Centre. (internet), Oktober. (Diakses 15 Januari 2012)

EVALUASI PELATIHAN


Evaluasi pelatihan secara khusus mencermati masalah – masalah yang terkait dengan aplikasi pembelajaran di tempat kerja, implementasi jangka panjang, biaya dan efektifitas pelatihan serta pengembangan yang diberikan (Rae, 2005).
Kirkpatrick (1994), mengemukakan beberapa alasan perlunya diadakan suatu evaluasi terhadap pelatihan, diantaranya adalah :
a.       Mempertanggungjawabkan keberadaan bagian Diklat dengan menunjukkan bagaimana bagian ini berkontribusi terhadap tujuan dan cita – cita organisasi.
b.       Membuat keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan program – program pelatihan.
c.       Mendapatkan informasi bagaimana mengembangkan program – program pelatihan selanjutnya.
Kirkpatrick juga mengatakan bahwa untuk melakukan evaluasi pelatihan teradapat empat tahap proses yang dikenal dengan The four level evaluation. Tahapan – tahapan itu merupakan serangkaian proses yang dinamis. Meskipun evaluasi pada tahap yang lebih tinggi akan memakan waktu yang lebih lama dan sulit, namun dapat memberikan informasi yang lebih lengkap tentang program pelatihan yang dievaluasi.
Empat tahap evaluasi itu adalah :
a.       Reaction. Evaluasi ini dilakukan pada saat dan setelah menerima materi pelatihan, yakni evaluasi untuk mengukur minat dan reaksi peserta atas pelatihan.
b.       Learning. Disebut juga evaluasi hasil belajar. Evaluasi ini dilakukan untuk mengukur tingkat pemahaman peserta setelah menerima pembahasan dari para pelatih setiap sesi pelatihan. Penilaian terhadap tingkat pemahaman ini sangat penting untuk mengetahui apakah peserta materi yang diberikan dalam pelatihan.
c.       Behavior. Evaluasi ini dilakukan setelah pelatihan. Tujuannya untuk melihat bagaimana perilaku peserta setelah mengikuti pelatihan, langkah – langkah apa yang sudah dilakukan serta bagaimana sikap stake holder terhadap hasil pelatihan.
d.       Result. Merupakan evaluasi jangka panjang, yakni evaluasi mengenai kinerja lembaga yang terjadi akibat kinerja anggota organisasi yang mengikuti pelatihan. Evaluasi ini dapat dilakukan tiga sampai empat tahun setelah pelatihan.

Sumber :
Rae, Leslie. (2005), Using Evaluation in Training and Development. Ed. Terjemahan.  Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.

Patrick, Donal, L. (2008), Evaluating Training Programs. The Four Level. (1st ed). San Fransisco, Berret – Koehler Publishers.


FASILITATOR PELATIHAN

Biech (2005), mengatakan bahwa fasilitator berbeda dengan pelatih, walaupun dalam hal ini fasilitator adalah juga seorang pelatih. Dengan dikenalkannya konsep andragogi oleh Malcom Knowles tahun 1060-an, konsep pelatihan mengalami perubahan menjadi konsep pembelajaran orang dewasa. Di sini seorang pelatih bukan hanya sekedar penyampai informasi, tapi juga mulai menrapkan prinsip – prinsip pembelajaran orng dewasa yang proaktif dan responsif dengan kebutuhan peserta latih, fleksibel tapi tetap berpegang pada agenda yang sudah dibuat, menyampaikan materi pelatihan dan memfasilitasi diskusi dengan peserta untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang paling efektif. Mereka menyebut pelatih seperti ini sebagai “facilitative trainer” atau pelatih yang memfasilitasi. Pelatih ini disebut juga fasilitator. Dengan kata lain, Biech menegaskan bahwa fasilitator adalah pelatih yang efektif (effective trainer).
Kapur (2002) menyebutkan peran dari fasilitator pelatihan ini adalah sebagai berikut :
a.       Berperan dalam upaya pencapaian – pencapaian organisasi.
b.       Memahami permasalahan - permasalahan kunci di organisasi.
c.       Melakukan seleksi dari sasaran peserta pelatihan.
d.       Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan.
e.       Mengembangkan rencana pembelajaran.
f.        Membuat rancangan program pelatihan.
g.       Menyiapkan bahan dan rencana pelatihan.
h.       Menyiapkan administrasi dan supervisi pelatihan.
i.        Menyiapkan pendanaan.
j.        Implementasi dan memonitor program.
k.       Melakukan evaluasi.
l.        Menerima umpan balik dari peserta latih atau fasilitator lain.
m.     Membuat pencatatan pelaporan
Cook (1999) menyusun karakter yang harus dimiliki oleh seorang pelatih agar dapat menjadi pelatih yang efeektif. Karakter – karakter itu adalah :
a.     Positif.
b.     Penuh semangat.
c.     Mendukung.
d.     Memberi kepercayaan.
e.     Fokus.
f.      Berorientasi pada tujuan.
g.     Memiliki pengetahuan.
h.     Mengarahkan.
i.      Penuh penghargaan.
j.      Sabar
k.     Jelas.
l.      Tegas.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pelatihan yang efektif adalah tujuan. Pelatihan dikatakan efektif bila peserta latih mendapatkan apa yang mereka butuhkan dalam mendukung pekerjaan atau kehidupan mereka. Jadi, peran fasilitator menjadi sangat vital dan yang dibutuhkan dalam sebuah pelatihan memang akhirnya lebih daripada sekedar seorang pelatih konvensional.
  
Sumber :
Stevens, Nicola. (2008), Learning to Coach. For Personal and Proffesional Development (2nd ed). UK, How To Book by Deer Park Productio, Inc. e-book

Blanchard, Scott. Homan, Medelein. (2006), Coahing Secrets of The Top Executives. Ed. Terjemahan.  Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.

Biech, Elaine. (2005), Training for Dummies. USA, Wiley Publishing, Inc.

Kapur, S. (2002), Becoming An Effective Facilitator. (1st ed). New Dehli, Infinity Books.

Cook, Marshall, J. (1999), Effective Coaching. USA, The McGraw-Hill Companies.  
     

PELATIHAN UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN MANAJEMEN PUSKESMAS (2)


PELATIHAN MANAJEMEN UNTUK KEPALA PUSKESMAS

Dengan diberlakukannya pendanaan internasional untuk pelayanan kesehatan, para pemberi dana ingin tahu seberapa jauh pelaksanaan program-program kesehatan yang didanainya mewujudkan tujuan mereka. Untuk itu para pengelola pelayanan kesehatan harus memahami dan meningkatkan kualitas evaluasi intervensi. Dan, sangat penting evaluasi akhir kegiatan dimasukkan dalam pelaksanaan pelatihan selama proses pembelajaran (Ridde, et al., 2009).
Dilaksanakannya pelatihan pada area ketrampilan-ketrampilan khusus akan menyiapkan para pemimpin dan pelaksana pelayanan kesehatan secara lebih baik dan lebih efektif dalam merespon bahkan membuat perubahan dalam menjawab tantangan-tantangan kesehatan. Ketrampilan khusus yang dimaksud di sini adalah manajemen pelayanan kesehatan masyarakat. Pengembangan kemampuan manajemen adalah unsur pokok dalam upaya negara untuk meningkatkan infrastruktur kesehatan masyarakat. Pelatihan kesehatan masyarakat yang profesional harus memasukkan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan tentang kepemimpinan yang akan meningkatkan secara keseluruhan kompetensi dari sumber daya manusia (Saleh, et al., 2009).
Prakarsa dalam penyelesaian masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang sering gagal bukan karena kurangnya ilmu pengetahuan, melainkan karena kurangnya kompetensi manajerial dari para tenaga kesehatan. Kurangnya ketrampilan manajemen pada sumber daya manusia ini semakin terlihat pada tahun-tahun belakangan oleh adanya desentralisasi pelayanan. Pelatihan-pelatihan yang ada sering difokuskan pada prosedur-prosedur tehnis pada bagian-bagian kecil penyakit atau masalah kesehatan. Sementara keberhasilan pelaksanaan suatu program ditentukan oleh manajer garis depan dengan ketrampilan-ketrampilan yang lengkap dalam menentukan prioritas, merencanakan dan memecahkan masalah (McEwan, et al., 2001).
Dalam rangka meningkatkan ketrampilan manajerial para pengelola program pelayanan kesehatan ini, maka berbagai program pelatihan dibuat untuk diberikan. Yang pertama adalah pelatihan Manajemen Puskesmas. Puskesmas menjadi penting di sini, karena sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomer 128 Tahun 2004, Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis, puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian tugas tehnis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pelatihan ini diberikan untuk Kepala Puskesmas dan sempat diberikan sebagai pembekalan bagi para dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang akan melaksanakan tugas di Puskesmas.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 267/Menkes/SK/III/2008 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Daerah, disebutkan ada Pendidikan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) yang ditujukan untuk Pegawai Negeri Sipil yang menduduki Jabatan Struktural. Dimulai yang paling rendah yaitu Diklatpim tingkat IV untuk para pejabat struktural eselon IV. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomer 13 Tahun 2002 dan Kemenkes Nomer 276 Tahun 2008, Eselon IV merupakan jabatan tehnis umum dan disyaratkan mengikuti Diklatpim Tingkat IV. Diklatpim ini ditujukan untuk memberi bekal ketrampilan dan pengetahuan tentang manajemen dan kepemimpinan yang dibutuhkan, dalam hal ini untuk mengelola kegiatan yang langsung bersifat tehnis pelaksanaan. Baik Pelatihan Manajemen Puskesmas maupun Diklatpim IV adalah pelatihan yang bersifat individual atau perorangan.
Ada lagi pelatihan untuk memberikan bekal ketrampilan dan pengetahuan manajerial dan kepemimpinan yang sifatnya berkelompok atau tim. Salah satunya adalah pembentukan District Team Problem-Solving (DTPS). District Team Problem-Solving adalah suatu proses, kira-kira dalam waktu satu tahun, dalam sebuah tim yang dipandu melalui workshop (dengan tugas yang terstruktur berangkaian) dalam :
1.    Melakukan analisis salah satu prioritas masalah kesehatan masyarakat yang utama di wilayah mereka (dalam lingkup Kabupaten/kota)
2.    Merencanakan, kemudian mengimplementasikan alternatif pemecahan masalah oleh mereka sendiri dalam waktu satu tahun
3.    Menyelenggarakan dan menunjukkan hasil evaluasi mereka sendiri terhadap pelasanaan yang dilterapkan (kemajuan, hambatan, perbaikan pelayanan, dan dampaknya terhadap derajat kesehatan)
4.    Pengembangan team-work yang baik dan peningkatan ketrampilan manajerial
Salah satu contoh DTPS yang dikembangkan di Indonesia adalah pembentukan DTPS-MPS (District Team Problem-Solving – Making Pregnancy Safer). Pembentukan DTPS-MPS ini dimaksudkan sebagai  forum diskusi untuk merumuskan masalah dan mencari solusi untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Tim yang terdiri dari berbagai lintas program dan lintas sektoral ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan AKI – AKB melalui kegiatan-kegiatan dalam tupoksi dan kewenangannya yang mendukung tujuan tersebut.
Berbagai pelatihan manajemen dan kepemimpinan yang diberikan kepada para tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang terus bermunculan dimana salah satu penyebabnya adalah karena kemampuan manajemen yang lemah. Dalam Sistem Kesehatan Nasional Tahun 2009, disebutkan bahwa manajemen merupakan salah satu isu strategis yang harus mendapatkan perhatian. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kebijakan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan, berbasis bukti dan operasional. Untuk itu, peningkatan kemampuan manajerial dari sumber daya manusia kesehatan menjadi suatu keharusan (SKN, 2009).

Sumber :
Ridde, V., Fournier, P., Banza, B., Tourigny, C and Ouedraogo, D. (2009). Programme Evaluation Training for Health Professionals in Francophone Africa : Process, Competence and Use. http:// www.Pubmed.com/health service research. January. (Diakses 12 Oktober 2011)
Saleh, S.S., Williams, D and Balougan, M. (2009). Evaluating the Effectiveness of Public Health Leadership Training : The NEPHLI Experience. American Journal of Public Health. July 2004; 94 : 1245 – 1249.
McEwan, E., Conway, M.J.,  Bull, D.L and Malison, D, Developing Public Health Management Training Capacity in Nicaragua.  American Journal of Public Health.Field Action Report. Oktober 2001; 91 : 1586 – 1588.
Thorne, M., Sapirie, S,  Rejeb, H, Distric Team Problem Solving Guidelines for Maternal and Child Health, Family Planning and Other Public Health Services.  World Health Organization. Oktober 1993 : 1.
Depkes, R.I, (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 267/Menkes/SK/III/2008 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Daerah. Sekretariat Jenderal.
Depkes, R.I, (2009). Sistem Kesehatan Nasional : Bentuk dan Cara Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan. Sekretariat Jenderal.