Bahasa
dan politik, jelas merupakan dua hal yang berbeda. Bahasa secara harfiah adalah
bunyi – bunyian yang memiliki makna yang keluar dari mulut manusia. Fungsi
bahasa yang utama adalah sebagai alat kominikasi. Dengan bahasa manusia
berinteraksi, bekerjasama dan bahasa juga bisa menjadi simbol identitas diri
seseorang. Sedangkan politik berasal dari bahasa Yunani, Polis, yang artinya
negara kota. Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari
sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Aristoteles
mendefinisikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik). Akhirnya, dari berbagai definisi
yang ada, diupayakan suatu penggabungan untuk mendefinisikan politik sebagai
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Sehingga dapat
dimengerti bahwa sebenarnya arti dari politik adalah sesuatu yang positif. Tapi
dewasa ini, politik telah diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan (baca :
kekuasaan), dengan menghalalkan segala cara. Politik telah mengalami peyorasi
karena perilaku dari para oknum pelakunya. Lalu bagaimana bila kedua kata itu
digabungkan?
Dalam
politik, fungsi bahasa direduksi sebagai alat yang sebatas untuk
mengekspresikan kekuasaan. Bahasa politik adalah alat untuk mempengaruhi
sehingga penuh eufimisme, jargon dan retorika. Penggunaan eufimisme
(penghalusan bahasa) akan memberikan kesan bahwa seolah – olah segalanya
terlihat baik, berkesan positif dibandingkan realita sesungguhnya. Eufimisme
dan retorika bahasa digunakan untuk membungkus tindakan penguasa agar terlihat
baik dan beradab, namun penggunaan bahasa ini justru akan membuat bahasa
mengalami distorsi makna yang jauh menyimpang dari arti yang sebenarnya. Bahasa
yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan mengalami penyesatan yang luar
biasa. Banyak contoh mengenai ini. Misalnya, “tolong agar bisa dibantu” bisa
berarti “harus bisa, bagaimanapun caranya”, “anda harus memahami bahasa kami”
bisa berarti “anda harus menuruti kehendak saya!” dan lain – lain. Istilah
“mengamankan, menertibkan, menjaga stabilitas” sering digunakan untuk
“menculik, membunuh, memenjarakan” orang – orang yang berseberangan dengan
penguasa. Dengan kata lain bahwa bahasa politik sebenarnya adalah bahasa yang
digunakan sebagai alat politik.
Kalbu,
dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian sebagai sesuatu yang
berasal dari hati/nurani. Berasal dari bahasa Arab, Qolb, yang kemudian
di-indonesiakan menjadi kalbu. Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan
pengertian Qolb, salah satunya adalah bahwa Qolb adalah suatu organ tubuh yang
terletak di dada manusia sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan
keburukan. Pendapat ini dalam Islam didukung oleh Al- Qur’an Surat Al-Hajj ayat
46. Oleh karena itu Qolb selalu berbolak – balik dan bergejolak. Qalb atau
selanjutnya kita sebut kalbu bukan sekedar sebongkah hati yang hanya bisa
merasa. Kalbu adalah tempat “bersarangnya” pikiran (mind), jiwa (soul) dan ruh
(spirit). Kalbu inilah yang membuat manusia mampu berpikir, membuat rencana –
rencana, mengolah apa yang diterima indra, mampu menyelesaikan masalahnya,
memiliki kendali terhadap perilaku dan dorongan akibat interaksinya dengan
manusia lain dan kalbu inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan
kalbu inilah manusia diharapkan mampu membuat kebaikan – kebaikan baik untuk
dirinya sendiri maupun lingkungannya. Jadi, bahasa kalbu adalah bahasa yang
berasal dari hati/nurani yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan
menolak segala keburukan yang disadari. Merupakan hasil olah pikir, jiwa dan
perasaan untuk mengemukakan kebenaran dengan cara – cara yang benar.
Kembali
ke bahasa politik, bahasa menjadi tidak bermakna karena tidak keluar dari hati
(baca : kalbu). Bahasa sebagai alat politik juga keluar dari mulut manusia –
manusia yang suka berjanji tanpa ada niat untuk menepati. Hanya sebagai pemanis
bibir saja. Hal ini banyak terlihat saat musim kampanye. Kampanye apapun yang
intinya adalah untuk memperoleh kekuasaan. Janji – janji manis yang keluar
tanpa diolah dari kalbu akan berhamburan dan semua hanya tinggal janji bila
musim pemilihan berakhir. Bahasa
sebagai alat kekuasaan juga bisa berupa nasehat – nasehat bijaksana yang justru
dilanggar sendiri oleh para pemberi nasehat. Contoh : dalam masa sulit ini, penguasa
meminta rakyat untuk berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. Tapi pada
kenyataannya, para penguasa justru hidup bermewah – mewahan, menuntut fasilitas
mahal, sarana kelas satu yang jelas menghambur – hamburkan uang. Belum lagi
pameran gaya hidup hedonis para penguasa yang jelas tidak sesuai dengan apa
yang dikatakannya. Bahasa sebagai alat politik juga bisa jatuh nilainya karena
digunakan untuk mengumpat, mencela, mencaci – maki dan menjelek – jelekkan
lawan politiknya dengan tujuan untuk menjatuhkannya. Ini hampir setiap hari
dengan mudah kita saksikan di televisi sebagai tayangan yang digemari (?).
Lalu
adakah bahasa yang mampu menyampaikan pesan – pesan kepada pendengarnya, bukan
hanya sampai di telinga tapi juga sampai ke hatinya? Kalau kita mau jujur,
bahasa kalbu-lah jawabannya. Tapi di jaman serba pragmatis dengan gaya hidup
materialistis seperti saat ini, bahasa kalbu seperti tergilas. Para penggunanya
sering dianggap sebagai orang yang “berseberangan” dan “tidak loyal” kepada
penguasa yang menggunakan bahasa (sebagai alat) politik. Terutama bagi mereka
yang berada dalam sistem pemerintahan. Saya yakin, masih banyak yang
menggunakan bahasa kalbu dalam pengambilan kebijakan atau keputusan – keputusan
yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Apa yang mereka katakan
berasala dari dalam hatinya, bermakna mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan.
Mereka adalah orang – orang yang memiliki integritas dan kredibilitas. Antara
perilaku dan perkataannya selalu ada kesesuaian. Mereka tak akan menjanjikan
sesuatu yang mereka tahu tak akan mampu dipenuhi.
Tapi
orang – orang yang berbicara dengan bahasa kalbu ini minoritas, mereka dianggap
sebagai orang – orang yang “berani” menentang arus dengan segala resikonya.
Terutama bagi para pejabat pemerintahan. Karir yang terhambat, “kehilangan” jabatan,
pengucilan, caci – maki bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwa diri maupun
lingkungannya merupakan konsekuensi yang bisa terjadi. Sehingga akhirnya,
banyak yang terjebak untuk mengikuti arus dengan mengakomodasi bahasa politik
dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Bila sudah begini, kapan sistem akan
diperbaiki?
Memang
merupakan dilema, mana yang harus dipilih, bahasa politik atau bahasa kalbu.
Tapi bila kita ingat bahwa segala yang kita katakan atau lakukan kelak akan
kita pertanggungjawabkan di hadapan “Sang Pemberi Amanah”, masihkan kita
berpikir untuk mengakomodasi bahasa politik? Wallahu’alam.
NB : berharap
ada masukan dan saran (CMIIW)
Terimakasih atas penjelasanny mengenai bahasa politik dan bahasa kalbu yg begitu jelas dan meresap kedalam hati.Salam dari sayaH,Nurdin Suardi
ReplyDelete