Friday, July 12, 2013

ARTI SEBUAH MAKLUMAT PELAYANAN

       Pada hari Senin tanggal 8 Juli 2013 yang lalu, seluruh karyawan dan karyawati RSUD Banjarnegara menandatangani MAKLUMAT PELAYANAN. Apa itu maklumat pelayanan? Apakah hanya sekedar sebaris kalimat dengan tanda tangan di bawahnya, dipigura dan dipasang di tempat yang terlihat oleh siapa saja? Tentu saja tidak sesederhana itu.

Gb. Maklumat Pelayanan RSUD Banjarnegara

            RSUD sebagai rumah sakit pemerintah merupakan salah satu pemberi layanan publik (layanan umum) di bidang kesehatan. Sebagaimana layanan publik lainnya, RSUD dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus didasarkan pada prinsip - prinsip layanan publik. Dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, ada sepuluh prinsip pelayanan umum yang diatur di dalamnya, yaitu : 
1. Kesederhanaan prosedur.
2. Kejelasan.
3. Kepastian waktu.
4. Akurasi (ketepatan).
5. Keamanan.
6. Tanggungjawab.
7. Kelengkapan sarana prasarana.
8. Kemudahan akses.
9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan.
10. Kenyamanan.
          RSUD sebagai pemberi layanan publik tak bisa dilepaskan harus menerapkan prinsip - prinsip tersebut dalam pemberian layanannya. Dengan kalimat maklumat pelayanan yang berbunyi "KAMI PEGAWAI RSUD BANJARNEGARA, SIAP MELAYANI ANDA DENGAN MUDAH, AMAN, NYAMAN, TEPAT ADIL DAN PROFESIONAL", maka maklumat itu merupakan janji seluruh karyawan dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Sebuah maklumat pelayanan harus diartikan sebagai sebuah tanggungjawab besar yang disandarkan pada seluruh karyawan dari para pengguna layanan di RSUD. Pengharapan besar bahwa karyawan - karyawati RSUD mampu memberikan pertolongan dan bantuan untuk meringankan rasa sakit dan kecemasan pada setiap pasien yang datang berobat di RSUD. 

Gb. Janji pemberi layanan untuk memberikan hak yang dilayani
            Maklumat pelayanan merupakan bentuk legalitas yang memberikan hak kepada masyarakat pengguna layanan untuk mendapatkan akses pelayanan publik yang sesuai dengan harapan dan kebutuhannya, perlindungan atau pengayoman, kepastian biaya dan waktu penyelesaian, mengajukan keluhan, pengaduan dan melakukan pengawasan.  Sebuah maklumat pelayanan membawa konsekuensi besar.
             Maklumat pelayanan adalah salah satu bukti kesungguhan pemberi layanan publik untuk menerapkan prinsip - prinsip good governance ( transparansi, akuntabilitas, keterbukaan dan keadilan) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Masyarakat harus mengetahui maklumat tersebut dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyalurkan keinginan dan sarannya serta melakukan pengawasan dan komplain bila ada ketidaksesuaian antara yang dijanjikan dengan praktek pelaksanaannya.

Gb. Sarana untuk lebih mawas diri
           Pertanyaannya, sejauh mana karyawan dan karyawati RSUD menjadikan maklumat itu sebagai landasan dalam mereka berkegiatan memberikan layanan kepada masyarakat sehari - hari? Jawabannya ada pada masing - masing orang. Tentunya kita berharap itu bukan sekedar slogan, tapi benar - benar merupakan falsafah nilai - nilai yang diyakini dan dilaksanakan oleh seluruh karyawan - karyawati RSUD sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya masing - masing. Dengan demikian, maklumat pelayanan bukanlah sekedar selembar kain yang ditandatangani, dipigura, ditempel di dinding dan kemudian....berdebu!
Semoga! Aamiin......

Friday, June 7, 2013

CINDERAMATA BANJARNEGARA

Gb. Suasana Lomba
     Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini sektor pariwisata sedang menjadi primadona untuk dikembangkan di banyak daerah, negara. Tak terkecuali Indonesia yang memiliki ribuan ragam pernak - pernik yang bisa menjadi aset untuk menarik kunjungan wisata. Provinsi Jawa Tengah juga tidak ketinggalan dengan mencanangkan Visit Jateng 2013.
     Banjarnegara sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah ikut berpartisipasi dengan mempersiapkan event besar yaitu "FESTIVAL SERAYU BANJARNEGARA" yang rencananya akan digelar pada tanggal 23 - 30 Agustus 2013 yang akan datang. Berbagai hal sudah dipersiapkan untuk menyambut moment yang diharapkan mampu menarik wisatawan ke Banjarnegara. Tak kurang 150.000 wisatawan ditargetkan datang pada kegiatan tersebut.
        Salah satu hal yang sangat penting untuk disiapkan adalah keberadaan cinderamata atau oleh - oleh khas Banjarnegara yang bisa dibawa pulang untuk dinikmati atau dijadikan kenang - kenangan. Beberapa makanan atau cinderamata yang khas dari Banjarnegara diantaranya adalah keripik kentang, keripik mujahir, kue sarang madu, gula jawa, gula aren, dawet ayu, sirup jahe wulung, produk salak dan olahannya (keripik, jenang, brownies), manisan carica dan tak ketinggalan produk purwaceng. 
       Sementara untuk cinderamata bisa diperoleh keramik Klampok yang sudah terkenal, batik gumelem dan berbagai hasil kerajinan produk bambu di Kecamatan Mandiraja.
           Tapi itu belumlah cukup. Untuk lebih memperkaya cinderamata dari Banjarnegara, pada tanggal 30 Mei 2013 yang lalu, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara yang digawangi oleh Bagian Perekonomian mengadakan Lomba Cinderamata khas Banjarnegara. Tak kurang dari 56 produk diikutkan dalam lomba yang diharapkan mampu memberi alternatif produk yang akan menjadi ikon wisata di Banjarnegara. 
       Upaya yang pantas untuk dihargai dan sudah sepantasnya didukung untuk ikut memajukan pariwisata di Banjarnegara. Pemenangnya mendapat piagam dan uang pembinaan. 
          Tapi apapun hasilnya, jerih payah para pemenang lomba tidak akan ada artinya bila tidak diikuti dengan upaya promosi dan pemasaran. Oleh karena itu, Pemkab harus menindaklanjuti untuk mempromosikan hasil tersebut. Syukur Pemkab mampu menyediakan tempat di mana di tempat tersebut bisa manjadi one stop shopping cinderamata dan oleh - oleh khas Banjarnegara, seperti pasar Sukowati di Bali atau Beringharjo di Yogyakarta. Karena sangat tidak efisien ketika kita berkunjung ke suatu tempat, ingin membeli oleh - oleh, harus mencari ke sana kemari karena tersebar di banyak tempat. Semoga bisa menjadi kenyataan dan Banjarnegara sebagai dareah tujuan wisata bisa terwujud. 

Beberapa hasil karya peserta lomba :

Gb. Sepatu dan tas batik Gumelem (Rp 80.000,-)
Gb. Kaos (Rp 75.000,- tgt warna dan ukuran)


Gb. Buah Carica dari kayu (Rp 50.000,-/set)

Gb. Tempat Koran Batik Gumelem (Rp 50.000,-)

Gb. Miniatur Rafting dari batang pisang (Rp 50.000,-)

Gb. Mug dan cermin (Rp 15.000,-)

Gb. Miniatur Candi Dieng (Rp 25.000,-)

Gb. Tempat Tisu & Tudung Saji Batik Gumelem (Rp 80.000,-/set)

Gb. Payung Lukis Gumelem (Rp 125.000,-)

Gb. Tempat Pena Limbuk (Rp 25.000,-) 


Gb. Gantungan Kunci (Rp 3000,-)

Gb. Kerajinan dari Biji Salak (Rp 30.000,-) 

Gb. Maskot FSB Bimo Rafting (Rp 80.000,-)

Gb. Penjual Dawet (Rp 80.000,-)

Gb. Penjual Dawet (Rp 80.000,-)

Gb. Tempat Pena

Gb. Miniatur Wayang Purwa (Rp 80.000,-)

Tuesday, April 2, 2013

RAPAT KERJA KESEHATAN NASIONAL WILAYAH REGIONAL TENGAH


Kementrian Kesehatan RI menyelenggarakan Rapat Kerja Kesehatan Nasional Wilayah Regional Tengah yang direncanakan dilaksanakan pada Hari Senin – Kamis tanggal 1 – 4 April 2013. Rapat Kerja yang diselenggarakan di Hotel The Empire Palace Surabaya ini mengambil tema “ Dengan Semangat Reformasi Birokrasi Percepat Pencapaian MDG dan persiapan Jaminan Kesehatan Nasional”.
Tidak seperti tahun – tahun sebelumnya, Rapat kerja kali ini dibagi menjadi tiga zona wilayah yaitu wilayah regional Barat yang meliputi Sumatra, DKI dan Jawa Barat. Wilayah Tengah yang meliputi Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, provinsi – provinsi di Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara. Sementara wilayah Timur meliputi provinsi – provinsi di Sulawesi, Maluku, Timor dan Papua. Pembagian wilayah ini dimaksudkan agar pelaksanaan Rapat Kerja bisa lebih efektif dan efisien. Pada Rapat Kerja Wilayah Regional tengah ini diundang sekitar 600 peserta yang meliputi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Direktur Rumah Sakit, Kepala – Kepala UPT Pusat.
Menurut Sekretaris Jendral Kemetrian Kesehatan yang juga sebagai ketua panitia menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan Rapat Kerja ini adalah untuk sinkronisasi perencanaan program – program kesehatan dari tingkat pusat sampai daerah dalam rangka pencapaian indikator – indikator kesehatan yang tertuang dalam RPJMN 2010 - 2015.
Menteri Kesehatan dalam sambutannya mengingatkan tiga hal untuk dilakukan oleh seluruh jajaran kesehatan, yaitu :
1.      Percepatan reformasi birokrasi dengan meninggalkan segala bentuk korupsi di seluruh jajaran kesehatan.
2.      Percepatan pencapaian MDG’s dengan bekerja lebih keras lagi dari sekarang untuk mengupayakannya.
3.      Persiapan untuk pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Semesta yang akan dimulai tahun 2014.
Pada kesempatan ini juga diperkenalkan mengenai e-katalog obat generik yang diharapkan menjadi pedoman untuk pengadaan dan peresepan obat di pelayanan kesehatan pemerintah. Dengan demikian, pengobatan rasional bisa dicapai dan pengadaan obat yang bermutu dengan harga yang lebih murah dapat diwujudkan. Dengan demikian, harapan bahwa masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang bermutu dan terjangkau dapat direalisasikan.

Sunday, March 31, 2013

REFRESHING KONSELOR LAKTASI KABUPATEN BANJARNEGARA “SAATNYA KEMBALI KE ASI”


           Pada hari Rabu – Kamis tanggal 13 – 14 Maret 2013 yang lalu, bertempat di Aula Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara diadakan refreshing untuk konselor laktasi se-Kabupaten. Refreshing dimaksudkan untuk melakukan up date ilmu kepada para konselor laktasi dan upaya untuk “membangunkan” kembali para konselor yang sudah cukup lama vakum dari kegiatan. 
Gbr. Refreshing Konselor Laktasi Kabupaten Banjrnegara
Kabupaten Banjarnegara memiliki sekitar 80 orang konselor laktasi yang sudah dilatih sejak tahun 2007 – 2008. Bahkan untuk meningkatkan hubungan kerja dan kegiatan, telah dibentuk suatu wadah konselor laktasi yang dinamakan ASERA (Asi Eksklusif Banjarnegara), suatu wadah sosial kemasyarakatan untuk mereka yang peduli terhadap pemberian ASI Eksklusif di Kabupaten Banjarnegara yang masih rendah yakni sekitar 6% saja.
Hal yang penting yang ditekankan kembali kepada para konselor, selain 10 langkah keberhasilan menyusui, juga bahwa ada tiga hal yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui, yaitu :
1.     Kepercayaan diri ibu bahwa dirinya mampu memberikan ASI pada bayinya secara cukup.
2.     Pengetahuan dan ketrampilan ibu untuk memberikan ASI pada bayinya secara benar.
3.     Dukungan lingkungan, terutama keluarga dalam mendorong pemberian ASI.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa hal yang sering menyebabkan kegagalan menyusui adalah kurangnya dukungan lingkungan yang mendorong pemberian ASI. Untuk itulah peran konselor laktasi menjadi penting untuk membantu para ibu tersebut. Beberapa ibu yang sangat memerlukan bantuan adalah :
1.     Ibu yang baru pertama kali menyusui.
2.     Ibu yang memnadapatkan kesulitan menyusui, terutama dari sisi tehnik menyusui.
3.     Ibu yang sebelumnya memberikan susu botol pada bayinya dan ingin menyusui.
Ke depan diharapkan para konselor ini bisa semakin aktif dalam menyebarkan semangat menyusui kepada para ibu yang memiliki bayi dan dapat membentuk duta – duta ASI dari para ibu yang berhasil memberikan ASI kepada bayinya. Sehingga tujuan mulia ASERA yang ingin “Ikut Mendukung Terwujudnya Generasi Emas Melalui Awal Emas” dapat tercapai.

WORKSHOP “ASI EKSKLUSIF” DI RSUD BANJARNEGARA


RSUD Banjarnegara dalam salah satu visinya adalah mendukung program – program kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Program pemerintah yang didukungnya antara lain adalah “Making Pregnancy Saver” yang memiliki tujuan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (AKI/AKB) di Kabupaten Banjarnegara. Salah satunya adalah dengan mengupayakan agar RSUD Banjarnegara dapat menjadi Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSIB).
Gbr. Peserta Workshop tekun menyimak materi
Dalam rangka menuju RSIB itulah banyak kegiatan yang dilakukan. Dimulai dengan dilaksanakan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) pada bayi baru lahir, penerapan rawat gabung untuk bayi sehat dan berupaya memberikan tempat menyusui yang dapat dipergunakan oleh ibu – ibu yang bayinya dirawat di ruang bayi karena berbagai sebab.
RSUD Banjarnegara juga mendukung pemberian ASI eksklusif. Agar ibu – ibu yang memiliki bayi dapat memberikan ASI dengan benar, para ibu tersebut saat pulang dari rumah sakit perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan memberikan ASI pada bayi. Untuk itulah RSUD Banjarnegara menyelenggarakan workshop tentang ASI eksklusif yang dilaksanakan pada hari Selasa – Rabu tanggal 26 – 27 Pebruari 2012. Workshop diikuti oleh 12 orang karyawan RSUD yang terdiri dari dokter umum, perawat dan bidan.
Adapun tujuan diadakannya workshop ini adalah agar petugas kesehatan yang berada di rumah sakit mampu memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan tentang menyusui kepada ibu agar keberlangsuangan menyusui setelah ibu pulang dari rumah sakit bisa terjaga. Materi yang diberikan meliputi pentingnya ASI, ASI eksklusif dan menyusui, tehnik menyusui yang benar dan ASI perah.
Gbr. Pemateri adalah Fasilitator Manajemen Laktasi
                      dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara
Setelah workshop diharapkan semua pertugas dapat mengimplementasikan apa yang diperolehnya untuk membantu ibu – ibu yang baru bersalin maupun di lingkungan sekitarnya. Petugas kesehatan yang dilatih dapat menjadi duta – duta ASI untuk lingkungannya. Tindak lanjut pelatihan dan evaluasi rutin akan dilakukan untuk membahas berbagai permasalahan yang muncul dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, diharapkan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif dapat meningkat yang akhirnya berkontribusi terhadap kesehatan bayi dan pada tujuannya akan mendukung turunnya AKB di Kabupaten Banjarnegara.

Friday, March 22, 2013

RAPAT KERJA WILAYAH ASOSIASI RUMAH SAKIT DAERAH INDONESIA (ARSADA) PROVINSI JAWA TENGAH


Rapat Kerja Wilayah Tahunan Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) Provinsi Jawa Tengah saat ini sedang diselenggarakan di Hotel Horizon Simpang Lima Semarang. Rapat Kerja yang rencananya dilaksanakan dari hari Kamis – Sabtu, tanggal 20 – 23 Maret 2013 ini mengambil tema “ Sinergi Pemerintah Daerah, Manajemen Rumah Sakit dan Komite Medis Dalam Menghadapi Berlakunya SJSN 2014”.
Gbr. Salah satu sesi panel dalam rakerwil Arsada Jateng 2013
Dalam sambutannya, ketua Arsada Jawa Tengah, dr. Nonot Mulyono, M.Kes mengatakan bahwa maksud diadakannya rapat kerja wilayah ini adalah untuk melakukan evaluasi kegiatan tahun sebelumnya dan menyusun agenda kerja tahun mendatang dalam rangka mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh Rumah Sakit di Indonesia, khususnya Rumah Sakit Daerah. Beberapa masalah tersebut diantaranya adalah belum satunya pemahaman antara Rumah Sakit dengan PT. Askes sebagai pelaksana BPJS tahun 2013, Rumah sakit yang masih gamang dalam melaksanakan aturan BLUD karena perbedaan persepsi dengan para stake holder dan belum satu paham untuk dasar pelaksanaannya,  masalah kredensial yang menjadi kewajiban Komite Medik sebagai konsekuensi dari implementasi Permenkes 755 tahun 2011, serta keragu – raguan dalam penerapan sistem pengadaan barang dan jasa sebagai sebuah institusi BLUD.
Rapat kerja dibuka oleh Ketua Arsada Pusat, dr. Kuntjoro Adi Purjono, MMR yang berpesan bahwa dalam penyelenggarakaan operasional Rumah Sakit agar selalu berpegang pada dua kunci menuju patient safety, yaitu :
1.    Selalu melaksanakan norma/pedoman/prosedur yang ada dalam akreditasi versi 2012 dengan benar.
2.   Melaksanakan dengan sebenar – benarnya benar, sebetul – betulnya betul, selurus – lurusnya lurus pola keuangan BLUD sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Monday, November 12, 2012

PENTINGNYA SATUAN PEMERIKSA INTERNAL (SPI) RUMAH SAKIT



 A. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang pentingnya pengendalian internal, kita dapat analogkan dengan tubuh manusia yang memiliki sistem sangat kompleks akan tetapi semuanya berjalan sangat tertib dan teratur sesuai dengan fungsi masing-masing.  Ketika suatu bagian atau komponen tertentu mengambil beban yang melebihi batas maka akan terjadi kerusakan pada sistem secara keseluruhan dan demikian juga ketika suatu bagian atau komponen berfungsi secara berlebihan maka juga akan mengganggu sistem besar.  Ketika manusia yang bersangkutan dapat mengendalikan fungsi dan peran masing-masing komponen atau bagian sehingga tidak berlebihan maka akan berlangsung secara normal.
Demikian juga suatu organisasi, lembaga, atau perusahaan yang dibentuk dari komponen-komponen sistem yang masing-masing memiliki kepentingan, maka sangat memerlukan adanya pengendalian internal.  Pengendalian internal ini dimaksudkan untuk mencegah secara dini tindakan yang akan menyimpang dari jalur pencapaian tujuan organisasi, lembaga, atau perusahaan.  Tujuan tersebut (tujuan lembaga, organisasi, perusahaan) merupakan tujuan bersama diantara anggota-anggota yang tergabung pada organisasi, lembaga, atau perusahaan.
 Rumah Sakit sebagai sebuah organisasi juga memiliki tujuan – tujuan yang harus dicapai, dalam hal ini adalah pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu terhadap para pelanggan baik internal maupun eksternal. Undang – undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengisyaratkan bahwa Rumah Sakit harus memiliki standar pelayanan yang harus dicapai dalam setiap aspek kegiatannya. Untuk mencapai standar ini Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi Rumah Sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan dan tata kelola klinis yang baik.
Dalam perjalanannya, pengelolaan Rumah sakit, sebagaimana sebuah organisasi, juga rawan terjadi penyimpangan – penyimpangan. Penyimpangan yang terjadi pada pemberian layanan, bukan tidak mungkin bisa beresiko cidera, bahkan kematian pasien dan berlanjut pada tuntutan hukum. Begitu juga bila yang terjadi adalah penyimpangan terhadap keuangan dan aset, bisa menjadi ancaman tindak kecurangan atau korupsi. Apapun bentuk penyimpangannya, potensial untuk menimbulkan kerugian terhadap Rumah Sakit. oleh karena itu, Undang – undang mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraannya, Rumah Sakit harus dilakukan audit. Audit yang dimaksud bisa berupa audit kinerja dan audit medik. Audit medik dilakukan oleh Komite Medik dan audit kinerja dilakukan oleh tenaga pengawas baik internal maupun eksternal. Audit kinerja internal dilakukan oleh Satuan Pemeriksa Internal (SPI) Rumah Sakit.


B. HARAPAN TERHADAP KEBERADAAN SPI DI RUMAH SAKIT
Tujuan pokok dari suatu pemeriksaan internal adalah membantu agar para anggota organisasi dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif, sehingga sistem dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Rumah Sakit sebagai sebuah organisasi, bila ingin maju maka SPI-nya haruslah kuat. ini menjadi semacam peraturan tidak tertulis bagi sebuah organisasi yang menginginkan tetap eksis dan berkembang. Karena dengan SPI yang berfungsi sesuai dengan tugas pokok dan perannya, maka organisasi dapat mencegah terjadinya kehilangan uang, menjaga aset dari tindakan korupsi, kelalaian, kebiasaan salah yang dibenarkan, penyimpangan, kecurangan dan pemborosan yang pada akhirnya organisasi dihindarkan dari kerugian – kerugian yang bisa dicegah.
Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit, keberadaan SPI diharapkan dapat menjadi mitra kerja yang baik bagi manajemen dalam menilai setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit. SPI bukanlah unit kerja yang mencari kesalahan, tetapi unit kerja yang membantu top manajemen dalam mengawasi dan mengevaluasi sistem pengendalian manajemen sehingga mengarahkan jalan-nya perusahaan dalam jalur yang benar.
Karena Rumah Sakit merupakan organisasi yang unik, maka SPI Rumah sakit harus mampu memngakomodasi keunikan tersebut.  Keunikan tersebut karena Rumah Sakit merupakan organisasi dengan produknya adalah jasa pelayanan yang berhubungan dengan manusia, sehingga area auditnya meliputi audit medik, audit keuangan dan aset, audit sumber daya manusia beserta administrasinya. Audit medik yang merupakan kekhususan dari SPI Rumah Sakit inilah yang akan berperan penting secara langsung terhadap mutu layanan yang diberikan oleh sebuah Rumah Sakit.
Pembentukan SPI haruslah didasari dengan itikad baik untuk memajukan Rumah Sakit. Dengan audit yang kuat dan sesuai harapan, Rumah Sakit akan semakin dipercaya dimana kepercayaan masyarakat terhadap layanan Rumah Sakitlah yang akan menentukan hidup matinya Rumah Sakit. 
Oleh karena itu anggota SPI diharapkan mampu :
1.         Menjalin komunikasi dengan seluruh anggota organisasi melalui sebuah metode pendekatan audit yang bersifat fasilitatif. Anggota SPI diharapkan mampu menempatkan diri untuk membantu para anggota organisasi dalam menilai kinerja dan mengatasi persoalan atau hambatan yang terjadi sehingga dapat berfungsi secara efektif dan kinerja menjadi optimal.
2.         Anggota SPI harus memiliki pemahaman yang memadai terhadap bidang – bidang yang akan diaudit. Karena itu, penempatan personil sebagai anggota SPI harus memikirkan berbagai aspek baik latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, kompetensi melakukan audit, memiliki catatan kinerja baik, loyalitas tinggi dan dedikasi terhadap pekerjaan. Integritas dan kredibilitas anggota menjadi penilaian utama. Penempatan personil yang tidak layak hanya akan memperlemah SPI dan ini akan membuat SPI tidak bisa memberikan kinerja seperti yang diharapkan. Karena itu, anggota SPI hendaknya juga diberikan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai sebagai dasar kompetensi mereka melakukan kegiatan audit.
3.         Disamping memiliki ilmu yang memadai, anggota harus mengasai kemampuan untuk menganalisa, melakukan penilaian, mengajukan rekomendasi atau saran – saran perbaikan sampai melakukan penilaian ulang apakah proses perbaikan sudah dilakukan sehingga persoalan benar – benar bisa selesai dengan tuntas.
4.         Tim SPI bukanlah merupakan Tim yang mencari – cari kesalahan anggota.  Tim ini merupakan unit kerja yang membantu manajemen dalam mengawasi dan mengevaluasi sistem pengendalian manajemen sehingga mengarahkan jalan-nya perusahaan dalam jalur yang benar. Temuan SPI tidak selalu negatif tetapi juga ada temuan positif, temuan positif ini sebaiknya di sebarluarkan sehingga dapat menjadi contoh bagi unit kerja yang lain. Setiap temuan Tim SPI yang memerlukan tindak lanjut oleh manajemen sebaiknya melalui manajemen review yang khusus membahas temuan atau rekomendasi SPI. Sehingga tidak ada kesan bahwa SPI merupakan “polisi” perusahaan yang langsung bisa mengambil tindakan koreksi tanpa koordinasi dengan manajemen. Untuk ini diperlukan komitmen yang kuat antara manajemen dengan SPI agar sistem kendali tetap bisa berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan ketakutan pada anggota organisasi.
5.         Adanya kewenangan yang memadai yang diberikan kepada Tim SPI untuk bisa mengakses berbagai tempat atau dokumen di organisasi sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dalam rangka melakukan tugasnya . Apabila tidak ada keterbukaan dan akses yang cukup, maka segala penyimpangan yang beresiko terhadap kerugian Rumah sakit tidak segera diketahui untuk segera dicarikan jalan penyelesaiannya.
6.         Tim mampu mengawal tindak lanjut yang direkomendasikan oleh auditor eksternal agar dapat diselesaikan oleh manajemen.
7.         Adanya independensi dari Tim SPI, yang artinya bahwa Tim SPI berpihak pada kebenaran faktual yang berdasarkan data dan fakta yang otentik, relevan dan cukup.
8.         Adanya aturan internal organisasi yang jelas yang mengatur tentang Tim SPI ini yang diketahui dan disepakati oleh semua pihak di Rumah Sakit. Aturan ini memuat tentang pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, hak dan kewenangan auditor, serta bentuk pertanggungjawabannya. Hal ini untuk menghindari salah pengertian tentang keberadaan Tim SPI itu sendiri di Rumah Sakit.

C. KONDISI SAAT INI
Kenyataan yang terjadi saat ini bahwa SPI masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tercermin dari beberapa hal berikut ini :
1.         Pembentukan SPI masih merupakan syarat untuk sebuah penyelenggaraan Rumah Sakit dan belum dirasakan sebagai kebutuhan internal untuk perbaikan organisasi. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan anggota yang yang kurang memperhatikan standar minimal kompetensi seorang auditor. Hal ini bisa dimengerti, salah satunya karena memang pekerjaan auditor merupakan pekerjaan yang “kurang diminati” oleh sebagian kalangan. Pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan “mencari musuh”. Hal ini tentunya tidak benar bila pemahaman tentang auditor internal ini sudah merata pada seluruh anggota organisasi.
2.         Adanya komunikasi yang kurang baik antara auditor dengan anggota organisasi. hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan yang masih belum tepat tentang auditor baik oleh auditor itu sendiri maupun anggota organisasi. Tidak adanya aturan yang jelas yang mengatur tentang auditor ini juga sering menyebabkan salah pengertian. Harusnya memang ada aturan yang jelas mengenai keberadaan auditor ini dan adanya komitmen seluruh anggota organisasi termasuk manajemen untuk menghormati peraturan ini.
3.         Kesulitan mencari personil yang akan ditempatkan dalam Tim SPI. Hal ini mungkin karena pekerjaan auditor dianggap pekerjaan yang tidak menarik dan di Rumah Sakit sendiri mungkin merupakan beban tambahan dari tupoksi seorang karyawan yang ditempatkan sebagai auditor internal. Hal ini karena di banyak Rumah Sakit, Tim SPI masih diambilkan dari karyawan yang sehari – harinya memiliki tupoksi dan belum merupakan Tim yang benar – benar independen dengan tupoksi hanya sebagai auditor internal.

D. PENUTUP
Dengan adanya pelatihan untuk Kepala SPI ini diharapkan ke depan SPI dapat menjadi mitra kerja manajemen dalam mengawal organisasi mencapai visi dan misinya melalui SPI yang menjadi :
1.    Pihak paling independen untk melakukan pengawasan seluruh jajaran organisasi sesuai tupoksinya.
2.    Pihak yang mengawal misi khusus yaitu pengelolaan resiko dan pengendalian operasional yang akan menjadi penyeimbang bagi jajaran manajemen dalam menjalankan organisasi agar dapat mengeliminasi hambatan – hambatan yang muncul menjadi sekecil mungkin.
3.    Tim yang menerapkan kinerja secara integrasi dan berkesinambungan setiap waktu sebagai sebuah siklus.
4.    Tim yang memiliki anggota dengan kompetensi memadai yang memiliki pengalaman untuk mencegah terjadinya tindak kecurangan yang akan merugikan organisasi.

 Disarikan dari banyak sumber.

Saturday, April 28, 2012

BAHASA POLITIK VS BAHASA KALBU, MANA YANG KITA PILIH?


Bahasa dan politik, jelas merupakan dua hal yang berbeda. Bahasa secara harfiah adalah bunyi – bunyian yang memiliki makna yang keluar dari mulut manusia. Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat kominikasi. Dengan bahasa manusia berinteraksi, bekerjasama dan bahasa juga bisa menjadi simbol identitas diri seseorang. Sedangkan politik berasal dari bahasa Yunani, Polis, yang artinya negara kota. Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Aristoteles mendefinisikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik). Akhirnya, dari berbagai definisi yang ada, diupayakan suatu penggabungan untuk mendefinisikan politik sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Sehingga dapat dimengerti bahwa sebenarnya arti dari politik adalah sesuatu yang positif. Tapi dewasa ini, politik telah diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan (baca : kekuasaan), dengan menghalalkan segala cara. Politik telah mengalami peyorasi karena perilaku dari para oknum pelakunya. Lalu bagaimana bila kedua kata itu digabungkan?
Dalam politik, fungsi bahasa direduksi sebagai alat yang sebatas untuk mengekspresikan kekuasaan. Bahasa politik adalah alat untuk mempengaruhi sehingga penuh eufimisme, jargon dan retorika. Penggunaan eufimisme (penghalusan bahasa) akan memberikan kesan bahwa seolah – olah segalanya terlihat baik, berkesan positif dibandingkan realita sesungguhnya. Eufimisme dan retorika bahasa digunakan untuk membungkus tindakan penguasa agar terlihat baik dan beradab, namun penggunaan bahasa ini justru akan membuat bahasa mengalami distorsi makna yang jauh menyimpang dari arti yang sebenarnya. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan mengalami penyesatan yang luar biasa. Banyak contoh mengenai ini. Misalnya, “tolong agar bisa dibantu” bisa berarti “harus bisa, bagaimanapun caranya”, “anda harus memahami bahasa kami” bisa berarti “anda harus menuruti kehendak saya!” dan lain – lain. Istilah “mengamankan, menertibkan, menjaga stabilitas” sering digunakan untuk “menculik, membunuh, memenjarakan” orang – orang yang berseberangan dengan penguasa. Dengan kata lain bahwa bahasa politik sebenarnya adalah bahasa yang digunakan sebagai alat politik.
Kalbu, dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian sebagai sesuatu yang berasal dari hati/nurani. Berasal dari bahasa Arab, Qolb, yang kemudian di-indonesiakan menjadi kalbu. Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan pengertian Qolb, salah satunya adalah bahwa Qolb adalah suatu organ tubuh yang terletak di dada manusia sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan keburukan. Pendapat ini dalam Islam didukung oleh Al- Qur’an Surat Al-Hajj ayat 46. Oleh karena itu Qolb selalu berbolak – balik dan bergejolak. Qalb atau selanjutnya kita sebut kalbu bukan sekedar sebongkah hati yang hanya bisa merasa. Kalbu adalah tempat “bersarangnya” pikiran (mind), jiwa (soul) dan ruh (spirit). Kalbu inilah yang membuat manusia mampu berpikir, membuat rencana – rencana, mengolah apa yang diterima indra, mampu menyelesaikan masalahnya, memiliki kendali terhadap perilaku dan dorongan akibat interaksinya dengan manusia lain dan kalbu inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan kalbu inilah manusia diharapkan mampu membuat kebaikan – kebaikan baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Jadi, bahasa kalbu adalah bahasa yang berasal dari hati/nurani yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menolak segala keburukan yang disadari. Merupakan hasil olah pikir, jiwa dan perasaan untuk mengemukakan kebenaran dengan cara – cara yang benar.
Kembali ke bahasa politik, bahasa menjadi tidak bermakna karena tidak keluar dari hati (baca : kalbu). Bahasa sebagai alat politik juga keluar dari mulut manusia – manusia yang suka berjanji tanpa ada niat untuk menepati. Hanya sebagai pemanis bibir saja. Hal ini banyak terlihat saat musim kampanye. Kampanye apapun yang intinya adalah untuk memperoleh kekuasaan. Janji – janji manis yang keluar tanpa diolah dari kalbu akan berhamburan dan semua hanya tinggal janji bila musim pemilihan berakhir.  Bahasa sebagai alat kekuasaan juga bisa berupa nasehat – nasehat bijaksana yang justru dilanggar sendiri oleh para pemberi nasehat. Contoh : dalam masa sulit ini, penguasa meminta rakyat untuk berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. Tapi pada kenyataannya, para penguasa justru hidup bermewah – mewahan, menuntut fasilitas mahal, sarana kelas satu yang jelas menghambur – hamburkan uang. Belum lagi pameran gaya hidup hedonis para penguasa yang jelas tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Bahasa sebagai alat politik juga bisa jatuh nilainya karena digunakan untuk mengumpat, mencela, mencaci – maki dan menjelek – jelekkan lawan politiknya dengan tujuan untuk menjatuhkannya. Ini hampir setiap hari dengan mudah kita saksikan di televisi sebagai tayangan yang digemari (?).
Lalu adakah bahasa yang mampu menyampaikan pesan – pesan kepada pendengarnya, bukan hanya sampai di telinga tapi juga sampai ke hatinya? Kalau kita mau jujur, bahasa kalbu-lah jawabannya. Tapi di jaman serba pragmatis dengan gaya hidup materialistis seperti saat ini, bahasa kalbu seperti tergilas. Para penggunanya sering dianggap sebagai orang yang “berseberangan” dan “tidak loyal” kepada penguasa yang menggunakan bahasa (sebagai alat) politik. Terutama bagi mereka yang berada dalam sistem pemerintahan. Saya yakin, masih banyak yang menggunakan bahasa kalbu dalam pengambilan kebijakan atau keputusan – keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Apa yang mereka katakan berasala dari dalam hatinya, bermakna mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Mereka adalah orang – orang yang memiliki integritas dan kredibilitas. Antara perilaku dan perkataannya selalu ada kesesuaian. Mereka tak akan menjanjikan sesuatu yang mereka tahu tak akan mampu dipenuhi.
Tapi orang – orang yang berbicara dengan bahasa kalbu ini minoritas, mereka dianggap sebagai orang – orang yang “berani” menentang arus dengan segala resikonya. Terutama bagi para pejabat pemerintahan. Karir yang terhambat, “kehilangan” jabatan, pengucilan, caci – maki bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwa diri maupun lingkungannya merupakan konsekuensi yang bisa terjadi. Sehingga akhirnya, banyak yang terjebak untuk mengikuti arus dengan mengakomodasi bahasa politik dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Bila sudah begini, kapan sistem akan diperbaiki?
Memang merupakan dilema, mana yang harus dipilih, bahasa politik atau bahasa kalbu. Tapi bila kita ingat bahwa segala yang kita katakan atau lakukan kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan “Sang Pemberi Amanah”, masihkan kita berpikir untuk mengakomodasi bahasa politik? Wallahu’alam.
NB : berharap ada masukan dan saran (CMIIW)

MANAJEMEN OBAT DI PUSKESMAS


PENGELOLA OBAT PUSKESMAS KELEBIHAN BEBAN?
Dari 35 Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara, baru 17 Puskesmas yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Tenaga teknis kefarmasian dan dua diantaranya ditambah hal tenaga apoteker. 18 Puskesmas lainnya dikerjakan oleh tenaga non teknis kefarmasian (paramedis, JMD, tenaga administrasi). Hal ini yang dirasakan merupakan salah satu penyebab masalah tidak tertibnya pengelolaan obat di Puskesmas, terutama masalah administrasi.
Pengelola obat menyatakan bahwa beban kerja mereka terlalu besar sehingga sering tidak mampu menyelesaikan administrasi tepat pada waktunya. Benarkah para pengelola obat Puskesmas kelebihan beban pekerjaan tupoksi kefamasian?
Gb 1. Tempat Pelayanan Obat di salah satu Puskesmas
Berdasarkan pengamatan penulis pada bulan April 2012 di 7 (tujuh) Puskesmas, dapat dikatakan bahwa pengelola kefarmasian di Puskesmas belumlah kelebihan beban. Hal ini berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan kefarmasian langsung ke pasien dan pencatatan register harian.
Adapun perhitungannnya adalah sebagai berikut : sampel diambil secara acak di tujuh Puskesmas, masing – masing antara 3 – 15 resep (74 resep). Waktu rata – rata yang diperlukan sejak petugas obat menerima resep sampai pasien menerima obat yang sudah diracik adalah 4,24 menit. Sementara waktu yang diperlukan oleh petugas kefarmasian untuk memasukkan satu resep dalam register harian (dari 74 resep yang sama), rata – rata membutuhkan waktu 0,19 menit. Sehingga jumlah total yang dibutuhkan sebuah resep untuk dilayani sampai masuk register harian rata – rata 4, 43 menit. Perhitungan tersebut sudah termasuk resep yang harus diracik (berupa puyer) sebanyak 14 resep (18,9%).

Dengan kunjungan rawat jalan Puskesmas rata – rata dua tahun (2010 dan 2011) sebanyak 747.511 kunjungan per tahun, maka rata – rata kunjungan rawat jalan Puskesmas per hari adalah 71,2 tiap Puskesmas. Dengan demikian, setiap harinya diperlukan sekitar 315,4 menit atau 5,3 jam atau 31, 8 jam tiap minggunya untuk pelayanan kefarmasian langsung. Dengan jam kerja 37,5 jam per minggu, mereka masih memiliki sisa 5,7 jam tiap minggu atau 22,8 – 28,5 jam setiap bulan untuk mengerjakan laporan bulanan, memperbaiki kartu stok dan membuat Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat serta mengatur pengelolaan obat untuk rawat inap dan Bidan di Desa.
Beberapa fakta yang bisa diungkapkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah sebagai berikut :
1.                     Dalam pelayanan obat di ruang obat, petugas pengelola obat jarang bekerja sendirian untuk melakukan pengemasan obat. Mereka banyak dibantu oleh petugas lain. Dengan kata lain, petugas pengelola obat lebih banyak bertanggungjawab mengerjakan pekerjaan administrasinya saja.
2.                     Pengelola obat sering menunda pencatatan dalam register harian, sehingga makin hari akan menumpuk, akhirnya setiap harus melakukan stok opname, register harian tidak terselesaikan dan langsung mengerjakan LPLPO. Ini menyebabkan antara LPLPO dan stok kenyataan selalu ada perbedaan.
3.                     Kurangnya perhatian Kepala Puskesmas untuk melakukan pendampingan dan evaluasi hasil kerja dari petugas pengelola obat agar mereka melaksanakan tugas sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
4.                     Masih ada beberapa pengelola obat yang bukan tenaga teknis kefarmasian. Mereka adalah tenaga fungsional lain yang diberi tugas mengelola obat.
5.                     Untuk Puskesmas yang kunjungannya di atas rata – rata, sudah ada yang memiliki dua petugas obat dan bagi yang baru memiliki satu petugas, banyak Kepala Puskesmas mengambil inisiatif untuk menugaskan secara lesan petugas lain untuk membantu.
Gb 2. Salah Satu Gudang Obat di Puskesmas
Dari beberapa hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya pengelola obat puskesmas tidak kelebihan beban dalam melakukan pengelolaan obat di Puskesmas. Pekerjaan mereka masih dalam batas wajar sesuai jam kerja mereka sebagai pegawai. Beberapa ketidakberesan yang timbul lebih disebabkan karena motivasi kerja tiap petugas.
Untuk mengatasi beberapa kendala yang muncul, kami merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1.                     Untuk Puskesmas yang belum memiliki tenaga teknis kefarmasian, agar tenaga yang diberi tugas sebagai pengelola obat, bila jumlah kunjungan perhari sama atau di atas rata – rata, diupayakan agar petugas tersebut tidak merangkap dengan tugas lainnya. Bagi yang di bawah rata – rata, bisa menyesuaikan.
2.                     Apabila memang tidak ada tenaga lain yang bisa diperbantukan, maka dapat diadakan lembur bila pengerjaan tugas tersebut memang melebihi jam kerja normatif (dengan disertai data pendukung yang menunjukkan kelebihan beban tersebut).
Perhitungan di atas tentulah merupakan perhitungan yang masih sangat kasar dan belum memenuhi kaidah penelitian yang baik. Sehingga, apa yang dituliskan masih perlu dikaji lebih mendalam untuk melihat keadaan yang sebenarnya, dengan sampel yang lebih banyak dan variabel yang jelas. Tapi setidaknya hal di atas bisa memberikan gambaran awal, bahwa sesungguhnya, pengelola obat di Puskesmas tidaklah kelebihan beban seperti yang dikatakan sebelumnya. Insya Allah.