Monday, October 24, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (5)

STRUKTUR ORGANISASI PUSKESMAS : Perlunya Revitalisasi Fungsi Orang Kedua (Second Person)

          Sebelum membicarakan struktur organisasi, sebaiknya yang dibahas terlebih dahulu adalah Kegiatan Puskesmas. Hal tersebut dikarenakan, struktur organisasi dibentuk untuk mewadahi berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Bisa jadi antara Puskesmas satu dengan Puskesmas lainnya akan sangat berbeda, sesuai dengan kegiatan dan beban kerja Puskesmas.
         Dalam Buku Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, telah diberikan pola struktur organisasi Puskesmas yang dapat dijadikan acuan, yang terdiri dari : Kepala Puskesmas, Tata Usaha, Unit Pelaksana Teknis Fungsional dan Jaringan Pelayanan Puskesmas. Struktur tersebut tidak mengikat, dan masing – masing Kabupaten/Kota dapat menyusun sesuai kebutuhannya dengan tetap memperhatikan fungsi – fungsi dan tujuan dari dibentuknya Puskesmas.
           Dalam bab ini, tidak akan dibahas mengenai struktur organisasi ideal yang seharusnya dimiliki oleh Puskesmas, tapi akan dibahas mengenai beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan struktur organisasi Puskesmas. Hal – hal tersebut diantaranya, adalah :
1.    Struktur yang dibentuk hendaknya memperhatikan kegiatan, beban kerja dan tanggung jawab masing – masing Puskesmas. Jadi, bisa berbeda antar Puskesmas satu dengan lainnya. Selama ini kita mengenal struktur organisasi linear untuk Puskesmas secara umum. Pada Puskesmas tertentu, misalnya Puskesmas dengan rawai inap, organisasi linear mungkin akan menyulitkan, karena benar – benar akan memisahkan antara kegiatan dalam gedung dan luar gedung, walaupun masih ada garis koordinasi. Padahal, kedua kegiatan ini hendaknya saling mendukung.
Disamping itu, keterbatasan jumlah tenaga di Puskesmas juga akan menyulitkan bila struktur linear masih dipertahankan. Dalam hal ini, mungkin struktur organisasi matriks lebih memungkinkan. Struktur ini akan lebih fleksibel dalam mengefisienkan tenaga yang tersedia.
2.    Syarat personil yang menduduki struktur organisasi. Kepala Puskesmas. Dalam Keputusan Menteri nomor 128/ 2004, disebutkan bahwa syarat Kepala Puskesmas adalah sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Hal tersebut masuk akal karena kegiatan Puskesmas sebagian besar adalah kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Tapi tidak boleh dilupakan bahwa Puskesmas adalah pelaksana kegiatan komprehensif yang tidak mengkotak – kotakkan antara pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan. Dua kegiatan yang saling mendukung dan berkaitan satu sama lain. Ada keputusan yang diambil berdasar surveylans epidemiologi maupun situasi medis. Sehingga, sosok Kepala Puskesmas di sini diharapkan orang yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan kesehatan masyarakat, tapi juga mengetahui tentang penyakit dan medis tehnis. Sehingga dapat ditegaskan bahwa untuk menjadi Kepala Puskesmas diharapkan adalah seorang dokter atau sarjana kesehatan masyarakat yang memiliki latar belakang kegiatan teknis medis dan ilmu penyakit, misalnya perawat. Perawat di sini diharapkan memiliki pendidikan lanjutan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Khusus untuk Puskesmas rawat inap, di mana terdapat pengambilan keputusan terhadap suatu masalah berlatang belakang medis tehnis serta mungkin menjadi rujukan untuk Puskesmas lain di sekitarnya, maka dokter lebih tepat untuk menjadi Kepala Puskesmas.
3.    Revitalisasi orang kedua Puskesmas. Pada manajemen Puskesmas di awal berdirinya, kita mengenal orang kedua. Tidak disebutkan apakah orang kedua ini wakil Kepala Puskesmas atau tidak, tapi dia memegang peran penting untuk membantu Kepala Puskesmas dalam mengelola Puskesmas. Orang kedua ini juga dibekali dengan pelatihan manajemen Puskesmas untuk orang kedua.
Entah sejak kapan, orang kedua ini menghilang, yang jelas saat ini tidak pernah terdengar lagi. Mereka yang dulu mendapat pelatihan sebagai orang kedua juga sudah banyak yang pensiun. Ketidakberadaan orang kedua ini yang menyebabkan banyak kepemimpinan Kepala Puskesmas menjadi dominan. Hal ini sering berefek kurang baik dalam suatu organisasi bila Kepala Puskesmas terlalu dominan. Fungsi orang kedua ini memang diharapkan mampu menjadi mitra Kepala Puskesmas dalam menyelesaikan beban kerja di Puskesmas.
Memang saat ini ada Kepala Tata Usaha. Tapi Kepala Tata Usaha ini sebagian besar tidak menjalankan fungsinya sebagai orang kedua, karena mereka memang tidak dipersiapkan untuk itu. Mereka lebih banyak dibebani dengan tugas administrasi. Sehingga Kepala Tata Usaha ini banyak  diambilkan dari instansi lain yang bukan berlatar belakang kesehatan.
Sebenarnya, sangat mungkin Kepala Tata Usaha ini menjadi orang kedua di Puskesmas. Tapi, karena menjadi orang kedua, mereka harus memahami tentang kesehatan. jadi, alangkah baiknya bila orang kedua ini juga merupakan jabatan karir dan personilnya berlatar belakang kesehatan.
Orang kedua ini juga berperan dalam perencanaan dan evaluasi di tingkat Puskesmas. Untuk itu seharusnya mereka memiliki kemampuan surveylans yang memadai, disamping kemampuan manajemen serta kepemimpinan. Orang kedua ini bukan saingan Kepala Puskesmas, tapi merupakan mitra kerja untuk membagi beban dan tanggung jawab pengelolaan Puskesmas.
4.    Koordinator pada Unit Pelaksana Fungsional Puskesmas. Apabila Puskesmas memiliki jaringan yang berbentuk UPF, maka koordinator di UPF ini sebaiknya pejabat fungsional dan bukan struktural. Ini untuk mengefisienkan kinerja agar lebih tepat sasaran. Juga agar tidak terlalu membebani struktur Puskesmas. Mereka bertanggung jawab kepada Kepala Puskesmas.
Dalam praktek, tentunya tidak semudah teori. Struktur organisasi Puskesmas yang ada selama ini mungkin perlu direvisi agar lebih sederhana, tapi mampu mengemban semua fungsi.  Tapi tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin kan?

Dari berbagai sumber.

Sunday, October 23, 2011

APA YANG HARUS DIKETAHUI OLEH SEORANG PENYULUH KESEHATAN?

Dalam penyuluhan kesehatan, tujuan yang ingin dicapai adalah cara berpikir dan berperilaku di bidang kesehatan. dalam kehidupan sehari – hari, ada orang yang begitu mudah dan cepat merubah perilakunya. Sebaliknya, ada yang lama dan sering malah tidak bisa berubah. Perilaku itu sendiri sangat kompleks dan merupakan perpaduan dari serangkaian keputusan dan tindakan. Mengingat hal tersebut, maka sebelum merubah perilaku sasaran, seorang penyuluh kesehatan harus mengetahui apa yang diketahui dan dirasakan oleh sasaran, dan saat ini bagaimana sasaran tersebut berperilaku.
Selain pemahaman mengenai sikap dan perilaku sasaran, seorang penyuluh harus pula memahami dinamika perubahan perilaku manusia secara umum. Yaitu faktor – faktor apa yang mendorong atau menghambat orang merubah cara berpikir dan cara mereka berperilaku.
Mengingat perilaku merupakan inti dari perhatian kita dalam penyuluhan kesehatan, berikut ini adalah beberapa hal yang berkaitan dengan perilaku dan perubahan perilaku, yaitu :

1.             Pengertian : perilaku adalah respon individu terhadap stimulasi baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.

2.           Jenis perilaku :
a.              Perilaku ideal (ideal behavior) : ialah tindakan yang bisa diamati yang menurut para ahli perlu dilakukan oleh individu atau masyarakat untuk mengurangi atau membantu memecahkan masalah. Contoh :
b.             Perilaku yang sekarang (current behavior) : adalah perilaku yang dilaksanakan saat ini.
c.              Perilaku yang diharapkan (expected/feasible behavior) : adalah perilaku yang diharapkan bisa dilaksanakan oleh sasaran. Disebut juga target behavior.

3.             Perubahan perilaku.
          Rangsangan yang dapat menyebabkan orang merubah perilaku :
a.                       Rangsangan fisik.
b.                      Rangsangan emosional.
c.                       Ketrampilan.
d.                      Jaringan perorangan dan keluarga.
e.                      Struktur sosial.
f.                        Cost.
g.                      Perilaku yang bersaing.
Karakteristik proses perubahan perilaku individu, yaitu :
a.            Pengetahuan.
b.           Menyetujui.
c.             Niat.
d.            Praktik.
e.            Advokasi.

4.           Beberapa masalah dalam upaya perubahan perilaku.
a.   Tidak ada orang yang terpapar dengan pesan – pesan kesehatan mengerti pesan – pesan tersebut.
b.  Tidak semua yang mengerti pesan tersebut akan menyetujuinya.
c.   Tidak semua yang menyetujui pesan tersebut akan merubah perilakunya.
d.  Seringkali hanya sejumlah kecil sasaran yang terpapar pesan – pesan kesehatan pada suatu kurun waktu tertentu akan terus mempraktekkan perilaku baru yang diikutinya.

5.              Pengembangan strategi penyuluhan.
Melalui delapan (8) langkah pokok, yaitu :
a.                       Analisis masalah kesehatan dan perilaku.
b.                      Menetapkan sasaran.
c.                       Menetapkan tujuan.
d.                      Menetapkan strategi.
e.                      Menetapkan pesan pokok.
f.                        Menetapkan metode dan saluran kounikasi.
g.                      Menetapkan kegiatan operasional.
h.                       Menetapkan pemantauan dan penilaian.
Suatu perilaku akan lebih besar kemungkinannya diadopsi, bila :
a.     Perilaku yang akan diadopsi tersebut serupa dan cocok dengan apa yang sudah dilakukan saat ini.
b.    Perilaku itu sederhana, tidak ruwet.
c.     Perilaku itu memberi dampak yang positif dalam waktu singkat kepada seluruh lapisan masyarakat.

6.          Duabelas (12) masalah yang perlu diperhatikan oleh penyuluh.
a.   Perhatikan kebutuhan yang dirasakan masyarakat.
b.  Perhatikan keyakinan masyarakat terhadap hal – hal yang bersangkut paut dengan kehidupannya, seperti pengobatan, pencegahan penyakit, pola makan, dsb.
c.   Jangan menakut-nakuti masyarakat.
d.  Lihatlah keadaan.
e.  Jangan meremehkan usaha – usaha pelayanan kesehatan yang telah dilakukan oleh masyarakat.
f.    Berikan pengarahan kepada masyarakat tentang hal – hal yang harus dirubah.
g.  Jangan menekan masyarakat.
h.   Merubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat hendaknya memperhatikan aspek kepercayaan, nilai dan perilaku masyarakat.
i.     Perhatikan adanya tabu, kecurigaan terhadap usaha – usaha kesehatan, hal – hal ghaib dalam usaha merubah masyarakat.
j.    Jangan merasa sebagai “superman”.
k.   Pergunakanlah kata – kata yang mudah dimengerti oleh masyarakat.
l.     Jangan mendidik masyarakat dengan masalah yang keliru.
Merubah perilaku memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, dengan memperhatikan dan melaksanakan hal – hal di atas, diharapkan para penyuluh kesehatan mampu mengerjakan tugasnya dengan baik dan tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Dari berbagai sumber.  

Saturday, October 22, 2011

KENDALA – KENDALA DALAM PENYERAPAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) TA 2011 DI KABUPATEN BANJARNEGARA

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) adalah dana dari pemerintah pusat yang diperuntukkan bagi Puskesmas dalam melaksanakan kegiatannya. BOK ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas terutama dalam meningkatkan layanan promotif dan preventif dengan berprinsip pada azas efektivitas, efisiensi, keterpaduan dan kewilayahan. Jadi jelas, bahwa BOK ditujukan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas dalam pemantauan wilayah setempat. Pertama BOK diluncurkan tahun 2010 dengan jumlah anggaran 18 (delapanbelas juta rupiah) tiap Puskesmas.
Kenyataannya bahwa pelaksanaannya di lapangan tidak semulus yang direncanakan. Hambatan masih saja bermunculan dan ini berimbas pada penyerapan dan BOK itu sendiri untuk dimanfaatkan dalam mendukung kegiatan Puskesmas. Berbagai kendala itu (khususnya di Kabupaten Banjarnegara) diantaranya adalah sebagai berikut :
1.         DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) turun pada pertengahan Maret 2011 dan dari Kemenkes BOK tidak boleh digunakan untuk penggantian kegiatan pada bulan Januari dan Pebruari, sehingga seluruh Puskesmas tidak dapat mengajukan klaim kegiatan yang berjalan pada dua bulan tersebut.
2.         Ketidakjelasan Petunjuk Tehnis BOK yang dikeluarkan oleh Kemenkes dan perbedaan persepsi dalam memahami Petunjuk Tehnis tersebut, terutama pada menu pemanfaatan antara Kemenkes, Dinkes Provinsi dan Dinkes Kabupaten/Kota menyebabkan Kabupaten/Kota ragu – ragu untuk melaksanakan kegiatan bersumber dan BOK. Hal tersebut menyebabkan awal dimulainya kegiatan BOK mundur dari jadual yang sudah direncanakan. Hal ini juga menyebabkan perubahan DIPA tidak dapat sekali jadi dan memakan waktu lebih lama. Dalam petunjuk tehnis, disebutkan bahwa penggunaan dana BOK sangat luas, kenyataannya dalam Rapat-rapat Koordinasi Teknis, tidaklah demikian. Banyak pembatasan yang ditetapkan baik oleh Kemenkes maupun oleh Dinkes Provinsi.
3.         RKA-KL pada DIPA awal untuk kegiatan Satuan Kerja tidak dapat dilaksanakan/tidak operasional, sehingga harus dilakukan revisi berkali – kali sehingga memperlambat kegiatan perencanaan, sosialisasi dan koordinasi dengan lintas program terkait serta Puskesmas sebagai pelaksana kegiatan. Sebagai catatan, revisi DIPA turun pada tanggal 12 Mei 2011. Setelah revisi baru dilakukan kegiatan perencanaan, koordinasi dengan lintas program dan sosialisasi ke Puskesmas dilakukan pada akhir Mei 2011.
4.         Jumlah verifikator di tingkat Kabupaten yang hanya 3 (tiga) orang, sangat kewalahan melakukan verifikasi untuk seluruh kegiatan Puskesmas yang masuk. Verifikator tersebut tersebut dirangkap oleh karyawan dinas yang memiliki tupoksi di luar tugas tambahan sebagai verifikator BOK. Untuk itu ke depan agar alikasi untuk verifikator bisa ditambah dan bisa menggunakan petugas di luar karyawan Dinas Kesehatan.
5.         Mekanisme pengajuan GU dari KPPN Banjarnegara mengharuskan ada rincian SPTB dari seluruh Puskesmas yang mengajukan. Kegiatan merekap SPTB dari masing – masing Puskesmas itu (35 Puskesmas) membutuhkan waktu lama dan memberatkan Satuan Kerja. Untuk ini diharapkan agar KPPN tidak lagi mensyaratkan rincian SPTB dari Puskesmas tapi cukup SPTB total kebutuhan dilampiri SPTB dari masing – masing Puskesmas. Sebagai catatan bahwa KPPN Banyumas tidak mensyaratkan rincian SPTB tapi hanya total kebutuhan Puskesmas. Hasil desk untuk konsultasi, sebenarnya hal tersebut bisa dilaksanakan dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.
6.         Sebagian besar pemanfaatan dana adalah berupa tranport ke lapangan untuk kegiatan luar kedung dalam rangka Pemantauan Wilayah Setempat (sesuai dengan tujuan BOK untuk merevitalisasi fungsi Puskesmas) sehingga lampiran SPJ yang dipersyaratkan KPPN sangat banyak yaitu surat tugas, SPPD, bukti transport dan laporan hasil untuk masing – masing petugas yang melaksanakan. Hal ini memberatkan sebagian besar Puskesmas yang tidak memiliki Petugas administrasi khusus. Sebagai catatan, petugas pengelola BOK di Puskesmas hampir seluruhnya adalah petugas fungsional yang diberi tugas tambahan. Untuk mengatasinya, diharapkan KPPN dapat menerima lampiran SPJ berupa Surat Tugas berstempel dan tanda tangan tempat yang dituju untuk 1 (satu) Tim bila dilaksanakan oleh Tim dan bukan perorangan.  Adapun laporan hasil tetap distempel dan ditandatangani tempat yang dituju.
Berbagai upaya telah ditempuh untuk mengatasi kendala tersebut. Koordinasi, konsultasi, maupun monitoring evaluasi dilakukan denga intensif. Beberapa kendala teratasi, walaupun tidak seluruhnya.
Dari pengalaman pelaksanaan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk perbaukan pelaksanaannya di masa mendatang. Beberapa saran tersebut diantaranya adalah :
1.    Agar turunnya DIPA bisa tepat waktu bulan Januari, sehingga pelaksanaan tahun anggaran bisa penuh duabelas bulan kegiatan.
2.    Agar juklak dan juknis diperjelas dan dipertegas lagi. Hal – hal yang boleh dan tidak boleh benar – benar dilaksanakan secara tergas. Bukannya dalam juknis diperbolehkan, tapi pelaksanaannya dibatasi. Ini pernah terjadi pada salah satu rapat koordinasi teknis, hanya untuk memutuskan boleh tidaknya satu kegiatan (membeli senter untuk kegiatan pemantauan jentik), tiga hari tidak ada keputusan. Akhirnya keputusan diserahkan ke masing – masing Kabupaten/Kota dengan kalimat,” Kalau Kabupaten/Kota berani menanggung resiko, ya silakan saja.” Benar – benar bukan sebuah jawaban utuk suatu solusi dan hanya menambah kebingungan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya.  Kejelasan ini misalnya, berapa kali dalam sebulan boleh mengadakan pertemuan? Atau berapa prosen anggaran yang boleh digunakan untuk pertemuan – pertemuan, transport ke lapangan, pemberian makanan tambahan, surveylans dan kegiatan lainnya agar disebutkan. Kalimat “dan lain – lain” dalan juknis sebaiknya dihilangkan.di tingkat Kabupaten/Kota sendiri agar dana BOK boleh dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan sumber daya manusia yang berhubungan dengan peningkatan kinerja Puskesmas, misalnya untuk pelatihan tentang pelaksanaan Lokakarya Mini yang benar, pelatihan perencanaan tingkat Puskesmas dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), pelatihan penyusunan laporan Puskesmas Berbasis Kinerja, dan lain sebagainya.
3.    Agar aturan keuangan dapat diseragamkan di seluruh Kabupaten/Kota dengan data pendukung yang lebih sederhana, mengingat, bendahara BOK Puskesmas sebagian besar orang fungsional yang tidak begitu memahami aturan kebendaharaan.
4.    Besaran transport agar ditentukan dan tidak perlu memberikan terlalu banyak alternatif pilihan yang tidak jelas, sehingga malah semakin membingungkan.
5.    Agar dibuat aturan yang jelas dan tegas dari tingkat Pusat dan provinsi sebagai dasar pelaksanaan untuk melindungi pelaksana di Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota jangan hanya dituntut untuk berhati – hati dalam penggunaan anggaran (yang lebih terdengar sebagai ancaman) tanpa dilindungi dasar hukum kuat. Sebagai contoh, bahwa Dinkes Provinsi pernah menjanjikan menindaklanjuti Juknis dari Kemenkes dalam bentuk aturan yang lebih teknis lagi berupa Peraturan Gubernur atau SK Kepala Dinas Kesehatan Provinsi (disampaikan dalam Rakontek di Gombog). Pada kenyataannya, sampai sekarang hal tersebut tidak terealisasi. Apapun alasan yang dikemukakan, yang tertangkap oleh Kabupaten/Kota adalah bahwa Dinkesprov tidak mau ikut bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan dengan dana BOK ini. Cenderung lepas tangan, sehingga Kabupaten/Kota harus menerjemahkan sendiri untuk pelaksanaannya di bawah “ancaman – ancaman” bila BOK tidak dilaksanakan sesuai aturan. Harapannya agar hal semacam ini tidak terjadi lagi. Bagaimanapun, keberhasilan Provinsi ditentukan oleh keberhasilan Kabupaten/Kota.
Selain hal – hal di atas, mungkin masih banyak kendala yang menghambat pemanfaatan dana BOK di daerah. Tapi apapun hambatannya, kenyataannya dana BOK sangat membantu Puskesmas dalam meningkatkan kinerjanya, walaupun untuk menihat hasilnya masih perlu waktu. Bantuan dan dukungan semua pihak sangat diperlukan agar tujuan mulia dana BOK ini dapat tercapai. Dan inti dari keberhasilan pelaksanaan BOK adalah adanya keterlibatan semua pihak, khususnya yang tergabung dalam Tim Pengelola/Sekretariat BOK baik yang di Dinas Kesehatan maupun di Puskesmas. 

Friday, October 21, 2011

One and Only - Adele (Lyrics)

REVITALISASI PUSKESMAS (4)

BERAPA IDEALNYA JUMLAH PUSKESMAS DALAM SATU WILAYAH?

          Pertanyaannya bisa juga, berapa idealnya luas wilayah kerja satu puskesmas? Dari pengertian tentang Puskesmas, sudah jelas bahwa Puskesmas mengemban tanggung jawab sebagai pusat penggerak pembangunan kesehatan di suatu wilayah. Dalam Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 128/2004 hanya disebutkan dengan jelas bahwa secara nasional, standar wilayah Piskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah kerja. Pertanyaan yang muncul di sini adalah, apabila dalam satu Kecamatan hanya ada satu Puskesmas, perlukan dibangun Puskesmas baru? Atau sebaliknya bila dalam satu kecamatan ada lebih dari satu Puskesmas, haruskan membagi wilayah kecamatan sebagai wilayah kerja masing – masing puskesmas, atau justru jumlah Puskesmas yang harus dikurangi?
      Memang tidak ada keharusan mengenai berapa jumlah Puskesmas dalam satu Kecamatan. Atau haruskah dalam setiap kecamatan ada Puskesmas? Dalam Buku Pedoman Puskesmas (yang lebih dikenal sebagai buku pelangi karena sampulnya berwarna merah, kuning, hijau dan biru), disebutkan bahwa satu Puskesmas bertanggung jawab untuk setiap 30.000 penduduk. Lalu bagaimana dengan Puskesmas yang jumlah pemnduduknya lebih dari 30.000 orang? Haruskah dipecah? Kalau yang penduduknya kurang? Dilakukan penggabungan beberapa Puskesmas?
Untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut, mari kita telaah hal – hal berikut ini :
1.      Dalam  Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 128/2004 disebutkan bahwa visi Puskesmas adalah Tercapainya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat. Hal ini menegaskan bahwa wilayah kerja Puskesmas adalah Kecamatan.
2.      Dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa kedududkan Puskesmas dalam Sistem Pemerintahan Daerah adalah sebagai Unit Pelaksana Tehnis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yag merupakan Unit Struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di tingkat kecamatan. Karena merupakan Unit struktural, maka Puskesmas akan dipimpin oleh seorang pejabat struktural. Salah satu tugas pokok pejabat struktural adalah melakukan koordinasi baik internal maupun ekternal organisasi. Dalam suatu koordinasi harus diperhatikan efektivitas dan efisiensi. Karena koordinasi ini, selain internal juga eksternal.
3.      Hal yang perlu dilihat berikutnya adalah  tata kerja Puskesmas yang harus selalu berkoordinasi dan salah satu azas penyelenggaraan Puskesmas yaitu azas keterpaduan baik keterpaduan lintas program (internal) dan keterpaduan lintas sektor (eksternal).
Memperhatikan hal – hal tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa wilayah kerja     Puskesmas paling mendekati ideal bila meliputi satu Kecamatan. Jadi, satu kecamatan cukup memiliki satu Puskesmas induk yang akan melaksanakan fungsi – fungsi koordinasi baik internal maupun eksternal. Hal ini mengingat bahwa dalam suatu Kabupaten/Kota, Unit Pelaksana Teknis yang memiliki tugas koordinasi dan tanggungjawab secara struktural dalam suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkecil biasanya sampai Kecamatan. Untuk tingkat di bawahnya, akan dilaksanakan oleh pelaksana fungsional oleh para pejabat fungsional yang dikoordinir oleh pejabat struktural di tingkat Kecamatan. Kecuali di kota – kota besar atau beberapa daerah yang sudah menerapkan sistem kelurahan, maka koordinator secara struktural sampai di tingkat kelurahan.
Dengan adanya satu Puskesmas di tiap Kecamatan, maka koordinasi, terutama lintas sektoral, diharapkan menjadi lebih efektif dan efisien, krn hanya akan terfokus pada satu koordinator untuk masing – masing sektor pembangunan, termasuk sektor kesehatan. bukankah koordinator untuk masing – masing sektor pembangunan di Kecamatan hanya satu? Misalnya sektor pendidikan, sektor pertanian, dan lain-lain.  
Bagaimana dengan Puskesmas yang wilayah kecamatannya sangat luas dan atau penduduknya sangat banyak dan kompleks?  Sementara salah satu tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tersedianya pelayanan kesehatan dasar (imunisasi, ANC, Gizi, KB, dll) dan rujukan yang terjangkau serta bermutu?
Untuk melaksanakan kegiatan – kegiatan di tingkat wilayah yang lebih kecil, dapat dibentuk Unit – unit Pelaksana Fungsional Puskesmas (UPF) yang akan mengkoordinir pelaksanaan tugas teknis Puskesmas. UPF  ini dikepalai oleh seorang pejabat fungsional sebagai koordinator atau penanggungjawab. Dia bertanggung jawab kepada Kepala Puskesmas.
Jumlah dan jenis UPF ini menyesuaikan kebutuhan masing – masing Puskesmas. Misalnya UPF Puskesmas (melaksanakan tugas Puskesmas dalam wilayah yang lebih kecil, misal desa/kelurahan), UPF Rawat Inap, UPF Anak dan Kebidanan/PONED, dan lain – lain. Keberadaan UPF – UPF ini juga harus disinergikan dengan jaringan pelayanan Puskesmas di tingkat lebih bawah seperti Poskesdes, posyandu dan berbagai bentuk UKBM lainnya. Tapi apapun bentuk dan berapapun jenis UPF ini, koordinator di wilayah kecamatan tetap hanya satu yaitu Puskesmas Kecamatan sebagai induknya yang akan melaksanakan fungsi koordinasi di tingkat Kabupaten/Kota.
Kenapa UPF dan bukan Puskesmas Pembantu? Puskesmas Pembantu melaksanakan tugas – tugas dan fungsi – fungsi Puskesmas di lingkup wilayah yang lebih kecil. Tugas pokok dan fungsinya sama dengan Puskesmas induknya. Bila UPF, jenisnya akan lebih bervariasi menyesuaikan kebutuhan masing – masing wilayah. UPF bisa hanya mengerjakan satu atau dua saja dari seluruh kegiatan Puskesmas atau bisa juga mengerjakan seluruh kegiatan Puskesmas di suatu wilayah tertentu.
Jadi, sudah cukup jelas di sini bahwa idealnya dalam satu Kecamatan cukup hanya ada satu Puskesmas sebagai Puskesmas induk, lainnya adalah Unit Pelaksana Fungsional yang jumlah dan macamnya disesuaikan dengan kebutuhan Puskesmas. Hal ini untuk mengefektifkan dan mengefisienkan koordinasi baik di wilayah Puskesmas itu sendiri atau koordinasi ke atas. 

Monday, October 17, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (3)

PENGERTIAN PUSKESMAS

Dalam Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 128/SK/2004 telah disebutkan bahwa Puskesmas dalam pengertiannya adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Dari pengertian tersebut ada empat hal yang harus jadi perhatian, yaitu :
1.      Puskesmas merupakan bagian dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Tidak berdiri sendiri.
2.      Pembangunan kesehatan berarti menyelenggarakan upaya kesehatan secara utuh dan menyeluruh, untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal.
3.      Penanggungjawab secara keseluruhan tetap Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4.      Memiliki wilayah kerja yang secara standar nasional adalah satu kecamatan.
Melihat hal – hal di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan didirikannya Puskesmas adalah terwujudnya kesehatan masyarakat yang didukung oleh kesehatan perorangan.
Adapun Kesehatan Masyarakat sendiri memiliki banyak pengertian. Menurut Winslow (1920) yang dimaksud Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan seni untuk mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan dan meningkatkan kesehatan melalui usaha – usaha pengorganisasian masyarakat. Upaya ini melibatkan berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan. Hal ini karena penyebab masalah kesehatan masyarakat sendiri sangat multikausal.
Karena yang hendak dicapai adalah kesehatan masyarakat yang optimal, maka segala upaya dari pemenuhan sarana prasarana, sumber daya manusia, kegiatan dan sistem yang disediakan hendaknya mengacu pada keberhasilan pembangunan kesehatan masyarakat itu sendiri. Misalnya, bahwa sarana fisik gedung puskesmas dan peralatan mendukung upaya mencapaian kegiatan yang bersifat promotif preventif, seperti aula untuk koordinasi, ruang pertemuan, penyuluhan, ruang konseling, ruang informasi dan data, perpustakaan dan lain – lain serta bukannya memperbesar sarana kuratifnya.
Sarana untuk promosi kesehatan yang memadai, seperti alat/media penyuluhan berbagai bentuk, kendaraan operasional penyuluhan dan pemantauan wilayah, alat pemantauan gangguan kesehatan di masyarakat (sanitarian kit, alat deteksi gangguan kesehatan kerja, alat deteksi pencemaran), alat dokumentasi kegiatan serta akses informasi timbal balik yang mudah antara Puskesmas dengan masyarakat di wilayahnya.
Sumber daya manusia kesehatan yang ditempatkan di Puskesmas adalah tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan mengelola social capital yang ada di masyarakat. Bukan tenaga kesehatan yang semata – mata hanya melaksanakan fungsi kuratif. Karenanya, berbagai kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya harus diarahkan agar tenaga kesehatan di Puskesmas mampu menjadi fasilitator upaya kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat. Tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan masyarakat dan mampu membuat jejaring untuk kegiatan.
Sementara saat ini, Puskesmas lebih diutamakan untuk meningkatkan kegiatan kuratif yang jelas hanya merupakan bagian kecil saja dari kegiatan Puskesmas, akhirnya malah mendominasi. Berbagai alasan dikemukakan untuk penyimpangan ini. Salah satunya karena Puskesmas saat ini banyak yang ditarget sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal kegiatan yang memberikan pemasukan adalah kuratif. Jadinya kegiatan promotif preventif malah terabaikan.
Jadi, revitalisasi Puskesmas harus menegaskan kembali tujuan utama ini, yaitu Pusat Kesehatan Masyarakat dan bukan Pusat Pengobatan Masyarakat. Bisa dengan mengontrol jenis kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas dan advokasi agar Puskesmas tidak dijadikan sumber PAD.


Friday, October 14, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (2)

SEJARAH PUSKESMAS



Gambar 2. Peralatan yang lebih baik
Sebelum bicara panjang lebar tentang ide – ide untuk revitalisasi Puskesmas, tidak ada salahnya kita menengok kembali sejarah pendirian Puskesmas.
Ide tentang Puskesmas secara tidak langsung dikemukakan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951 dalam suatu konsep yang disebut sebagai konsep Bandung (Bandung Plan). Beliau mengemukakan bahwa dalam pelayanan masyarakat, aspek kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan. Konsep ini kemudian diadop oleh WHO dan menjadi dasar pengembangan sistem pelayanan tingkat primer.
Tahun 1956, dr, Y. Sulianti mendirikan Proyek Bekasi, tepatnya di Lemah Abang, sebagai proyek percontohan pelayanan kesehatan masyarakat. Di sini ada keterpaduan antara pelayanan kesehatan pedesaan dan pelayanan medis. Ada delapan desa yang dipilih sebagai wilayah pengembangan yaitu Inderapura (Sumatra Utara), Lampung, Bojong Loa (Jawa Barat), Sleman, Godean (Yogyakarta), Mojosari (Jawa Timur), Kesiman (Bali) dan Barabai (Kalimantan Timur). Kedelapan desa di wilayah itu yang merupakan cikal bakal Puskesmas sekarang ini.
Pada tahun 1967, dr. Ahmad Dipodilogo membahas suatu konsep puskesmas yang mengacu pada konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Dalam seminar ini disepakati sistem Puskesmas yang terdiri dari Puskesmas A, B dan C. Akhirnya pada tahun 1968 pada rapat Kerja Kesehatan Nasional, dicetuskan bahwa puskesmas adalah merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) seperti yang kita kenal sekarang. Saat
Dalam perkembangannya, Puskesmas telah mengalami berbagai perubahan baik struktur, fungsi dan manajemen. Tahun 1969, Puskesmas dibagi menjadi dua yaitu A dan B yang masing – masing dikepalai oleh seorang dokter dan paramedis. Tahun 1979, tidak ada lagi pembedaan itu dan hanya ada satu Puskesmas yang dukepalai oleh dokter dengan stratifikasi sebagai penilainnya. Yaitu baik sekali (hijau), rata – rata (kuning) dan standar (merah). Selanjutnya Puskesmas dilengkapi dengan piranti manajerial yang lain seperti micro-planning dan Lokmin (lokakarya mini). Bahkan pada perkembangannya saat ini juga dikenalkan adanya Badan Penyantun Puskesmas sebagai mitra kerja Puskesmas. Walaupun kenyataannya, keberadaan Dewan Penyantun ini belumlah seperti yang diharapkan.
 Selanjutnya tahun 1990-an, Puskesmas menjadi kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga memberdayakan masyarakat. Selain memberikan pelayanan meyeluruh dan terpadu dalam bentuk kegiatan pokok.
Gambar 3. Tak lagi kumuh, sempit dan jorok
Kegiatan pokok Puskesmas ini juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal pendiriannya, kegiatan Puskesmas merupakan keterpaduan dari berbagai pelayanan kesehatan yang sudah lebih dulu ada seperti balai pengobatan, balai kesehatan ibi anak, balai pencegahan malaria, diare dan balai imunisasi. Kemudian kegiatan berkembang menjadi 18 kegiatan pokok Puskesmas bahkan sempat berkembang menjadi 20 kegiatan pokok pada akhir tahun 1990-an.
Bertambahnya kegiatan pokok Puskesmas menyebabkan semakin besar beban yang harus dikerjakan oleh Puskesmas. Padahal kenyataannya, tidak semua Puskesmas memiliki kemampuan yang sama dalam sarana dan sumber daya manusia. Juga tidak setiap wilayah Puskesmas memiliki permasalahan yang sama untuk semua jenis kegiatan. Akhirnya pada saat ini, kegiatan Puskesmas dibagi menjadi dua kelompok yaitu Upaya Kesehatan Wajib yang terdiri dari enam kegiatan dan dikenal sebagai basic six serta sembilan Upaya Kesehatan Tambahan yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat.
Menilik sejarah perkembangan Puskesmas di atas berikut kegiatan – kegiatannya, jelas bahwa upaya kuratif (pengobatan) hanya merupakan bagian kecil dari upaya kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas secara keseluruhan, walaupun masih merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hendaknya saling menunjang. Sehingga apabila saat ini Puskesmas lebih cenderung kepada pelayanan kuratif, hal ini perlu diluruskan kembali agar tujuan awal pendirian Puskesmas bisa tercapai. 

REVITALISASI PUSKESMAS (1)

DIMULAI DARI MANA?

Gambar 1. Puskesmas Punggelan Kabupaten Banjarnegara
Sejak awal keberadaannya hingga sekarang, Puskesmas masih saja dianggap sebagai pemberi pelayanan kesehatan (baca : pengobatan) untuk masyarakat menengah ke bawah, kalau tidak bisa disebut masyarakat miskin. Padahal, puskesmas memiliki peran yang lebih besar daripada hanya sekedar pemberi layanan pengobatan. Puskesmas seharusnya mampu menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Keputusan menteri Kesehatan RI Nomor 128/ Menkes/SK/II/2004 mengenai fungsi Puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama baik perorangan maupun masyarakat. Dari ketiga fungsi tersebut, pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas bersifat menyeluruh dengan penekanan pada kegiatan promotif dan prefentif.
          Pada perjalanan selanjutnya, Puskesmas cenderung lebih fokus kepada pelayanan pengobatan yang bersifat kuratif. Saat ini lebih banyak masayarakat yang mengenal Puskesmas sebagai tempat berobat daripada sebagai pusat informasi yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
           “Kegiatan Puskesmas di desa ya Puskesmas Keliling dan Posyandu…,” kata seorang perangkat desa ketika ditanyakan kepadanya tentang kegiatan Puskesmas di luar gedung Puskesmas.
Walaupun pernyataan itu tidak mewakili pengetahuan masyarakat tentang kegiatan Puskesmas, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat secara umum juga hanya mengetahui sebatas itu. Tentunya hal ini sangat disayangkan, mengingat Puskesmas memiliki fungsi strategis sebagai institusi kesehatan yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat.
        Banyak hal yang dikemukakan sebagai penyebab kenapa hal itu bisa terjadi. Salah satunya mungkin karena saat ini banyak petugas Puskesmas yang enggan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pemantauan wilayah. Alasan tersebut salah satunya dipicu dengan tidak adanya dana operasional petugas ke lapangan. Karena alasan itulah, maka pemerintah meluncurkan program Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010. BOK tersebut dimaksudkan untuk membantu operasional Puskesmas, agar Puskesmas dapat kembali pada fungsi - fungsi pokoknya.
Adanya dana BOK tersebut tidak serta merta dapat mengembalikan Puskesmas pada fungsinya semula. Salah satu sebabnya, karena petugas Puskesmas lebih suka melakukan kegiatan pengobatan di dalam gedung, dengan alasan bahwa mengobati orang sakit adalah tugas utama tenaga kesehatan, termasuk yang ditempatkan di Puskesmas. Hal ini semakin menjauhkan Puskesmas dari tujuannya. Akibatnya, saat ini banyak Puskesmas yang cenderung memperbesar fungsi kuratifnya daripada fungsi promotif preventif yang menjadi tujuan pokoknya. Banyak Puskesmas yang berlomba – lomba membangun Rawat Inap, memperbanyak jenis pelayanan penunjang dengan alat yang canggih dan pelayanan spesialisasi. Alasannya, masyarakat menuntut dan membutuhkan. Benarkah?
Melihat penyimpangan yang semakin jauh yang dilakukan oleh Puskesmas, tentunya tidak bisa didiamkan begitu saja. Tapi menghilangkan pengembangan yang dilakukan oleh Puskesmas saat ini, juga bukan merupakan tindakan bijaksana. Sehingga perlu diambil alternatif untuk melakukan perbaikan dan mengembalikan Puskesmas pada fungsinya tapi sekaligus menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat untuk peningkatan pelayanan kuratif di Puskesmas. Untuk ini, pemerintah berupaya melakukan Revitalisasi Puskesmas.
Pertanyaannya adalah, revitalisasi akan dimulai dari mana? Begitu banyak seminar, pertemuan – pertemuan yang membahas tentang revitalisasi Puskesmas ini. Banyak usulan dari para pakar dikemukakan. Tapi sampai saat ini belum ada kejelasan darimana revitalisasi akan dimulai.
Untuk memulai revitalisasi Puskesmas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
1.             Definisi Puskesmas. Perlukah definisi yang ada sekarang dipertahankan ataukah perlu dilakukan redefinisi agar lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman? Redefinisi di sini meliputi pengertian, tujuan dan fungsi.
2.             Struktur organisasi Puskesmas.  Penting untuk menegaskan kembali tentang organisasi Puskesmas. Ini menyangkut kedudukan dan hubungan Puskesmas dengan Pemerintah, institusi lain baik kesehatan maupun bukan dan struktur di dalam internal Puskesmas itu sendiri.
3.             Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas dan kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas. Harus ada kejelasan mengenai jenis pelayanan yang bisa diberikan oleh Puskesmas. Hal ini berhubungan dengan kompetensi tenaga yang nantinya akan ditempatkan di Puskesmas tersebut. Di samping itu, batasan tegas akan menghindarkan Puskesmas melakukan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan dan Puskesmas memiliki panduan untuk lebih fokus pada kegiatannya.
4.             Sumber pembiayaan Puskesmas. Perlu dikaji tentang sumber pembiayaan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas.
5.             Pengembangan Puskesmas. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa Puskesmas akan berkembang menyesuaikan denga tuntutan perubahan atau mati. Tentunya kita tidak menginginkan institusi strategis pembangunan kesehatan yang sering dipandang sebelah mata ini akhirnya akan hilang secara perlahan – lahan. Terutama hilangnya fungsi – fungsi di luar fungsi kuratif, karena banyak Puskesmas yang terus mengembangkan fungsi kuratifnya tanpa ada batasan. Puskesmas tetap diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sesuai situasi permasalahan kesehatan di lingkungannya masing – masing. Pengembangan yang bagaimana? Itu perlu pemikiran bersama.
Terlihat dari gambaran di atas bahwa revitalisasi Puskesmas bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi juga tidak bisa menunggu lebih lama untuk dimulai. Karena kita tahu, semakin lama kita membiarkan suatu masalah maka akan semakin sulit bagi kita untuk memulihkannya, karena dia akan memiliki akar – akar maslah yang semakin banyak dan sulit dituntaskan. Revitalisasi Puskesmas adalah hal yang urgen dilakukan. Tapi dimulai dari mana? Kita akan bahas satu - persatu. Sangat mengharapkan bila ada saran dan masukan dalam pembahasan ini. Ada saran?




Sunday, October 2, 2011

PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG KEAMANAN PRODUK PANGAN

Mencermati pelaksanaan ekspo yang dilaksanakan tanggal 27 September sampai 1 Oktober 2011 yang lalu ada yang menarik untuk dikemukakan dari salah satu stand yang dibuka oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Dari stand berukuran 3 x 3,6 m2 itu memang tidak banyak yang bisa ditampilkan. Stand ini hanya berisi informasi tentang keamnan produk pangan (makanan dan minuman), diantaranya adalah informasi tentang prosedur pengurusan sertifikat Produk Industri Rumah Tangga (PIRT), zat tambahan yang sering terdapat dalam makanan dan pengolahan pangan baik yang benar maupun salah. Ditampilkan juga informasi tentang kemasan pangan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Untuk menambah padatnya informasi, ditambahkan juga tentang penyehatan air yang menampilkan contoh alat penjernih air sederhana,
Stand yang memang tidak “menjual produk” dalam pengertian umum ini memang jadi kurang diminati oleh pengunjung jarena hanya berisi informasi. Hal ini terlihat dari pengunjung stand yang sebagian besar adalah anak sekolah karena tertarik dengan quis berhadiah harian yang disediakan oleh stan ini. Untuk bisa ikut undian, pengunjung harus mengisi kuesioner yang disediakan dan untuk jawaban yang benar, akan disertakan untuk mengikuti undian untuk mendapatkan sepuluh sovenir setiap harinya.
Dari rata – rata 35 kuesioner yang diisi oleh pengunjung, jawaban benar hanya belasan saja. Padahal semua jawaban kuesioner ada di papan – papan informasi yang disediakan baik dalam bentuk poster, banner, leaflet, contoh – contoh produk, bahan dan lain – lain yang ada di stand. Untuk yang menjawab benarpun, biasanya sambil membaca informasi – informasi yang dipampangkan di sini.
Walaupun hal diatas tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai akan pemahaman masyarakat tentang keamanan produk pangan secara umum, tapi cukup membuat kita berpikir, benarkah masyarakat tidak paham tentang kemanan produk pangan?
“Tahu sih, ada pengawet, pewarna berbahaya pada makanan, tapi bagaimana bentuknya kita tidak tahu, minimal ciri – cirinyalah…,” kata beberapa pengunjung hampir senada.
Dalam hal ini, sosialisasi yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media sudah cukup diketahui masyarakat. Hanya masyarakat ingin melihat dan memegang secara langsung hasil olahan pangan yang mengandung bahan berbahaya itu. Untuk hal tersebut, contoh yang diberikan cukup membantu walaupun dianggap kurang banyak, terutama karena hanya bisa dilihat.
 “Sebenarnya kita tahu bahwa bahan itu dilarang….,” kata beberapa  produsen makanan, “….tapi kalau kami harus menggunakan bahan yang dipersyaratkan, kami tidak punya modal. Padahal inilah satu – satunya sumber pendapatan kami,” lanjutnya mengomentari juga tentang bahan tambahan makanan yang dipersyaratkan.
Dalam hal ini, pemerintah tidak punya kewenangan untuk melarang masyarakat membuat dan menjual produk pangan. Kewenangan Pemerintah adalah mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap produsen produk pangan ini melalui sertifikat P-IRT.  Melalui sertifikat ini bisa dipersyaratkan hal – hal yang harus dipenuhi oleh produsen untuk keamanan produknya, seperti kesehatan air, pemeriksaan laboratorium sampel produk bebas bahan berbahaya, prosedur pengolahan yang benar, syarat kesehatan penjamahnya dan sebagainya.  Walaupun berbagai peraturan perundangan sudah dibuat, tapi pelaksanaannya di lapangan masih sangat minim. Karena kewenangan pengawasan produk pangan sekarang ada di Pemerintah Kabupaten/Kota, maka perlu adaya tindak lanjut untuk dibuatkan peraturan daerah yang mengatur masalah ini.
Itu baru bahan tambahan makanan. Masalah lain dalam produk pangan ini adalah pengemasan. Dalam survei lokasi yang dilakukan oleh tim dari Dinas Kesehatan dalam rangka menindaklanjuti permohonan sertifikat P-IRT, pengemasan produk pangan masih menjadi persoalan. Masih ditemui penggunaan kertas koran bekas atau kertas dari buku – buku bekas digunakan untuk mengemas makanan. Di samping kotor, bahan bekas ini kemungkinan juga mengandung bahan berbahaya dari tinta yang bisa meracuni tubuh. Harusnya digunakan kertas khusus yang memang dibuat untuk membungkus makanan (misal, kertas minyak, kertas kue).
Di samping kertas, ada lagi produk plastik yang berbahaya untuk digunakan. Sebenarnya untuk produk plastik, ada kode segitiga yang menunjukkan keamanan bahan tersebut bila digunakan untuk membungkus makanan. Segitiga ini bernomor satu sampai tujuh. Tiap nomor menunjukkan kandungan yang ada pada plastik tersebut. Produk plastik yang aman untuk makanan adalah segitiga dengan nomor empat dan lima. Tapi ternyata, kode segitiga ini belum tersosialisasi ke masyarakat dengan baik.
“Saya baru tahu kalau tiap produk plastik tidak semuanya aman untuk makanan dan ini ditunjukkan dengan kode segitiga? Apa itu kode segitiga?” tanya seorang pengunjung yang dari pakaiannya, batik resmi dengan name tag di dada, menunjukkan bahwa dia seorang pegawai pemerintah yang tentunya lebih punya akses untuk keterbukaan informasi. Bagaimana dengan masyarakat yang akses informasinya terbatas?
Dari ribuan produk pangan yang beredar di masyarakat, tidak semua memiliki sertifikat laik sehat yang ditunjukkan dengan adanya nomor P-IRT. Masih banyak produk pangan yang beredar bahkan tanpa nomor P-IRT dari Dinas Kesehatan. produk seperti ini banyak beredar di pasar – pasar tradisional, warung – warung kecil dan penjual jajanan di sekolah – sekolah. Biasanya produsen baru mengurus sertifikat ini bila akan menitipkan produknya ke toko – toko yang lebih besar.
“Tahulah ada bahan pewarna atau pengawet berbahaya, tapi tidak masalah, yang penting harganya murah dan kita bisa membeli. Mau beli yang lain, mahal. Sakit kan bukan kita yang buat….,” kata beberapa pengunjung yang mengisyaratkan bagaimana mereka menggampangkan persoalan ini.
Tak bisa dipungkiri, bahwa sebagaian masyarakat kita membeli produk pangan tertentu karena harganya yang murah. Mereka tidak peduli dengan kandungan yang ada pada produk pangan tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan. Ini mungkin sangat berhubungan dengandaya beli. Dan bila sudah menyangkut daya beli, maka urusannya menjadi panjang dan kompleks. Tidak cukup hanya diatasi dengan gembar – gembor dari Dinas Kesehatan tentang keamanan produk pangan, tapi keterlibatan stake holder yang lain dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Akhirnya, semua kembali ke masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa secara cerdas menyikapi tentang konsumsi produk pangan ini. Karena sanksi pada produsen yang bandel tidak dilaksanakan secara ketat, masyarakat hendaknya bisa membantu dengan hanya memilih produk pangan yang laik sehat. Dengan begitu, produsen pangan yang menambahkan bahan berbahaya pada produknya lambat laun akan hilang dengan sendirinya karena produk yang dihasilkan tidak dipilih oleh konsumen (masyarakat). 
Dari seluruh jajaran Dinas Kesehatan sendiri agar tidak berhenti  menginformasikan tentang keamanan produk pangan ini dan tentunya harus didukung oleh seluruh lintas sektor terkait, khususnya pengambil keputusan tertinggi di daerah.


Banjarnegara, 3 Oktober 2011
Pengamatan sekilas yang masih perlu didalami lebih jauh.