Tuesday, December 27, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (12)

STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS


1.    Mengembangkan dan Mengelola Layanan Rawat Jalan dan Rawat Inap Untuk Penyakit/Kondisi Kesehatan Kronik dan Akut
Adanya perubahan yang pesat terhadap teknologi membawa dampak besar tehadap perilaku sosial budaya masyarakat, yang imbasnya adalah perubahan pola penyakit di masyarakat. Bila pada awalnya UKP Puskesmas dirancang untuk menangani masalah kesehatan atau penyakit akut di masyarakat, saat ini harus mulai memberikan porsi yang lebih besar untuk masalah kesehatan atau penyakit kronik karena epidemiologi penyakit sekarang mulai bergeser, dimana kasus penyakit kronik mulai meluas dan penyakit akut belum hilang. Hal ini menjadi beban ganda untuk penanggulangan penyakit di masyarakat.
Peningkatan UKP untuk kegiatan kuratif di rawat jalan dan rawat inap harus diatur dengan cermat. Kegiatan UKP yang makin meningkat tidak boleh membuat Puskesmas melupakan fungsi – fungsi Puskesmas lainnya.
Untuk pengaturan ini dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut ini :
a.       Membebaskan Puskesmas dan jaringannya sebagai Sumber pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga kegiatan Puskesmas tidak terfokus pada kegiatan UKP (baca : kuratif) yang masih merupakan sumber pendapatan terbesar Puskesmas.
b.       Membatasi pendirian Puskesmas Rawat Inap hanya di lokasi – lokasi yang memang membutuhkan dan memungkinkan untuk dikembangkan sebagai Rawat Inap. Untuk meningkatkan keseriusan pengembangan Rawat Inap ini perlu adanya standar minimal tentang apa yang dimaksud Puskesmas Rawat Inap. Bila suatu Puskesmas akan dijadikan Puskesmas Rawat inap, sebaiknya mengacu pada Rumah Sakit Pelayanan Medik Dasar dengan 25 tempat tidur. Sarana lainnya mengikuti. Bila tidak mungkin dikembangkan ke arah tersebut, sebaiknya Puskesmas tidak perlu dikembangkan sebagai Puskesmas Rawat Inap, mengingat biaya pengelolaannya yang besar. untuk kebutuhan rawat inap, bisa menginduk pada Puskesmas Rawat Inap terdekat. Untuk ini Pemerintah Kabupaten harus memfasilitasi dan bila ada Puskesmas yang akan meningkat menjadi Puskesmas Rawat Inap tapi belum memenuhi syarat minimal, diberi kesempatan untuk menjadi Puskesmas Rintisan Rawat Inap yang berlaku pada waktu tertentu, misalnya tiga tahun untuk melihat perkembangannya. Bila berkembang dilanjutkan, bila tidak dihentikan.
c.        Pengembangan Puskesmas Terpadu. Konsep Puskesmas Terpadu yang pernah ada agar didefinisikan lagi secara jelas. Di sini penulis mengusulkan definisi Puskesmas Terpadu adalah Puskesmas dengan pengembangan pelayanan kuratif setara Rumah sakit Type D dengan tetap meningkatkan kualitas fungsi – fungsi Puskesmas lainnya. Keberadaan dokter spesialis dibatasi hanya pada spesialisasi dasar (anak, bedah, kandungan kebidanan dan penyakit dalam). Tidak harus keempatnya, tapi minimal dua spesialisasi. Jumlah tempat tidur dibatasi maksimal 50 tempat tidur. Sarana lain menyesuaikan. Apabila Puskesmas ini kegiatan kuratifnya menunjukkan peningkatan dan didasari oleh kebutuhan masyarakat yang mendesak, maka Puskesmas Terpadu ini sebaiknya langsung dikembangkan sebagai rumah sakit type C. konsekuensinya, Pemerintah harus membangun Puskesmas di wilayah tersebut untuk melaksanakan fungsi – fungsi pelayanan kesehatan masyarakatnya.

REVITALISASI PUSKESMAS (11)

STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS


1.    Mengembangkan dan Mengelola Layanan Kesehatan Lokal Spesifik
Penting bagi puskesmas untuk mengembangkan kegiatan lokal spesifik sebagai ciri khas layanan kesehatan Puskesmas tersebut. Layanan yang dikembangkan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, baik lingkungan geografis, demografis maupun sosial budaya. Ini dimaksudkan agar agar Puskesmas mampu memberikan “tanda pengenal” serta pilihan kepada masyarakat mengenai layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini juga dapat menjadi nilai lebih, semacam brand image atau “merk dagang” untuk meningkatkan daya saing Puskesmas bersangkutan.
Contoh kegiatan lokal spesifik yang dapat dikembangkan oleh Puskesmas sangat banyak, diantaranya pada Puskesmas yang kondisi geografisnya sangat rawan terjadi bencana alam (misal : Banjarmengu, Batur, Pejawaran, Kalibening, dan lain-lain) dapat mengembangkan layanan manajemen faktor resiko terutama untuk faktor resiko bencana. Puskesmas ini dapat memberikan layanan pelatihan untuk masyarakat atau kelompok – kelompok masyarakat untuk mengenali faktor resiko bencana dan penanggulangannya bila bencana benar – benar terjadi.
Puskesmas – puskesmas yang kesulitan mengembangkan kegiatan kuratifnya dapat mengembangkan kegiatan promotif preventif sebagai ciri khas layanan kesehatan di Puskesmas tersebut, misalnya Puskesmas sebagai Pusat Informasi Kesehatan yang dapat diakses oleh siapa saja. Puskesmas dapat juga mengembangkan UKBM-UKBM yang ada di wilayahnya menjadi kegiatan andalan dan sebagai bentuk layanan kesehatan yang mengupayakan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. Misalnya : Posyandu, Sekolah Sehat, Usaha Kesehatan Sekolah, pengembangan tanaman obat keluarga, Desa Siaga aktif dengan Forum Komunikasi Desa yang dapat diandalkan, dan sebagainya. 
Puskesmas yang berada di jalur jalan raya yang ramai dan rawan kecelakaan dapat mengembangkan Kegiatan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan yang berbasis masyarakat sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian karena pertolongan awal yang tidak tepat. Puskesmasnya sendiri dapat mengembangkan diri sebagai layanan dasar untuk “Trauma Center”.
Masih banyak kegiatan lain yang dapat dikembangkan oleh Puskesmas sesuai kreativitas dan inovasi masing-masing, tanpa meninggalkan aturan yang berlaku. Dengan begitu, Puskesmas akan memiliki satu bentuk layanan kesehatan yang khas yang dibutuhkan oleh masyarakat dan diharapkan masyarakat akan mengenali Puskesmas tersebut dengan bentuk layanan khas yang dimilikinya, tanpa meninggalkan  peran puskesmas secara utuh.

REVITALISASI PUSKESMAS (10)

STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS


1.    Mengembangkan dan Mengelola Kerjasama Dengan Layanan Kesehatan Primer Lainnya
Puskesmas sebagai ujung tombak Pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk menyampaikan dan memberikan program-program layanan kesehatan baik pada perorangan maupun masyarakat. Agar kegiatan-kegiatan tersebut dapat berjalan dan memperoleh hasil seperti yang diinginkan, maka Puskesmas harus membangun kerjasama dengan layanan kesehatan primer lainnya, baik swasta maupun pemerintah.
Kerjasama ini penting supaya tidak terjadi perbedaan yang sangat dramatis untuk penanggulangan masalah penyakit atau kesehatan yang akhirnya akan berdampak buruk pada masyarakat. Contoh, Pengobatan Tuberculosis (TBC) dengan strategi DOTs. Sudah terbukti bahwa pengobatan TBC dengan strategi DOTs lebih efektif daripada strategi konvensional. Kombinasi obat dan cara pemberiannya sudah sangat jelas. Angka kesembuhan juga tinggi (lebih dari 90%). Tapi sayang, tidak semua penderita TBC diobati dengan strategi DOTs, terutama mereka yang berobat ke layanan swasta. Pengobatan yang diberikan masih sangat bervariasi, kadang malah sub-standar. Salah satu penyebabnya adalah karena Puskesmas tidak melibatkan layanan swasta dengan memberikan informasi dan fasilitasi sarana (misal : obat, pemeriksaan laboratorium) untuk pengobatan penderita TBC dengan strategi DOTs. Aibatnya banyak penderita TBC yang tidak mengalami kesembuhan karena drop out minum obat, bahkan muncul resistensi kuman terhadap obat. Karena itu kerjasama menjadi sangat penting supaya capaian program bisa berhasil.
Kerjasama lain yang harus dikembangkan misalnya dalam hal pencatatan dan pelaporan. Sesuai dengan asas kerja Puskesmas yang berbasis kewilayahan, maka Puskesmas merupakan penanggung jawab seluruh kegiatan yang berhubungan dengan upaya peningkatan layanan kesehatan di wilayahnya. Selama ini, layanan kesehatan yang dilakukan oleh sektor swasta sering tidak terpantau oleh Puskesmas karena belum ada sistem pencatatan dan pelaporan yang baku dari sektor swasta untuk melaporkan kegiatannya ke Puskesmas. Begitu juga dengan rumah sakit yang tidak semua melaporkan kegiatannya ke Dinas Kesehatan. Hal ini menyebabkan kita banyak kehilangan banyak data yang sangat penting untuk untuk perencanaan kegiatan dan pengambilan keputusan guna menentukan suatu kebijakan. Pengambilan keputusan untuk kebijakan sering tidak riil karena data yang tidak lengkap. Oleh karena itu kerjasama dalam hal ini perlu ditingkatkan, misalnya dengan menetapkan suatu standar sistem pelaporan tentang kegiatan layanan kesehatan di seluruh wilayah kabupaten.
Pencatatan dan pelaporan kegiatan sarana pelayanan kesehatan di suatu wilayah Puskesmas sebaiknya melalui Puskesmas setempat, tidak langsung ke Dinas Kesehatan. Dengan demikian, kegiatan akan lebih terpantau dan peran Puskesmas sebagai kepanjangan tangan Dinas Kesehatan untuk membina layanan kesehatan di wilayahnya akan makin meningkat.

REVITALISASI PUSKESMAS (9)

STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS


1.    Mengembangakan dan Mengelola Upaya Pemberdayaan Masyarakat Untuk Kesehatan
Dalam Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, disebutkan bahwa fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan pemberian layanan kesehatan strata pertama (primer). Puskesmas memiliki tanggungjawab agar perorangan, terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat dengan memperhatikan situasi dan kondisi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat. Ini merupakan fungsi vital dari Puskesmas dan harus mendapat perhatian lebih untuk pengembangannya. Karena inti pembangunan kesehatan ada pada pemberdayaan masyarakat ini.
Dalam pengembangan ini ada hal – hal yang harus diperhatikan untuk dijadikan prinsip pengelolaan pemberdayaan masyarakat, diantaranya adalah :
a.       Integrasi.
b.       Investigasi “social capital” masyarakat.
c.        Perencanaan dan strategi.
d.       Komunikasi intens timbal balik.
e.       Role play dan role model.
f.        Monitoring – evaluasi.
g.       Refleksi.
h.       Mobilisasi
i.         Kelembagaan.

2.    Mengembangkan dan Mengelola Strategi Kompetisi Dengan Layanan Kesehatan Primer Lainnya
Puskesmas bukanlah satu-satunya pemberi layanan kesehatan primer (strata pertama). Di tengah-tengah masyarakat ada banyak pemberi layanan kesehatan primer lainnya yang langsung berhubungan dengan masyarakat, terutama untuk layanan UKP. Di tengah – tengah masyarakat ada dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, Balai Pengobatan dan Klinik swasta serta rumah sakit baik negeri atau swasta yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat layanan rujukan, tapi sering juga memberikan layanan langsung kepada masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat (memberi layanan primer). Belum lagi pengobat tradisional yang jumlah dan jenisnyanya makin meningkat serta mendapat legalisasi dari pemerintah.
Untuk menyikapi ini, karena Puskesmas bukan organisasi yang berorientasi pada keuntungan (not for profit), maka Puskesmas harus mampu mengembangkan strategi kompetisi yang sehat, agar layanan puskesmas mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Termasuk dalam hal ini puskesmas harus melakukan “social marketing” untuk memasarkan kegiatan-kegiatannya, terutama kegiatan layanan UKM yang biasanya tidak terlalu digarap serius oleh sektor swasta. Pelayanan UKM inilah yang sebenarnya merupakan keunggulan Puskesmas. Dengan jumlah dan jenis tenaga kesehatan yang memadai, seharusnya fungsi ini dapat dikembangkan. Dengan berkembangnya UKM, diharapkan menjadi pendukung  untuk pemasaran kegiatan UKP yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Beberapa kegiatan layanan dalam gedung Puskesmas juga memiliki keunggulan. Contohnya adalah kegiatan imunisasi dasar pada bayi. Dibandingkan layanan oleh swasta, Puskesmas memiliki rantai dingin (cold chain) untuk penyimpanan  vaksin yang standar yang tidak dimiliki oleh sebagian besar sektor swasta, pemakaian yang sering dan jumlah banyak memungkinkan vaksin di Puskesmas selalu baru. Biayanya juga lebih murah karena merupakan program pemerintah, sehingga pengadaan vaksin dan perlengkapannya mendapatkan subsidi. Tanggung jawab Puskesmas adalah mempertahankan standarisasi tersebut termasuk dalam tindakan pemberian vaksinnya. Ini adalah peluang baik yang dimiliki Puskesmas untuk berkompetisi dengan penyedia layanan primer lainnya.
Kurangnya upaya promosi untuk “memasarkan” Puskesmas inilah kemungkinan yang menyebabkan layanan Puskesmas tidak dikenal sehingga tidak diminati.
Disamping dengan sektor swasta, puskesmas juga harus berkompetisi dengan Puskesmas lainnya, terutama di wilayah-wilayah yang saling berbatasan. Untuk ini diharapkan akan ada upaya di tiap Puskesmas untuk meningkatkan mutu layanannya dan setiap Puskesmas diharapkan dapat mengembangkan kegiatan lokal spesifik sebagai ciri khas masing-masing Puskesmas untuk meningkatkan daya saing. 

REVITALISASI PUSKESMAS (8)


STRATEGI PENGEMBANGAN PUSKESMAS
Strategi pengembangan Puskesmas yang dilaksanakan, dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi Puskesmas untuk mengembangkan diri sesuai potensi masing-masing, yang tujuannya adalah peningkatan mutu layanan secara komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip strategi pengembangan Puskesmas.
Prinsip-prinsip strategi pengembangan Puskesmas tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pengelolaan Puskesmas dan menjadi salah satu agenda prioritas kegiatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Adapun pelaksanaan prinsi-prinsip strategi itu tetap berdasar pada tujuan keberadaan Puskesmas di tengah – tengah masyarakat sebagai ujung tombak pembangunan pilar pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat.
Prinsip-prinsip strategi pengembangan Puskesmas yang harus diperhatikan diantaranya adalah :
1.    Mengembangakan dan Mengelola Puskesmas Sebagai Pusat Pelaksana Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) Strata Pertama (Primer)
Sesuai fungsinya, Puskesmas merupakan lembaga yang bertanggungjawab menyelenggarakan layanan kesehatan strata (tingkat)  pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Layanan kesehatan tersebut meliputi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) sekaligus. 
Dalam UKP, tujuan utamanya adalah menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan. Layanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan rawat inap. Di UKP lebih ditekankan pada upaya medis teknis.
Sementara untuk UKM, tujuan kegiatan yang utama adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Layanan ini bersifat publik (public goods). Yang termasuk dalam layanan ini antara lain promosi kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat dan berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
Dua tujuan layanan ini apabila tidak dikelola dengan baik, akan timbul permasalahan di belakang hari. Kenyataan di lapangan membuktikan, bahwa semakin maju layanan UKP di dalam gedung Puskesmas, maka layanan UKM banyak yang terbengkalai. Dari permasalahan ini, sering muncul konsep untuk memisahkan antara dua jenis layanan tersebut dalam dua institusi yang berbeda. Contoh untuk pemisahan ini adalah Kabupaten Rembang, dimana untuk pelayanan UKP dan UKM benar-benar terpisah dalam dua lembaga yang berbeda. Ada kelebihan dan kekurangan metode ini. kelemahan yang pasti adalah terbentuknya lembaga baru yang tentunya akan memperbesar pembiayaan untuk penyediaan sumber dayanya.
Untuk kabupaten Banjarnegara, konsep pemisahan mutlak seperti ini mungkin belum mendesak, bahkan mungkin tidak perlu. Ini mengingat sumber daya yang dimiliki oleh Kabupaten sangat terbatas. Konsep yang mungkin lebih cocok dikembangkan adalah pemisahan pengelolaan UKP dan UKM, tetapi masih dalam satu institusi. Hanya pemisahan secara manajemen. Pemisahan ini lebih ditekankan pada reformasi organisasi atau restrukturisasi Puskesmas.  Ini penting sekaligus untuk redefinisi tentang Puskesmas dan tujuan yang hendak dicapainya. Konsep Puskesmas Terpadu mungkin perlu dipertimbangkan.

Sunday, November 13, 2011

PENELITIAN KUALITATIF (1)


A.    PARADIGMA KUALITATIF

Penelitian kualitatif sering disebut sebagai alternatif metodologi penelitian yang selama ini didominasi oleh positivisme-kuantitatif. Paradigma kualitatif masih saja disebut tidak valid dan para periset kualitatif lebih sering disebut sebagai wartawan daripada ilmuwan. Bahkan sering temuan dan kesimpulan studi kualitatif lebih disebut kritik daripada teori (Denzin & Lincoln, 1994). Hal ini tentunya sangat menggelisahkan peminat studi kualitatif, dan menjadi pertanyaan besar bagi mereka adalah “Bagaimana dapat menggambarkan makna yang valid dari data kualitatif?” (Miles dan Huberman, 1992).
Dalam perkembangannya, penelitian kualitatif sering disebut dengan berbagi istilah, misalnya “penelitian lapangan” (field research) yang berkembang dalam kajian sosiologi dan antropologi. Dalam psikologi dan pendidikan lazim digunakan istilah penelitian naturalistik. Selain itu ada yang menyebut dengan etnografi, studi kasus, interpretif, fenomenologi, dan lain – lain. Definisinya sangat lentur, baik oleh Denzin & Lincoln yang meyebutkan bahwa penelitian kualitatif sebagai kajian yang “ multimethod in focus, involving and interpretive, naturalistic approach to its subject matter”.
Secara mudah, penelitian kualitatif adalah penelitian yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan dan bukan dari laboratorium atau penelitian yang terkontrol.
2.      Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi alamiah.
3.      Adanya pengembangan dialogis sebagai situasi ilmiah.  
Karakteristik di atas masih akan menimbulkan berbagai pengertian dan interpretasi yang berbeda – beda. Menjembatani berbagai perbedaan tersebut maka pendekatan kualitatif didasarkan pada perspektif interpretif dan kritis. Dari dua perspektif tersebut, dapat dikemukakan beberapa ciri dari penelitian kualitatif, sebagai berikut :
1.    Studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry).
2.    Analisis deduktif.
3.    Kontak personal langsung dengan periset di lapangan.
4.    Perspektif holistik.
5.    Perspektif dinamis.
6.    Orientasi pada kasus unik.
7.    Netralitas empatik.
8.    Fleksibilitas design.
9.    Periset sebagai instrumen kunci.
Mengenai studi kasus, Robert E. Stake, membedakannya dalam tiga jenis, yaitu :
1.    Studi kasus intrinsik, yakni studi yang dilakukan karena suatu kasus yang menarik dan periset berupaya memahaminya secara lebih mendalam.
2.    Studi kasus instrumental, yakni studi kasus yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu masalah atau pembaruan suatu teori.
3.    Studi kasus kolektif atau studi kasus instrumental yang diperluas, yakni  studi atas sejumlah kasus yang dilakukan secara simultan guna memperoleh pemahaman yang lebih baik atas masalah tertentu. 

B.             PENGAMBILAN SAMPEL

Dalam penelitian kualitatif, istilah sampel tidak lazim digunakan. Istilah yang digunakan adalah kasus atau informan. Untuk selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman, akan digunakan istilah “subjek”. Karena karakter penelitian kualitatif yang “investigatif”, maka kualitas subjek penelitian lebih diutamakan daripada jumlah/kuantitasnya.
Secara umum, prosedur pengambilan subjek dalam studi kualitatif memiliki karakter sebagai berikut :
1.        Diarahkan pada kekhususan kasus (spesifik) sesuai dengan masalah penelitian.
2.        Tidak ditentukan secara kaku di awal penelitian, tapi bisa berubah sesuai pemahaman dan kebutuhan yang berkembang selama proses studi.
3.        Tidak diarahkan pada keterwakilan/representasi, melainkan pada kecocokan pada konteks (siapa dengan jenis informasi apa).
Pada pakteknya, sering terdapat beberapa variasi model purposif dan tidak digunakan secara tunggal.

C.             PENGUMPULAN DATA

Tehnik pengumpulan data yang lazim digunakan dalam studi kualitatif adalah observasi dan wawancara. Lebih spesifik lagi masing – masing tehnik yang lazim dilakukan itu disebut sebagai observasi melibat (participant observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview).

1. OBSERVASI
Ada dua prinsip pokok dalam observasi, yaitu :
1.      Observer kualitatif tidak boleh “mencampuri” urusan subjek penelitian.
2.      Observer kualitatif harus menjaga sisi alamiah dari subjek penelitian.
Observasi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu :
1.    Pemilihan setting.
2.    Memperoleh “ijin masuk” dalam setting.
3.    Pelatihan pengumpul data (bila dilakukan dalam tim).
4.    Mulai mengumpulkan data.
Dalam observasi melibat, perlu diperhatikan beberapa hal, yakni :
1.    Tingkat keterlibatan periset.
2.    Fokus yang diamati.
3.    Sikap periset.
4.    Lama pengamatan.
Dalam mengurangi bias interpretasi periset seputar hasil observasi, dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :
1.    Memperpanjang tempo pengamatan.
2.    Menggunakan observer jamak.
3.    Pemaparan laporan temuan studi dengan menggunakan verisimilitude, yaitu gaya tulisan yang mendekatkan pembaca kepada subjek yang ditulis. Untuk menghindari bias interpretasi periset, laporan ditulis dengan gaya deskriptif dan bukan interpretatif.

2.      WAWANCARA
Ada dua jenis wawancara, yaitu :
1.    Wawancara terstruktur, bahan wawancara disipkan secara ketat.
2.    Wawancara tak terstruktur, menghindari ketatnya struktur bahan.
Dikenal pula model wawancara kelompok (group interview) yang melahirkan model pengambilan data dengan tehnik focus group discussion. Ini merupakan perangkat wawancara yang dilakukan secara simultan terhadap sejumlah individu.
Wawancara berlangsung dari alur umum ke alur khusus. Periset dapat melakukan loncatan materi wawancara kepada responden yang secara natural memiliki informasi lebih banyak dan menjadi informan yang lebih penting.
Dari sisi struktur, wawancara dibedakan dalam empat model, yaitu :
1.      Wawancara alamiah-informal, yakni pertanyaan dikembangkan secara spontan selama terjadinya percakapan antara periset dan subjek.
2.      Wawancara dengan pedoman umum, yakni periset hanya menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disiapkan sesuai materi penelitian.
3.      Wawancara dengan pedoman terstandar terbuka, yakni digunakan bila wawancara melibatkan banyak pengumpul data, untuk membatasi variasi temuan yang mungkin muncul.
4.      Wawancara tidak langsung, yakni seperti nomer 3, yang karena suatu hal, tidak dapat dilakukan sendiri oleh periset.
Keempat model wawancara tersebut dapat dilakukan secara sendiri – sendiri maupun bersamaan dalam satu studi. Pokok – pokok wawancara biasanya berkenaan dengan tiga tema sentral, yaitu tingkah laku, sistem nilai dan perasaan subjek penelitian.  Pertanyaan sebaiknya berbentuk terbuka, netral, tidak mengarahkan. Istilah teknis sebaiknya dihindarkan.

Sumber :
1.    Agus Salim. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Edisi kedua. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2006.
2.    Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2009

Friday, November 11, 2011

HARI KESEHATAN NASIONAL KE-47 TAHUN 2011


Hari ini adalah Hari Kesehatan Nasional (HKN)! Hari Kesehatan Nasional diperingati tiap tanggal 12 November dan tahun 2011 ini adalah peringatan ke-47.  Sudah sangat lama. Tema Peringatan tahun ini adalah  “INDONESIA CINTA SEHAT”. Tema ini dipilih dalam rangka menggapai impian “INDONESIA SEHAT” yang didukung oleh tiga pilar, yaitu : Perilaku Sehat, Lingkungan Sehat dan Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas.
“Sehat memang bukan segalanya, tapi apabila tidak sehat segalanya menjadi tidak ada artinya”, merupakan kalimat yang sangat sering kita dengar dalam setiap peringatan HKN. Sebagaimana halnya kesembuhan dari sakit, untuk tetap sehat juga merupakan bentuk ikhtiar. Sesuatu yang hanya bisa diupayakan dan diperjuangkan. Dalam banyak hal, sehat ditentukan oleh perilaku manusia sendiri. Dan untuk menjaga tetap sehat diperlukan kerjasama dengan faktor eksternal yang kompleks, melibatkan multisektor.
Tapi baiklah, kita tidak perlu memikirkan tentang Pembangunan Kesehatan yang sangat multidimensi dan rumit itu. Yang sederhana saja, sudahkah kita menjadi pribadi (setidaknya berusaha) yang berperilaku hidup sehat? Sebagaimana diamanatkan dalam Undang – undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal (11) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan dan memajukan kesehatan setinggi – tingginya”.  Bagaimana perilaku sehat dan perilaku merusak kesehatan itu? Sudah terlalu sering diserukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Kita sudah sangat sering mendengarnya. Kenyataannya, masih banyak orang yang dzolim terhadap tubuhnya sendiri dari hak sehatnya dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Di lain pihak, perilaku kita bisa mempengaruhi kesehatan orang lain dan begitu juga sebaliknya.
Sudahkah kita berperilaku hidup sehat? Kalau belum, tidak ada kata terlambat. Mari kita mulai dari diri kita dan keluarga kita. Caranya? Mulailah menyehatkan mental kita terlebih dahulu dengan selalu berpikir positif. Kemudian lanjutkan dengan tidur lebih awal (paling lambat jam 11 malam) dan bagun lebih pagi (jangan lebih dari jam lima pagi). Penuhilah paru – paru kita dengan udara bersih dini hari. Sejukkan mata kita dengan hijauan daun dan warna – warni bunga. Biarkan kulit kita dihembus angin dan basah oleh embun. Gerakkan otot – otot kita. Ajaklah seluruh keluarga untuk ikut menikmati. Lakukan tanpa ketergesaan. Sesederhana itu? He.. he.. he.., siapa bilang sederhana? Coba saja lakukan dengan rutin….
Setelah itu, barulah kita berusaha meningkatkan diri dengan perilaku hidup sehat yang lebih rumit.
Yang pasti, Indonesia Sehat hanya akan bisa dicapai kalau individu – individunya sudah berperilaku hidup sehat. Tidak ada kata terlambat…
Selamat hari Kesehatan Nasional. Selamat menikmati hidup sehat! 

Banjarnegara, 12 November 2011

Saturday, November 5, 2011

DOKTER DAN DUNIANYA (2)


KOMPETENSI DOKTER : Bukan Sekedar Mengetahui Tentang Penyakit dan Pengelolaannya

Gb. Dokter dan profesi lain sebagai mitra.
Hari ini, Jum’at 4 November 2011. Aku sudah bersiap pulang ketika dua orang perempuan muncul dari balik pintu. Setelah kutanya keperluannya, ternyata mau mengurus Surat Ijin Praktek Dokter. Karena jam sudah menunjukan pukul 11.10 siang dan ruangan sudah sepi (hanya tinggal empat orang), kuminta dia datang besok dan karena saat itu kupikir petugas yang biasa mengurusi ijin sudah pulang. Ternyata belum pulang, sehingga kuminta untuk membantunya.
Sebagaimana lazimnya bila ada dokter yang belum aku kenal, aku bertanya – tanya kepada mereka tentang banyak hal. Namanya, alamatnya, lulusan dari mana, tahun berapa, mau praktik di mana dan sebagainya. Pertanyaan wajar dan standar saja, mengingat tugas pokok pembinaan praktek tenaga kesehatan ada di bidangku.
Satu hal yang membuatku terkejut adalah bagaimana salah satu dari dua dokter yang baru (lulusan akhir tahun 2010 dari sebuah PTS) itu berkomunikasi dengan cara yang menurutku tidak etis. Tanpa memandang kepada orang yang diajak bicara dan bersikap sangat sinis. Aku yang tadinya berniat membantu, akhirnya jengah dengan situasi tersebut. Aku hanya berpikir, beginikah seorang dokter berkomunikasi? Setidaknya aku membuktikan sendiri perkataan Ketua IDI Cabang Banjarnegara mengenai etika dokter baru yang saat ini sangat memprihatinkan. Lalu bagaimana mereka akan berkomunikasi terhadap pasien? Apakah mereka berpikir bahwa kompetensi dokter hanya terbatas pada pengetahuan dan ketrampilan mengenai penyakit dan tatakelolanya?
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter adalah profesi yang luhur dan mulia. Kemuliaan ini ditunjukkan dengan adanya 6 (enam) sifat dasar yang harus ada pada setiap dokter, yaitu :
1.    Sifat Ketuhanan.
2.    Kemurnian Niat.
3.    Keluhuran Budi.
4.    Kerendahan Hati.
5.    Kesungguhan Kerja.
6.    Integritas Ilmiah dan Sosial.
Berkenaan dengan hal – hal tersebut di atas, dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, setiap dokter harus bersandar pada kompetensi sebagai wujud profesionalitasnya. Standar kompetensi bagi seorang dokter telah diatur oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Menurut SK Mendiknas No. 045/U/2002 kompetensi adalah  seperangkat tindakan cerdas dan penuh  tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Dalam hal ini tentunya tugas – tugas sebagai seorang dokter. Dokter harus dapat melebur dan berperan  dalam pembangunan kesehatan serta menjadi ujung tombak Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) yang bersifat menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) dan berkesinambungan dan bekerjasama dengan profesi kesehatan lainnya.
        Untuk dapat melaksanakan tugas – tugas di atas dengan baik, seorang dokter perlu dibekali dengan standar kompetensi yang memadai dan ini harus dikuasai oleh dokter yang akan melaksanakan praktik kedokteran. Ada 7 (tujuh) area kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang dokter, yaitu :
1. Komunikasi efektif
2. Keterampilan Klinis
3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
4. Pengelolaan Masalah Kesehatan
5. Pengelolaan  Informasi
6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien
         Dari ketujuh area di atas dapat dipahami bahwa kompetensi dokter bukanlah terbatas pada kemampuan dokter mengetahui tentang penyakit dan pengelolaannya saja, tapi lebih luas dari itu. dokter harus mampu mengembangkan aspek sosial pergaulannya secara positif melalui komunikasi yang efektif. Bagaimana komunikasi efektif itu dijabarkan dalam komponen kompetensi dengan lengkap. Dan sepertinya banyak dokter lupa tentang hal ini. Hal ini dapatlah dimengerti akan terasa aneh jika seorang dokter tidak mengenal satu sama lain dalam lingkup oganisasi profesi yang diikutinya. 
        Setidak – tidaknya IDI sebagai wadah profesi para dokter dapat mengingatkan mengenai ranah kompetensi yang harus dikuasai seorang dokter apabila mereka akan melakukan praktik kedokteran. Merupakan kewajiban IDI untuk mengajarkan bagaimana para dokter berkomunikasi dengan kolega dan pasiennya, serta petugas kesehatan lainnya. 

Sumber : Standar Kompetensi Dokter

DOKTER DAN DUNIANYA (1)


PAPAN NAMA PRAKTIK DOKTER, Adakah Standar-nya?

Selama ini kita melihat bahwa papan nama praktik dokter adalah papan nama dengan bentuk yang sederhana. Papan warna putih dengan tulisan berwarna hitam yang menginformasikan tentang nama dokter dan jam prakteknya. Itu juga yang tergambar dalam benak masyarakat kita bila mencari papan nama praktik seorang dokter. Nyaris semuanya sama.
Tapi akhir – akhir ini, beberapa kali kita lihat papan nama praktik dokter yang mulai berubah. Ada yang tidak lagi berwarna dasar putih dan tulisannya pun bervariasi. Ada yang berwarna hijau bahkan merah. Ada yang sangat besar dan mencolok, bahkan dibuat seperti neon box untuk iklan. Apakah itu dilarang?
Dalam Undang – undang praktik kedokteran, tidak disebutkan mengenai standar papan nama untuk praktik ini. Di sana hanya disebutkan bahwa dokter wajib memasang papan nama praktik dan bila tidak dapat dikenai sanksi. Hal ini berlaku untuk dokter yang melakukan praktik profesi kedokteran. Bagi dokter yang tidak praktik, kewajiban ini tentu saja tidak berlaku.
Lalu di mana ada aturan mengenai papan nama praktik dokter itu? peraturan itu tertuang dalam Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 221/PB/A.4/2002 tentang Penerapan Kode Etik kedokteran Indonesia. Dalam Kewajiban Umum Pasal 4 dikatakan “Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang memuji diri”. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, sebagai pedoman tehnis pelaksanaan pasal 4 tersebut di atas, Salah satunya adalah bahwa dokter tidak boleh mengiklankan dirinya. Ini bukan berarti bahwa dokter tidak boleh memasang iklan atau memasang papan nama, tapi diatur pelaksanaannya.
Pada awal prakteknya, dokter diperkenankan memasang iklan di surat kabar dengan ukuran maksimal dua kolom kali lima baris. Dalam iklan tersebut harus dicantumkan nama dokter dengan gelarnya yang sah, jenis pelayanannya (dokter umum, spesialis), SIP, jam bicara, alamat praktik dan nomor telepon. Tidak boleh mengiklankan metode penyembuhan dan berbagai hal yang menjurus pada tindakan menonjolkan diri/memuji diri. Pemasangan iklan boleh diulang bila dokter akan menutup prakteknya, atau akan membuka kembali.
Kembali pada papan nama, dokter boleh menggantungkan papan nama di ruang praktiknya dengan ketentuan papan nama tersebut berukuran 40 cm X 60 cm dan maksimal 60 cm X 90 cm dengan warna dasar cat putih dengan tulisan huruf hitam. Dicantumkan juga gelar yang sah, jenis pelayanan yang sesuai dengan Surat Ijin Praktek. Tidak boleh dihiasi warna dan penerangan yang bersifat iklan. Tidak dibenarkan mencantumkan tulisan – tulisan seperti “praktik umum terutama untuk anak – anak dan wanita”, “tersedia pemeriksaan dengan penyinaran”, dan lain – lain yang sejenis.
Pemasangan papan nama di persimpangan jalan masih diperbolehkan sepanjang papan nama yang dipasang memenuhi syarat. Pemasangan disertai dengan tanda panah menuju tempat praktik. Pemasangan ini boleh sepanjang dengan alasan memudahkan mencari alamat.
Begitu juga yang berlaku di kertas resep, surat keterangan dokter, amplop, kuitansi dokter. Yang boleh dicantumkan adalah apa yang boleh dicantumkan di papan nama dokter. Untuk kertas resep ukuran maksimal ¼ folio (10,5 cm X 16,5 cm).
Saat ini banyak kita lihat papan nama, kertas resep dan lain – lain dari perlengkapan praktik dokter yang mencantumkan nama obat/perusahaan tertentu sebagai sponsor. Hal ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan kode etik.
Demikian agar rekan sejawat dokter dapat mengetahui dan papan nama dokter yang sederhana adalah cerminan dari salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang dokter, yaitu kerendahan hati.

Sumber : Kode Etik Kedokteran Indonesia

Thursday, November 3, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (7)

PUSKESMAS KELILING YANG BERUBAH FUNGSI

Salah satu jaringan Puskesmas untuk memperluas jangkauan pelayanannya adalah Puskesmas Keliling. Puskesmas Keliling merupakan Unit bergerak milik Puskesmas yang di banyak Puskesmas unit ini berupa mobil Puskesmas Keliling. Sebagai jaringan Puskesmas, maka kegiatan Puskesmas Keliling ini juga mengacu pada kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas induknya, yaitu meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Kegiatan tersebut dalam rangka menunjang fungsi – fungsi Puskesmas secara keseluruhan. Unit Puskesmas Keliling ini terdiri dari Tim. Bisa dibantu kendaraan roda dua, roda empat atau bahkan perahu di tempat – tempat tertentu di Indonesia.
Saat ini, unit Puskesmas Keliling lebih banyak melakukan kegiatan kuratif daripada kegiatan Puskesmas lainnya. Bila ada kegiatan Puskesmas Keliling di suatu tempat, maka yang muncul pertama kali di benak kita adalah kegiatan pengobatan massal di luar gedung Puskesmas. Masyarakat datang berbondong – bondong untuk berobat. Padahal pengobatan bukanlah kegiatan utama Puskesmas. Sehingga dari sini muncul kerancuan bahkan perubahan fungsi dari Unit Puskesmas Keliling ini menjadi Unit Pengobatan Keliling, tidak jauh beda dari penyimpangan fungsi kegiatan Puskesmas pada umumnya. Bahkan di banyak Puskesmas, mobil Unit Puskesmas Keliling banyak yang berubah fungsi menjadi ambulans, bahkan mobil jenazah!
Atas dasar itulah, perlu dikembalikan lagi fungsi Unit Puskesmas Keliling ini ke asalnya. Mengingat bahwa kegiatan Unit Puskesmas Keliling ini meliputi seluruh upaya kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas, maka Unit ini perlu dilengkapi dengan sarana yang mendukung. Selain petugas yang mampu melakukan pelayanan komprehensif, berbagai media promotif dan peralatan preventif mestinya dilengkapi selain untuk kegiatan pengobatan itu sendiri. Sehingga, bisa jadi sebuah kendaraan Unit Puskesmas Keliling juga dilengkapi dengan media penyuluhan, seperti LCD proyektor dengan laptopnya, sanitarian kit sampai diagnostik set sederhana dan obat – obatan. Jadi, perlengkapannya akan sangat berbesa sekali dengan ambulans atau ambulans jenazah. Dan Unit ini perlu disosialisasikan penggunaannya pada petugas Puskesmas dan masyarakat, sehingga ke depan penyimpangan tujuan dan fungsi Unit Puskesmas Keliling ini tidak terjadi lagi. Bukan lagi hanya mengerjakan kegiatan kuratif dan akhirnya akan menjadi Unit Pengobatan Keliling.   

Tuesday, November 1, 2011

Aerosmith - I Don't Wanna Miss a Thing

REVITALISASI PUSKESMAS (6)

APA YANG DIMAKSUD DENGAN JARINGAN PUSKESMAS?

Gb. Pembekalan Bidan PTT sebagai Bidan di Desa
yang merupakan jaringan Pelayanan Puskesmas
     Dalam tujuan awal didirikannya Puskesmas adalah untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kenyataannya, dalam suatu wilayah tidak akan sama permasalahan yang dihadapi. Apabila mengambil satu wilayah kerja Puskesmas adalah Kecamatan, tiap Kecamatan memiliki luas dan jumlah penduduk yang penyebarannya berbeda – beda, juga kondisi geografisnya. Ada Puskesmas yang wilayahnya mudah dijangkau dan ada yang sulit. Padahal kewajiban Puskesmas adalah memberikan pelayanan yang menjangkau seluruh wilayah, tanpa kecuali. Untuk wilayah yang sulit dijangkau, di sinilah diperlukan jaringan Puskesmas untuk menjangkau sampai ke seluruh wilayah.
         Lalu apakah yang dimaksud dengan jaringan Puskesmas itu? selama ini dalam berbagai tulisan sering disebutkan bahwa jaringan Puskesmas meliputi Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Poskesdes, Posyandu, dan lain – lain. Dalam tulisan sebelumnya, penulis juga masih menuliskannya demikian. Benarkah?
Dalam Petunjuk Pelaksanaan Puskesmas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan jaringan Puskesmas adalah  Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan Bidan di Desa (bukan Poskesdes/Polindes/PKD). Jaringan inilah yang diharapkan menjadi tangan panjang Puskesmas dalam melakukan pelayanan kesehatan masyarakat (bukan hanya perorangan) di seluruh wilayah Puskesmas. Disamping itu, untuk meluaskan jangkauan pelayanan, Puskesmas diharapkan dapat membina jaringan dengan pelayanan kesehatan strata pertama lainnya, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta sebagai mitra. Puskesmas juga harus mampu membuat jaringan dan kerjasama yang erat dengan berbagai tempat pelayanan kesehatan rujukan dalam koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Di masyarakat, kita mengenal jenis – jenis Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM). UKBM ini diselenggarakan oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat. Contoh UKBM ini adalah Poskesdes/Polindes/PKD, Posyandu, Bina Keluarga, UKS/UKGS, Kadarzi, Saka Bhakti Husada, Poskestren, Pos UKK, Desa Siaga, Toga, Battra, Tabulin, Pokmair, dan lain – lain. UKBM ini bukan jaringan pelayanan Puskesmas, tapi mereka “dirangkul” oleh Puskesmas agar dapat digunakan sebagai mitra dalam penyampaian program – program kesehatan yang mengutamakan kemandirian dan pemberdayaan masyarakat. Terhadap UKBM ini, kedudukan Puskesmas adalah sebagai pembina yang melaksanakan bimbingan teknis, pemberdayaan dan rujukan sesuai kebutuhan.
Jadi jelas di sini bahwa jaringan Puskesmas untuk memperluas jangkauan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan adalah Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan Bidan di Desa. Ketiga jaringan ini langsung di bawah tanggung jawab Puskesmas dan melaksanakan fungsi – fungsi Puskesmas dalam lingkup yang lebih kecil. Sehingga ke depan, diharapkan tidak ada lagi perdebatan mengenai jaringan Puskesmas ini. Dan sebagai pembina UKBM, agar Puskesmas dapat bekerjasama dengan lintas sektoral sebagai leading UKBM tersebut. Pembinaan dilakukan bersama – sama, berkesinambungan, sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya, di bawah koordinasi pemimpin wilayah setempat. 

Monday, October 24, 2011

REVITALISASI PUSKESMAS (5)

STRUKTUR ORGANISASI PUSKESMAS : Perlunya Revitalisasi Fungsi Orang Kedua (Second Person)

          Sebelum membicarakan struktur organisasi, sebaiknya yang dibahas terlebih dahulu adalah Kegiatan Puskesmas. Hal tersebut dikarenakan, struktur organisasi dibentuk untuk mewadahi berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Bisa jadi antara Puskesmas satu dengan Puskesmas lainnya akan sangat berbeda, sesuai dengan kegiatan dan beban kerja Puskesmas.
         Dalam Buku Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, telah diberikan pola struktur organisasi Puskesmas yang dapat dijadikan acuan, yang terdiri dari : Kepala Puskesmas, Tata Usaha, Unit Pelaksana Teknis Fungsional dan Jaringan Pelayanan Puskesmas. Struktur tersebut tidak mengikat, dan masing – masing Kabupaten/Kota dapat menyusun sesuai kebutuhannya dengan tetap memperhatikan fungsi – fungsi dan tujuan dari dibentuknya Puskesmas.
           Dalam bab ini, tidak akan dibahas mengenai struktur organisasi ideal yang seharusnya dimiliki oleh Puskesmas, tapi akan dibahas mengenai beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan struktur organisasi Puskesmas. Hal – hal tersebut diantaranya, adalah :
1.    Struktur yang dibentuk hendaknya memperhatikan kegiatan, beban kerja dan tanggung jawab masing – masing Puskesmas. Jadi, bisa berbeda antar Puskesmas satu dengan lainnya. Selama ini kita mengenal struktur organisasi linear untuk Puskesmas secara umum. Pada Puskesmas tertentu, misalnya Puskesmas dengan rawai inap, organisasi linear mungkin akan menyulitkan, karena benar – benar akan memisahkan antara kegiatan dalam gedung dan luar gedung, walaupun masih ada garis koordinasi. Padahal, kedua kegiatan ini hendaknya saling mendukung.
Disamping itu, keterbatasan jumlah tenaga di Puskesmas juga akan menyulitkan bila struktur linear masih dipertahankan. Dalam hal ini, mungkin struktur organisasi matriks lebih memungkinkan. Struktur ini akan lebih fleksibel dalam mengefisienkan tenaga yang tersedia.
2.    Syarat personil yang menduduki struktur organisasi. Kepala Puskesmas. Dalam Keputusan Menteri nomor 128/ 2004, disebutkan bahwa syarat Kepala Puskesmas adalah sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Hal tersebut masuk akal karena kegiatan Puskesmas sebagian besar adalah kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Tapi tidak boleh dilupakan bahwa Puskesmas adalah pelaksana kegiatan komprehensif yang tidak mengkotak – kotakkan antara pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan. Dua kegiatan yang saling mendukung dan berkaitan satu sama lain. Ada keputusan yang diambil berdasar surveylans epidemiologi maupun situasi medis. Sehingga, sosok Kepala Puskesmas di sini diharapkan orang yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan kesehatan masyarakat, tapi juga mengetahui tentang penyakit dan medis tehnis. Sehingga dapat ditegaskan bahwa untuk menjadi Kepala Puskesmas diharapkan adalah seorang dokter atau sarjana kesehatan masyarakat yang memiliki latar belakang kegiatan teknis medis dan ilmu penyakit, misalnya perawat. Perawat di sini diharapkan memiliki pendidikan lanjutan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Khusus untuk Puskesmas rawat inap, di mana terdapat pengambilan keputusan terhadap suatu masalah berlatang belakang medis tehnis serta mungkin menjadi rujukan untuk Puskesmas lain di sekitarnya, maka dokter lebih tepat untuk menjadi Kepala Puskesmas.
3.    Revitalisasi orang kedua Puskesmas. Pada manajemen Puskesmas di awal berdirinya, kita mengenal orang kedua. Tidak disebutkan apakah orang kedua ini wakil Kepala Puskesmas atau tidak, tapi dia memegang peran penting untuk membantu Kepala Puskesmas dalam mengelola Puskesmas. Orang kedua ini juga dibekali dengan pelatihan manajemen Puskesmas untuk orang kedua.
Entah sejak kapan, orang kedua ini menghilang, yang jelas saat ini tidak pernah terdengar lagi. Mereka yang dulu mendapat pelatihan sebagai orang kedua juga sudah banyak yang pensiun. Ketidakberadaan orang kedua ini yang menyebabkan banyak kepemimpinan Kepala Puskesmas menjadi dominan. Hal ini sering berefek kurang baik dalam suatu organisasi bila Kepala Puskesmas terlalu dominan. Fungsi orang kedua ini memang diharapkan mampu menjadi mitra Kepala Puskesmas dalam menyelesaikan beban kerja di Puskesmas.
Memang saat ini ada Kepala Tata Usaha. Tapi Kepala Tata Usaha ini sebagian besar tidak menjalankan fungsinya sebagai orang kedua, karena mereka memang tidak dipersiapkan untuk itu. Mereka lebih banyak dibebani dengan tugas administrasi. Sehingga Kepala Tata Usaha ini banyak  diambilkan dari instansi lain yang bukan berlatar belakang kesehatan.
Sebenarnya, sangat mungkin Kepala Tata Usaha ini menjadi orang kedua di Puskesmas. Tapi, karena menjadi orang kedua, mereka harus memahami tentang kesehatan. jadi, alangkah baiknya bila orang kedua ini juga merupakan jabatan karir dan personilnya berlatar belakang kesehatan.
Orang kedua ini juga berperan dalam perencanaan dan evaluasi di tingkat Puskesmas. Untuk itu seharusnya mereka memiliki kemampuan surveylans yang memadai, disamping kemampuan manajemen serta kepemimpinan. Orang kedua ini bukan saingan Kepala Puskesmas, tapi merupakan mitra kerja untuk membagi beban dan tanggung jawab pengelolaan Puskesmas.
4.    Koordinator pada Unit Pelaksana Fungsional Puskesmas. Apabila Puskesmas memiliki jaringan yang berbentuk UPF, maka koordinator di UPF ini sebaiknya pejabat fungsional dan bukan struktural. Ini untuk mengefisienkan kinerja agar lebih tepat sasaran. Juga agar tidak terlalu membebani struktur Puskesmas. Mereka bertanggung jawab kepada Kepala Puskesmas.
Dalam praktek, tentunya tidak semudah teori. Struktur organisasi Puskesmas yang ada selama ini mungkin perlu direvisi agar lebih sederhana, tapi mampu mengemban semua fungsi.  Tapi tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin kan?

Dari berbagai sumber.