Saturday, April 28, 2012

BAHASA POLITIK VS BAHASA KALBU, MANA YANG KITA PILIH?


Bahasa dan politik, jelas merupakan dua hal yang berbeda. Bahasa secara harfiah adalah bunyi – bunyian yang memiliki makna yang keluar dari mulut manusia. Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat kominikasi. Dengan bahasa manusia berinteraksi, bekerjasama dan bahasa juga bisa menjadi simbol identitas diri seseorang. Sedangkan politik berasal dari bahasa Yunani, Polis, yang artinya negara kota. Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Aristoteles mendefinisikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik). Akhirnya, dari berbagai definisi yang ada, diupayakan suatu penggabungan untuk mendefinisikan politik sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Sehingga dapat dimengerti bahwa sebenarnya arti dari politik adalah sesuatu yang positif. Tapi dewasa ini, politik telah diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan (baca : kekuasaan), dengan menghalalkan segala cara. Politik telah mengalami peyorasi karena perilaku dari para oknum pelakunya. Lalu bagaimana bila kedua kata itu digabungkan?
Dalam politik, fungsi bahasa direduksi sebagai alat yang sebatas untuk mengekspresikan kekuasaan. Bahasa politik adalah alat untuk mempengaruhi sehingga penuh eufimisme, jargon dan retorika. Penggunaan eufimisme (penghalusan bahasa) akan memberikan kesan bahwa seolah – olah segalanya terlihat baik, berkesan positif dibandingkan realita sesungguhnya. Eufimisme dan retorika bahasa digunakan untuk membungkus tindakan penguasa agar terlihat baik dan beradab, namun penggunaan bahasa ini justru akan membuat bahasa mengalami distorsi makna yang jauh menyimpang dari arti yang sebenarnya. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan mengalami penyesatan yang luar biasa. Banyak contoh mengenai ini. Misalnya, “tolong agar bisa dibantu” bisa berarti “harus bisa, bagaimanapun caranya”, “anda harus memahami bahasa kami” bisa berarti “anda harus menuruti kehendak saya!” dan lain – lain. Istilah “mengamankan, menertibkan, menjaga stabilitas” sering digunakan untuk “menculik, membunuh, memenjarakan” orang – orang yang berseberangan dengan penguasa. Dengan kata lain bahwa bahasa politik sebenarnya adalah bahasa yang digunakan sebagai alat politik.
Kalbu, dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian sebagai sesuatu yang berasal dari hati/nurani. Berasal dari bahasa Arab, Qolb, yang kemudian di-indonesiakan menjadi kalbu. Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan pengertian Qolb, salah satunya adalah bahwa Qolb adalah suatu organ tubuh yang terletak di dada manusia sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan keburukan. Pendapat ini dalam Islam didukung oleh Al- Qur’an Surat Al-Hajj ayat 46. Oleh karena itu Qolb selalu berbolak – balik dan bergejolak. Qalb atau selanjutnya kita sebut kalbu bukan sekedar sebongkah hati yang hanya bisa merasa. Kalbu adalah tempat “bersarangnya” pikiran (mind), jiwa (soul) dan ruh (spirit). Kalbu inilah yang membuat manusia mampu berpikir, membuat rencana – rencana, mengolah apa yang diterima indra, mampu menyelesaikan masalahnya, memiliki kendali terhadap perilaku dan dorongan akibat interaksinya dengan manusia lain dan kalbu inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan kalbu inilah manusia diharapkan mampu membuat kebaikan – kebaikan baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Jadi, bahasa kalbu adalah bahasa yang berasal dari hati/nurani yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menolak segala keburukan yang disadari. Merupakan hasil olah pikir, jiwa dan perasaan untuk mengemukakan kebenaran dengan cara – cara yang benar.
Kembali ke bahasa politik, bahasa menjadi tidak bermakna karena tidak keluar dari hati (baca : kalbu). Bahasa sebagai alat politik juga keluar dari mulut manusia – manusia yang suka berjanji tanpa ada niat untuk menepati. Hanya sebagai pemanis bibir saja. Hal ini banyak terlihat saat musim kampanye. Kampanye apapun yang intinya adalah untuk memperoleh kekuasaan. Janji – janji manis yang keluar tanpa diolah dari kalbu akan berhamburan dan semua hanya tinggal janji bila musim pemilihan berakhir.  Bahasa sebagai alat kekuasaan juga bisa berupa nasehat – nasehat bijaksana yang justru dilanggar sendiri oleh para pemberi nasehat. Contoh : dalam masa sulit ini, penguasa meminta rakyat untuk berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. Tapi pada kenyataannya, para penguasa justru hidup bermewah – mewahan, menuntut fasilitas mahal, sarana kelas satu yang jelas menghambur – hamburkan uang. Belum lagi pameran gaya hidup hedonis para penguasa yang jelas tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Bahasa sebagai alat politik juga bisa jatuh nilainya karena digunakan untuk mengumpat, mencela, mencaci – maki dan menjelek – jelekkan lawan politiknya dengan tujuan untuk menjatuhkannya. Ini hampir setiap hari dengan mudah kita saksikan di televisi sebagai tayangan yang digemari (?).
Lalu adakah bahasa yang mampu menyampaikan pesan – pesan kepada pendengarnya, bukan hanya sampai di telinga tapi juga sampai ke hatinya? Kalau kita mau jujur, bahasa kalbu-lah jawabannya. Tapi di jaman serba pragmatis dengan gaya hidup materialistis seperti saat ini, bahasa kalbu seperti tergilas. Para penggunanya sering dianggap sebagai orang yang “berseberangan” dan “tidak loyal” kepada penguasa yang menggunakan bahasa (sebagai alat) politik. Terutama bagi mereka yang berada dalam sistem pemerintahan. Saya yakin, masih banyak yang menggunakan bahasa kalbu dalam pengambilan kebijakan atau keputusan – keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Apa yang mereka katakan berasala dari dalam hatinya, bermakna mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Mereka adalah orang – orang yang memiliki integritas dan kredibilitas. Antara perilaku dan perkataannya selalu ada kesesuaian. Mereka tak akan menjanjikan sesuatu yang mereka tahu tak akan mampu dipenuhi.
Tapi orang – orang yang berbicara dengan bahasa kalbu ini minoritas, mereka dianggap sebagai orang – orang yang “berani” menentang arus dengan segala resikonya. Terutama bagi para pejabat pemerintahan. Karir yang terhambat, “kehilangan” jabatan, pengucilan, caci – maki bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwa diri maupun lingkungannya merupakan konsekuensi yang bisa terjadi. Sehingga akhirnya, banyak yang terjebak untuk mengikuti arus dengan mengakomodasi bahasa politik dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Bila sudah begini, kapan sistem akan diperbaiki?
Memang merupakan dilema, mana yang harus dipilih, bahasa politik atau bahasa kalbu. Tapi bila kita ingat bahwa segala yang kita katakan atau lakukan kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan “Sang Pemberi Amanah”, masihkan kita berpikir untuk mengakomodasi bahasa politik? Wallahu’alam.
NB : berharap ada masukan dan saran (CMIIW)

1 comment:

  1. Terimakasih atas penjelasanny mengenai bahasa politik dan bahasa kalbu yg begitu jelas dan meresap kedalam hati.Salam dari sayaH,Nurdin Suardi

    ReplyDelete