Sunday, May 1, 2011

IMO : MENGABDI TAPI MINTA BAYARAN


Hari ini saat apel pagi, tidak seperti biasanya pembina apel memberikan amanat yang cukup panjang. Ternyata belaiau menyampaikan sambutannya untuk seorang karyawan yang mulai tanggal 1 Mei 2011 memasuki masa purna tugas alias pensiun. Hal yang sangat didambakan oleh setiap karyawan. Memasuki masa pensiun tanpa ada masalah yang ditinggalkan. Di tengah keharuan yang menuju puncak karena akan “kehilangan” seorang rekan kerja dengan reputasi cukup baik, terasa ada yang mengganjal di hati ketika pembina apel mengatakan bahwa yang bersangkutan telah mengabdi selama 35 tahun. Maksudnya mengabdi sebagai Pegawai  Negeri sipil (PNS).

Mengabdi? Sebuah kata yang mengusik hatiku dan membuatku agak gerah di pagi yang sejuk itu. Tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormatku pada beliau, menurutku penggunaan kata mengabdi dalam hal ini tidaklah tepat. Walaupun dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia, mengabdi yang berasal dari kata abdi dapat diartikan sebagai pegawai, orang yang bekerja untuk orang lain, melayani orang lain. Tapi dalam benakku, mengabdi mengandung pengertian sebagai orang yang menghambakan dirinya dengan sungguh-sungguh terhadap sesuatu atau pekerjaan dan tidak mengharapkan imbalan berupa bayaran yang juga bisa disebut upahnya mengabdi. Orang yang mengabdi adalah orang yang menghambakan dirinya untuk pelayanan. Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah mereka yang bekerja kepada pemerintah dan berharap untuk dibayar. Walaupun PNS sering didengung-dengungkan sebagai abdi negara, tapi penggunaan kata mengabdi untuk menyebut masa kerja bagi PNS menurutku kuranglah tepat.
Ada yang berkomentar, “Lebay amat sih lo? Emang kenapa? Usil banget ngurusin kayak gituan. Mbok biarin aja.... Hitung-hitung sebagai penghormatan pada yang bersangkutan.”
Lebay? Berlebihan? Mungkin saja. Bahkan menurutku, pendapatku tentang penggunaan kata mengabdi yang tidak tepat itu agak sinisme dan malah mungkin sarkastik. Aku menyebut demikian bukan tanpa alasan. Bukankah selama menjalankan tugasnya, para PNS itu mendapat gaji? Selain itu juga menikmati berbagai fasilitas tunjangan seperti tunjangan kesehatan, anak, istri/suami, beras, fungsional atau struktural bagi yang memegang jabatan tertentu. Dan selama mereka bekerja, sudahkah mereka memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk pekerjaannya? Sudahkah mereka menghambakan dirinya untuk melayani masyarakat sesuai semboyan PNS di negeri ini? Pelayan Masyarakat. Kupikir masih banyak yang jawabannya tidak. Dan aku mungkin termasuk diantaranya.
Kata mengabdi ini juga sering dimanfaatkan oleh sementara PNS untuk memperoleh kebijaksanaan yang pada hakekatnya adalah penyimpangan terhadap peraturan, untuk kesalahan yang mereka lakukan.
“Karena sudah mengabdi sekian lama, kasihan sedikitlah padanya, kita maafkan saja. Yang penting ......”. Begitu alasan yang sering terdengar dikemukakan oleh seorang atasan bila akan menjatuhkan punishment terhadap PNS. Huaaahhhhh....!!! Kalau mau kasihan, seharusnya kasihan pada mereka yang sudah mengikuti peraturan.
Jadi, sekali lagi tanpa bermaksud melecehkan, akan lebih tepat bila digunakan kalimat bahwa yang bersangkutan telah bekerja selama 35 tahun dan bukan mengabdi selama 35 tahun. Karena selama 35 tahun itu yang bersangkutan mendapatkan gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya yang diberika oleh pemerintah secara penuh. Karena seandainya menjadi PNS adalah pengabdian, tidak ada imbalan berupa bayaran atau upah bekerja yang layak, niscaya setiap ada rekruitmen CPNS baru, tidaklah akan diminati oleh ribuan orang. Dimana di antara ribuan orang itu bahkan rela menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan formasi yang jumlahnya hanya puluhan atau ratusan saja.
Mengabdi tapi minta bayaran.....

Banjarnegara, Sabtu, 30 April 2011

2 comments:

  1. Tapi anda katakan bahwa punishment juga diberlakukan. Tentu ada timbal balik, kalo ada punishment konsekuensinya adalah ada reward. Begitu sebaliknya. So...godong mlinjo. Kata "mengabdi" untuk memperhalus suatu kinerja 'abdi' thd "Tuan"-nya. Siapa 'tuan" tsb ? ya pemerintah dg segala kebijakan dan peraturan yg diberlakukan termsk indoktrinasi. Tks.

    ReplyDelete
  2. sebenarnya reward dan punishment untuk PNS itu sudah jelas dan ada aturannya, hamya pelaksanaannya yang masih perlu dipertanyakan. contoh, DP3 untuk sistem penilaian sering hy merupakan formalitas, bila ada nilai turun, justru atasan yg memberi nilai turun itu yang "teancam" jelek DP3-nya.
    juga aturan kenaikan pangkat yang seharusnya merupaka penghargaan, oleh sebagian besar PNS masih diatrikan sebagai "hak" yg hrs diterima setelah bekerja dalam kurun waktu tertentu.
    sama seperti kata "mengabdi" juga sering disalah gunakan sebagian oknum untuk menuntut sesuatu yang sering bukan haknya, bila dibandingkan dengan kewajiban yang seharusnya dilakukannya
    mbokmenawi mekaten.. :)

    ReplyDelete