Wednesday, April 20, 2011

IMO : “BELI AMOKSISILINNYA LIMA BIJI AJA...”

                Setelah memarkir kendaraan, aku dengan segera masuk ke sebuah apotik di dekat kantorku. Ada obat yang harus kubeli sehubungan dengan sakitku yang belum juga sembuh. Radang tenggorokan yang sudah lebih dari empat hari dan sepertinya membutuhkan antibiotika. Oops! Aku lupa membawa blangko resep untuk menulis obat yang aku butuhkan.
Di depan etalase obat di dalam apotik aku ragu-ragu. Antara melanjutkan untuk membeli obat dan pulang mengambil blangko resep terlebih dahulu. Akhirnya kuputuskan untuk tetap membeli. Biasanya apotek sudah menyediakan blangko resep bila dibutuhkan. Dan aku bisa meminta untuk menuliskan obat pesananku bila mereka membutuhkan resep obat untuk obat yang akan aku beli. Sebagi seorang dokter, aku kadang meminta blangko resep di apotik apabila obat yang akan aku beli harus dengan resep dokter. Tapi seringnya aku sudah menyiapkan resep dari rumah.
           Di depan petugas apotek, yang setelah kutanya bukan apoteker apotik tersebut, aku menyebutkan obat pesananku. Antibiotika, anti radang dan suplemen. Ajaib! Tanpa ditanyakan resepnya, petugas langsung mengiyakan dan mulai mempersiapkan obat yang aku maksud. Aku masih berpikir, barangkali setelah obat selesai disiapkan, resep baru ditanyakan. Aku menunggu dengan berdiri di depan etalase.
          Saat aku menunggu, masuk seorang laki-laki dan perempuan ke dalam apotik. Mungkin pasangan suami istri. Sang istri tempak kusut terbalut jaket tebal. Sepertinya demam. Dia juga terbatuk-batuk. Batuk yang sangat berdahak. Sang suami mendekati etalase. Seorang petugas apotek menyambutnya.
           “Ada apa, pak?” tanyanya seramah mungkin.
        “Istri saya sudah lima hari panas, batuk dan pilek. Mau beli obat yang manjur,” kata sang bapak sambil menunjuk istrinya yang duduk terbatuk-batuk di kursi tunggu.
           “Oh ya, sebentar ya?” petugas masuk ke ruang dalam.
Tak lama kemudian dia keluar dengan membawa obat batuk syrup satu botol. Sepertinya untuk pengencer dahak dan dua blister obat yang aku tak begitu jelas. Petugas menyerahkan obat tersebut sambil menjelaskan aturan penggunannya dan si bapak menerimanya.
“Tidak ada amoksisilinnya, mbak?” tanya si bapak.
“Bapak mau beli amoksisilinnya sekalian?”  petugas apotik balik bertanya.
“Iya. Nanti tidak sembuh. Amoksisilinnya lima biji aja ya, mbak?”
Si petugas menyerahkan pesanannya. Aku belum sempat berkata apa-apa mereka telah pergi.
Aku terpana melihat adegan itu. Sampai tidak sadar petugas apotik menungguku untuk menerima pesananku. Ada rasa bersalah dalam hati, kenapa aku tak mencegah hal itu terjadi.  Sambil membayar aku bertanya-tanya sedikit dengan petugas apotek yang melayaniku. Hal demikian sudah biasa. Di semua apotik di kota ini. Bukankah sudah ada aturannya bahwa obat keras harus dengan resep dokter? Tapi kenapa bisa lolos begitu saja? Termasuk antibiotika satu kir yang kini ada di tanganku.
      Betapa ternyata harus disadari, bahwa apotik telah menjadi salah satu tempat masyarakat mendapatkan pelayanan pengobatan tingkat pertama. Ini harus ditegaskan agar apotik bisa memberikan pelayanan farmasi secara benar. Aturan yang mewajibkan apoteker harus berada di tempat selama apotik buka, ternyata belum sepenuhnya dijalankan. Konseling yang seharusnya diberikan oleh apotekerpun juga belum dilakukan. Akhirnya yang akan dirugikan adalah masyrakat yang tidak tahu. Apa jadinya bila mereka mengkonsumsi obat tanpa aturan yang benar? Antibiotika tidak diminum secara tepat dan sesuai indikasi? Bahaya resistensi kuman menghantui. Belum lagi efek samping lainnya.
       Aturan sudah jelas, tinggal pelaksanaannya saja. Tapi mengapa hal ini masih saja terjadi? Ada beberapa hal yang dikemukakan, diantaranya adalah :
  1. Sanksi tidak diterapkan secara tegas bila ada pelanggaran. Ini bisa dilihat dari pernyataan mereka bahwa apotik lain juga melakukan hal yang sama. Bahkan toko obat juga melakukannya. Di lain pihak tidak ada tindakan hukuman yang diterapkan.
  2. Ini adalah masalah tanggung jawab dan etika yang telah dikesampingkan hanya untuk mengedepankan bisnis. Takut ditinggalkan pelanggan adalah alasan klise. Apabila tidak bisa memenuhi apa yang diminta pelanggan, takut apotiknya tidak laku.
  3. Alasan lain yang dikemukakan adalah karena masih banyak dokter yang juga melakukan dispensing. Alasan ini akhirnya hanya akan menjadi lingkaran setan. Hanya akan saling menyalahkan antar profesi.
Apapun penyebabnya, harus ada keberanian untuk menertibkan hal seperti ini. Dan ini berkaitan erat dengan motivasi yang membentuk perilaku. Bagaimana para pemangku kepentingan  menyikapi hal ini? Dinas kesehatan, Ikatan Apoteker Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, profesi kesehatan lainnya dan pemerintah?
Benang ruwet yang harus diurai satu-persatu.

No comments:

Post a Comment