Tuesday, April 19, 2011

IMO : HARAPAN TERHADAP PERATURAN BARU UNTUK MENDISIPLINKAN PNS (IMPLEMENTASI PP 53 TAHUN 2010)


A.    LATAR BELAKANG
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama bertahun-tahun selalu menjadi sorotan publik. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya, beberapa oknum PNS semakin membuat citra pelayan publik ini semakin parah.
Diperkirakan dari tahun ke tahun jumlah pelanggaran makin meningkat. Pelanggaran itu dari berbagai tingkatan, mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat.  Hal ini bisa dilihat dari berbagai kasus dan permasalahan yang harus diselesaikan di sub bagian kepegawaian, tidak pernah ada selesainya.
Penerapan peraturan disiplin pegawai berkaitan erat dengan motivasi dan perilaku. Pelanggaran terhadap disiplin pegawai ini kebanyakan dilatarbelakangi adanya suatu motivasi tertentu. Motivasi ini yang akan membentuk perilaku. Perilaku yang terus menerus akan menjadi budaya. Bermacam motivasi di balik munculnya berbagai pelanggaran ini. Tapi apapun motivasinya pelanggaran disiplin harus ditindaklanjuti.
Peraturan yang ada selama ini yaitu PP 30 tahun 1980 dianggap sudah tidak mampu lagi untuk mengatasi persoalan kedisiplinan PNS. Hal ini akhirnya dipandang sebagai salah satu alasan untuk dilakukan perubahan, sehingga muncul PP 53 tahun 2010 ini. Adanya peraturan yang baru ini dianggap sebagai salah satu reformasi birokrasi yang antara lain dimaksudkan agar lebih terjamin ketertiban, kelancaran pelaksanaan tugas, serta untuk lebih meningkatkan disiplin menuju lebih terwujudnya PNS yang profesional, dan mempercepat pengambilan keputusan terhadap suatu pelanggaran. Pertanyaannya adalah, “Bagaimana implementasi PP ini di lapangan? Perlukah aturan baru itu diadakan?”

B.    PERMASALAHAN DAN PENYEBAB MASALAH DISIPLIN PEGAWAI NEGERI
Permasalahan yang sering dijumpai dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai negeri, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.     Pelanggaran jam kerja/kehadiran.
Pelanggaran terbanyak yang dilakukan oleh PNS adalah mangkir dari jam kerja. Sampai saat ini, kinerja PNS sebagian besar masih dilihat dari kehadiran (absensi), masih belum menyentuh substansi hasil kerja. Dari yang hanya mangkir beberapa jam sampai hitungan hari. Dalam PP 30/1980, PNS harus masuk kerja berturut-turut selama tiga bulan dan baru bisa diberhentikan bila tidak masuk kerja enam bulan berturut-turut. Sehingga apabila ada PNS yang masuk kerja hanya saat pengambilan gaji, masih belum bisa dikenai sanksi tersebut. Tapi pada PP 53/2010, kehadiran PNS dihitung dalam jam. Sehingga apabila dalam sehari tidak masuk tanpa keterangan dalam beberapa jam saja, sudah bisa dianggap tidak masuk kerja.
2.     Pelanggaran terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
Masih adanya PNS yang asal masuk kerja. Pagi masuk, absensi, saat pulang dia pulang. Diantaranya bayak yang menggunakan waktunya untuk kegiatan yang  bukan urusan dinas. Belanja, kondangan, takjiah, urusan anak, adalah alasan terbanyak mereka mangkir dari jam kerja. Ada pula yang hanya duduk-duduk ngobrol dengan sesama PNS menghabiskan jam kerja. Praktis dalam sehari, walaupun absensi mereka penuh, sebenarnya mereka telah melakukan tindakan tidak disiplin, yaitu mangkir dari tupoksinya. Celakanya, banyak diantara mereka yang berdalih, mereka begitu karena tidak diberi pekerjaan, tidak ada pekerjaan sampai mereka yang tidak tahu apa pekerjaannya. Ada juga yang paham tupoksinya, tapi sengaja tidak melaksanakan dengan alasan sudah dibagi habis kepada staff. Biasanaya ini adalah para pejabat struktural.
3.     Pelanggaran keuangan.
Pelanggaran lain yang banyak dilakukan oleh PNS adalah pelanggaran di bidang keuangan.  Baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Dari yang jumlahnya sangat kecil sampai yang besar. Hal ini banyak dilakukan oleh PNS yang berhubungan langsung dengan keuangan. Beberapa kasus di Puskesmas dilakukan oleh bendahara pendapatan Puskesmas. Uang yang harusnya disetor ke kas daerah, tidak disetor atau hanya disetor sebagian. Beberapa kali ini terjadi. Ada yang ketahuan dan mendapat sanksi, ada yang baru ketahuan setelah bertahun-tahun.
4.     Pelanggaran peraturan perkawinan.
Pelanggaran terhadap peraturan perkawinan ini, yang terbanyak adalah kasus perselingkuhan antar PNS. Beberapa kali terjadi PNS tertangkap terlibat perselingkuhan. Kemudian poligami yang dilakukan tidak sesuai aturan yang berlaku, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Ada lagi kasus perceraian. Kasus-kasus tersebut, sering berdampak terhadap kinerja PNS secara keseluruhan.
Adapun penyebab terjadinya pelanggaran tersebut beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1.     Kurangnya pengawasan melekat dari atasan langsungnya.
Kurangnya pengawasan dari atasan langsung ini sangat bergantung pada gaya kepemimpinan masing-masing individu pemimpin. Ada yang ketat dan tanpa pandang bulu menerapkan aturan, ada yang sangat permisif terhadap kesalahan karyawan selama itu tidak menganggu pekerjaan. Tapi mengganggu pekerjaan atau tidak, pembiaran terhadap pelanggaran disiplin akan berimbas pada karyawan yang lain. Dan ini jelas tidak bisa dibiarkan.
Pembiaran ini mungkin bukan karena kurangnya pengawasan melekat dari atasan langsung. Tapi masih ada atasan yang rikuh pekewuh bila harus menegur, apalagi memberikan sanksi pada pegawai yang menjadi tanggung jawabnya. Perasaan ini muncul mungkin karena pegawai tersebut lebih senior, punya pengaruh atau merupakan saudaranya pejabat tertentu. Ada ketakutan dan kekhawatiran bila ditegur, akan berdampak pada jabatannya.
Ada juga karena kurangnya pemahaman para pimpinan bagaimana melakukan pengawasan melekat pada karyawan. Banyak pimpinan yang sudah melupakan “Buku Catatan Pribadi” karyawan yang bisa dijadikan dasar apabila mau mengambil keputusan terhadap karyawan. Kegiatan pembinaan terhadap staff juga sangat minimal. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya kegiatan rapat koordinas/meeting rutin antara pimpinan dengan karyawan langsung, terutama dengan staff sedikit, dan tanpa notulensi. Lebih parah lagi, tidak ada daftar hadir. Pembinaan karyawan perorangan juga tanpa pencatatan yang memadai, sehingga bila akan mengambil suatu tundakan, kesulitan untuk membuktikan alasan atas tindakannya. Misalnya sudah berapa kali ditegur secara lesan, kapan, berapa kali ditegur secara tertulis, kesepakatan, dan lain-lain.
2.     Tidak adanya standar kinerja yang jelas untuk setiap karyawan.
Tugas pokok dan fungsi yang ada dalam suatu satuan kerja, biasanya masih bersifat managemen, tidak operasional. Hal ini menyebabkan setiap karyawan kebingungan dalam menjabarkan tugasnya masing-masing. Harusnya tupoksi itu dijabarkan lagi ke yang lebih operasional dan dirinci.
Disamping tidak ada rincian, juga tidak ada standar capaian untuk menilai kinerja tiap karyawan. Capaian kinerja masih bersifat umum dan untuk satu institusi yang biasanya dituangkan dalam renstra. Bukan target capaian kinerja individu, kecuali untuk pejabat fungsional yang sydah jelas dengan menggunakan angka kredit.
3.     Tidak adanya aturan reward yang jelas bagi PNS yang berprestasi.
Selama ini, dalam birokrasi, bila ada PNS yang bekerja dengan baik, masih banyak dikatakan memang seharusnya begitu. Bila dia bekerja buruk, akan mendapat sanksi. Sehingga ada beberapa PNS yang mengatakan, “Bekerja baik atau tidak, dengan pangkat/golongan atau jabatan yang sama, gajinya dan tunjangannya sama.” Tidak ada perbedaan perlakuan/gaji/penghargaan yang diterima oleh PNS apakah dia rajin atau tidak. Selama absensinya penuh, bekerja atau tidak tetap digaji. Ini akan menimbulkan kecemburuan pada karyawan yang kinerjanya baik. Apalagi bagi karyawan yang kinerjanya baik, biasanya pimpinan akan cenderung membebankan pekerjaan pada mereka.
4.     Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku pelanggaran disiplin pegawai dan cenderung pilih kasih.
Sanksi yang sebenarnya sudah jelas di dalam aturan, sering tidak dilaksanakan sesuai aturan. Pertimbangan kemanusiaan sering sebagai alasan, disamping alasan lain.
Juga adanya pelanggaran yang sama pada dua PNS yang berbeda, bisa sanksinya berbeda, hal ini banyak alasannya. Seperti yang sudah disebutkan di atas.

C.    PEMBAHASAN
Sebenarnya kita sudah memiliki aturan yang cukup untuk membuat PNS menjadi disiplin selama peraturan itu dilaksanakan secara tegas.  Untuk disiplin jam kerja, adanya PP 53 tahun 2010 ini memberi harapan bahwa pengambilan keputusan bagi PNS yang mangkir kerja menjadi semakin cepat. Karena hitungannya adalah jam. Tapi ini tidak ada artinya bila pelaksanaannya di lapangan masih seperti dulu. Sistem absensi masih menggunakan sistem rapelan dan tidak ada kepedulian untuk mengawasi kehadiran ini menjadi lebih intensif.
Harus ada penjabaran tupoksi menjadi lebih jelas dan operasional dengan standar target yang terukur. Hal ini yang tebanyak kesulitan ditemui pada pejabat struktural  dan staff umum. Misalnya, standar koordinasi, berapa jam, target kinerjanya apa dan sebagainya. Ini memeng diperlukan kerja keras dan kesepakatan bamyak pihak untuk menjabarkannya. Karena yang dimaksud koordinasi ini akan sangat luas artinya dan bisa berbeda tiap bidang atau seksi.
Reward bagi PNS sebenarnya sudah sangat jelas. Misalnya enaikan pangkat. Dalam PP 12 tahun 2002 dengan jelas dikatakan bahwa kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS terhadap Negara. Baik reguler maupun pilihan ada atrurannya. Tapi saat ini benarkah aturan itu dilaksanakan secara benar? Banyak PNS naik pangkat dengan “memaksa” karena sudah berada di pangkat/golongan tertentu selama jangka waktu tertentu. Mereka menganggap itu hak. Sehingga bila tidak naik pamgkatnya akan menuntut. Padahal mungkin kinerjanya tidak pantas untuk naik pangkat.
DP3 sebagai alat lain juga tidak berfungsi. Ada anggapan bahwa DP3 harus selalu naik tiap tahun. Padahal harusnya tidak. Naik, turun, tetap, berdasarkan standar yang sebenarnya sudah jelas. Tapi bila ada penurunan, pimpinanlah yang dianggap bersalah dan tidak mampu membina. Jadi, tiap tahun DP3 harus naik supaya bisa naik pangkat.
D.    KESIMPULAN
Ada harapan bahwa munculnya PP 53 tahun 2010 ini akan melengkapi peraturan-peraturan kepegawaian lainnya yang sudah ada. Yang penting perlu ketegasan dan keberanian dari para pengambil keputusan untuk melaksanakannya secara tegas dan tidak pilih kasih. Sehingga harapan untuk melihat PNS yang profesional di masa mendatang bukanlah sekedar harapan. 



No comments:

Post a Comment