Tuesday, April 19, 2011

PELAKSANAAN INA-DRG/INA-CBG DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MASIH BERKENDALA

Penerapan INA-DRG yang kemudian digantikan oleh INA-CBG di Rumah sakit Umum di Daerah  dilaksanakan dalam rangkaian pelaksanaan Program Jamkesmas untuk pasien tidak mampu. Adapun pelaksanaannya masih banyak menghadapi kendala, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. SUMBER DAYA MANUSIA
Penerapan INA-DRG/INA-CBG dilaksanakan oleh pengelola di rumah sakit dengan pelaksananya 1 (satu) orang petugas di Catatan Medik, 2(dua) orang petugas di pelayanan dan 3(orang) petugas keuangan. Sehingga untuk pelaksanaannya di RS relatif tidak ada hambatan.
Hambatan muncul pada verifikator, dimana jumlah verifikator yang hanya dua orang dirasa kurang mencukupi untuk menyelesaikan tugasnya melakukan verifikasi terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh RS. Hal ini menyebabkan lamanya penyelesaian administrasi untuk klaim biaya oleh RS ke bendahara Jamkesmas. Menurut pihak RS, idealnya jumlah verifikator minimal tiga orang. Ini terlihat dari administrasi yang sudah diselesaikan oleh RS untuk mendapatkan verifikasi dan bisa diklaimkan baru sampai bulan Oktober 2010, padahal pihak RS sudah menyelesaikan sampai bulan Maret 2011.
2. SARANA PRASARANA
Untuk sarana prasarana cukup memadai. Software yang dibuat oleh Pusat relatif mudah dan bisa dikerjakan oleh pihak RS. Dibandingkan IRNA-DRG, untuk IRNA-CPG lebih banyak jenis penyakit yang masuk, yang sebelumnya tidak ada di IRNA-DRG. Codding juga cukup mudah ditemukan dan diterapkan.
3. KLAIM PEMBIAYAAN
Klaim pembiayaan dari Bendahara jamkesmas juga relatif lancar dan tidak ada kendala. Uang yang ada di bendahara Jamkesmas diklaimkan oleh pihak RS, kemudian masuk sebagai pendapatan RS. Rata-rata tiap bulan mencapai Rp 650.000.000,- (enamratuslimapuluh juta rupiah)
Untuk besaran penggantian biaya perawatan, bila dijumlah total keseluruhan, pihak RS tidak mengalami “kerugian”. Beberapa kasus ada yang di atas tarif RS, beberapa ada yang di bawah RS. Kasus yang besarannya di bawah tarif RS, biasanya yang berhubungan dengan perawatan di ruang rawat inap.
Permasalahan yang muncul dalam penggantian biaya operasional RS, berkisar pada paket yang di bawah tarif RS, diantaranya :
a. Kasus penyakit tetanus dewasa yang beberapa kali terjadi di berbagi RS di Banjarnegara. Plafon paket untuk perawatan kasus tetanus adalah Rp 1.300.000,00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah), termasuk untuk perawatan rawat inap. Ini tidak mencukupi, karena untuk Anti Tetanus Serum (ATS) saja mencapai Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah). Belum termasuk obat-obat lain. Ditambah biaya perawatan, jauh dari cukup karena biaya total yang dibutuhkan mencapai lima juta rupiah lebih.
b. Semua kasus persalinan dengan seksio sesaria. Paket yang disediakan plafonnya Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah), sementara tarif RS mencapai Rp 2.300.000,00 (dua juta tiga ratus ribu rupiah). Dalam paket ini sudah termasuk tranfusi darah dan pengadaan darah bila membutuhkan. Tarif RS belum termasuk tranfusi darah. Karena kasus rujukan yang harus diakhiri dengan seksio cukup banyak, maka pihak RS “tombok” cukup banyak.
c. Paket apendiktomi tanpa komplikasi. Plafon paket yang disediakan adalah Rp 1.700.000,00 (satu juta tujuh ratus ribu rupiah) termasuk perawatan di bangsal. Tarif RS mencapai Rp 2.500.000,00 dan belum termasuk rawat inap.
d. Perawatan luka bakar dengan paket di Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) tidak mencukupi untuk perawatan luka bakar dengan luas lebih dari 30%. Karena obat dan lama perawatan. Agar bisa disesuaikan dengan paket terbagi.
e. Kasus Diabetes mellitus (IDDM) di mana pasien sudah bergantung pada insulin yang diberikan secara injeksi. Pasien berobat jalan kontrol sebulan sekali dan sekali kontrol mendapatkan R/ untuk insulin injeksinya mencapai tiga flakon yang tiap flakon harganya Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Sehingga sekali kontrol untuk insulin saja dibutuhkan Rp 450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah), belum obat lainnya. Padahal paket yang disediakan untuk sekali kontrol hanya Rp 125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah). Ada kekurangan yang cukup besar yang harus ditambah oleh RS.
f. Pengadaan darah untuk tranfusi. Pada INA-CPG, darah untuk tranfusi sudah termasuk di dalam paket biaya tindakan (operasi, seksio sesaria) dan tidak dipisahkan untuk diklaimkan tersendiri seperti sebelumnya. Ini menyulitkan, terutama pada kasus seksio sesaria yang hampir selalu membutuhkan darah. Paket yang disediakan di bawah tarif RS, sehingga darah tidak mendapatkan penggantian biaya. Ini menyebabkan tagihan PMI terhadap RS untuk darah menjadi besar. Tiap bulannya mencapai rata-rata antara Rp 40.000.000,00 – Rp 50.000.000,00 (empat puluh hingga lima puluh juta rupiah).
Untuk ini pihak RS mengharapkan agar pengadaan darah untuk tranfusi dapat diklaimkan terpisah. Jangan dijadikan satu paket, karena tidak semua tindakan membutuhkan tranfusi darah.
g. Untuk mengatasi kekurangan ini pihak RS melakukan subsidi silang, sehingga semua biaya operasional bisa tertutup.
h. Secara keseluruhan pihak RS masih mendapatkan “sisa” pembayaran dari jamkesmas untuk operasional. Untuk menutup operasional ini, agar bebepata paket dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan plafonnya.
4. TIM CLINICAL PATHWAY RS
Sampai saat ini RS tidak memiliki Tim Clinical Pathway (CP) yang menyusun CP milik rumah sakit sendiri. Tarif RS masih belum berdasarkan CP yang disusun RS. Tarif masih disusun mengikuti tarif sebelumnya dan penyesuaian dengan menggunakan persentase dari tarif sebelumnya.
Pihak manajemen RS menghendaki tidak perlu ada Tim CP tersendiri dan penyusunan CP sudah termasuk tuposi dari Komite Medik (Komed). Tapi sampai sekarang, Komed yang diketuai oleh dokter spesialis penyakit dalam ini tidak berfungsi untuk menyusun CP. Masih ada keengganan di antara anggota Komed untuk menyusun CP. Tapi Komed telah menyusun Protap pelayanan sesuai yang distandarkan dalam akreditasi RS. Tapi baru sebatas pada pelayanan klinik saja.
Pihak RS mengharapkan ada aturan yang jelas dari pusat mengenai Komed ini dan termasuk dalam penyusunan CP.

2 comments:

  1. Di rumah sakit bapak berapa BOR nya dan LOS nya ....di tempatku LOS nya rata rata lebih dari 180 hari karena pasien Jiwa ....ada yang bisa di share dari Kasus Jiwa pak ??...soalnya banyak nombok kalo dah gini ....atau terkadang harus SJP fiktif agar bisa masuk paket awal lagi ...mohon share

    ReplyDelete
  2. di rumah sakit kami BOR sekitar 75% dan LOS sekitar 5 hari. tidak ada pasien jiwa yang dirawat. kalau ada kasus jiwa yang perlu dirawat, akan dirujuk ke RSUD Banyumas atau RSJ Magelang. di sana informasi mungkin lebih lengkap. Soal tombok, hampir semua rumah sakit tombok,dan ini dilema umum yang dialami RS. tapi mau bagaimana lagi? RS pemerintah harus melaksanakan program yang sudah ditetapkan dan kenapa harus ada SPJ fiktif?

    ReplyDelete