Sunday, August 22, 2010

FYI : ASKETISME POLITIK

Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, menyerukan agar para politisi melaksanakan asketisme politik. Lalu apa sih asketisme politik itu? Ada satu artikel di bawah ini yang semoga bisa memberi sedikit gambaran tentang asketisme yang ternyata tidak hanya harus diterapkan dalam kehidupan berpolitik, tapi juga hendaknya dapat mewarnai kehidupan kita sehari-hari.


Asketisme Politik Para Politisi


Oleh: Hajriyanto Y Thohari, MA

KONSEP asketisme (ascetism) memang bisa saja dirujuk ke Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930).

Tetapi dapat juga dirunut dari khazanah sufisme atau tasawuf (mistisisme dalam Islam). Juga, rasanya ada baiknya dalam hidup yang tidak lama (fana)ini kita sesekali menengok khazanah sufisme yang luar biasa kaya dengan tingkat relevansinya yang nyaris abadi dalam kehidupan itu. Istilah asketisme sepadan dengan istilah zuhud (al-zuhd) yang berasal dari khazanah sufisme atau tasawuf.

Kata tasawuf itu sendiri,demikian antara lain menurut Al-Kalabadzi dalam Al-ta’aruf li madzhabi ahli ‘l-tasawuf (1969:6),sebenarnya berasal dari kata al-suf (semacam kain wol yang kasar). Pasalnya, dulu orang-orang yang mempraktikkan ajaran tasawuf itu mempunyai kebiasaan berpakaian wol kasar (al-suf, sehingga karenanya orangnya disebut sufi, atau pengamal tasawuf), sebagai simbol kesederhanaan (antikemewahan).

Walhasil, tasawuf itu sebenarnya dapat juga dibaca sebagai kritik dan protes atas maraknya kemewahan, kemegahan, dan hidup berlebihan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat waktu itu. Inti tasawuf adalah sikap hidup asketis, yaitu meninggalkan kelezatan keduniaan (al-imtimta’ min ladzaidzil dunya) dan menjauhi materi.

Tetapi pada abad-abad berikutnya zuhud atau asketisme itu dipahami sebagai menjauhi dunia dan keramaian,yakni menyepi dan melakukan praktek eskapisme atau alienasi diri dari keramaian dunia sambil melakukan latihan-latihan rohani (riyadhah) dalam rangka untuk menyucikan jiwa. Menurut orientalis Ignas Goldziher, sikap asketis yang ekstrem ini lahir karena perasaan bersalah dan ketakutan yang berlebihan pada siksaan di alam akhirat nanti.

Dalam tulisan ini,istilah asketisme digunakan tidak dalam pengertian menjauhi dunia (politik) secara ekstrem seperti tersebut di atas. Asketisme di sini berarti sikap hidup sederhana, bersahaja (Jawa: prasaja), tidak berlebihan,dan jauh dari sikap hidup berfoya-foya. Asketisme di sini mungkin lebih tepat semacam sikap hidup bersahaja (Jawa: prasaja, sak madyo, dan sak cukupe).

Meskipun mampu untuk hidup mewah, glamor, dan berfoya- foya, tetapi itu tidak dilakukan karena hadirnya kesadaran bahwa sebagai bangsa kita memang masih harus hidup sederhana dan prihatin. Tidak justru hidup ”beringas” tanpa peduli lingkungan sekitar. Sikap hidup beringas ini biasanya dilakukan oleh orang-orang kaya baru (Perancis: nouveau riche).

Khazanah sufisme mengajarkan sikap hidup asketis, bersahaja, sak madyo, kata pujangga Jawa kenamaan, Suryamentaram. Lantas apa yang dimaksudkan dengan asketisme politik dalam tulisan ini? Jawabnya: berpolitik secara bersahaja. Asketisme tidak berarti menjauhi politik, apalagi yang bersifat eskapistis. Sebab eskapisme politik (political escapism), apalagi apatisme politik (political apatism) atau sinisme politik (political cynism), berarti lari dari tanggung jawab.

Para politisi cukup untuk disebut asketis jika dia berpolitik secara bersahaja dan tidak berlebihan, meskipun secara otoritatif mungkin saja dia sangat berhak dan mampu untuk melakukannya. Berpolitik tidak di sembarang tempat dan waktu, tetapi berpolitik secara empan papan. Berpolitik secara asketis dapat diwujudkan dengan tidak menjadikan semua hal sebagai komoditas politik.

Kalau semua hal dipolitisasi atau dimainkan secara politik, itu namanya berpolitik sak kecekele (sekenanya)! Sebagai anggota DPR atau pimpinan partai politik, misalnya, dia bisa saja menjadikan semua hal sebagai komoditas politiknya. Politisi yang memiliki sikap hidup asketis tidak mau melakukan itu karena ingin berpolitik secara empan papan.Tidak semua hal dipolitisasi.

Pasalnya, tidak semua yang bener itu pener (tepat)! Politikus yang tidak memiliki jiwa asketis sangatlah destruktif. Ambisi politiknya menjadi sangat liar. Tidak ada yang dipikirkan dan dikerjakan kecuali bagaimana melakukan muslihat untuk menggoyang kemapanan.

Kerja politik dipahami sebagai menggoyang kemapanan perpolitikan. Setiap hari, isu yang diteriakkan adalah menggoyang kemapanan karena mengira dengan itu semua peluangnya untuk masuk kekuasaan terbuka bagi diri dan kelompoknya. Pertanyaannya kemudian, adakah politikus asketis di sekitar kita dewasa ini? Meski dibandingkan dengan masa-masa sekitar kemerdekaan jumlahnya terus merosot, tetapi melalui interaksi sehari-hari kita bisa menemukannya di sekitar kita.

Mungkin secara persentase atau proporsional sangatlah kecil, apalagi jika dibandingkan dengan kalangan ilmuwan dan intelektual, tetapi secara numerik politikus asketis masih banyak. Mereka bukan hanya ada di parlemen atau partai politik, tetapi juga di pemerintahan. Mereka bukan hanya asketis secara politis, melainkan juga hidup secara asketis. Bahkan, di tengah-tengah rekan-rekannya yang selalu bermanuver politik secara norak dan sak kecekele, mereka tetap saja bersahaja.

Nah, jika jumlah politikus yang memiliki sikap asketis ini semakin besar, baik secara angka maupun proporsi, saya rasa akan besar dampaknya bagi kebaikan bangsa dan negara kita ini: bukan hanya akan mengurangi rasa muak rakyat terhadap politik, melainkan juga meningkatkan rasa respek rakyat terhadap para pemimpinnya karena sama-sama bisa prihatin atas nasib bangsa yang kian terpuruk karena krisis panjang ini.

Dalam konteks Indonesia sekarang ini sampai beberapa tahun mendatang tampaknya sikap hidup asketis semacam itu sungguh sangat diperlukan. Apalagi bagi kalangan para politikus, pejabat negara, dan para elite pemimpin bangsa yang lain. Asketisme relevan pada mereka yang tersebut ini, sebab rakyat kebanyakan by nature memang sudah hidup asketis: menyerahkan soal negara ini kepada para pemimpinnya karena sudah hampir putus asa alias mupus.

Dengan kata lain, rakyat kebanyakan sudah asketis karena terpaksa! Pada saat di mana rakyat sudah menerimakan keadaan ini, sikap hidup asketis di kalangan elite rasanya perlu untuk diamalkan. Tentu,kalau mau! (*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/asketisme-politik-para-po

Hajriyanto Y Thohari, MA
Antropolog dan Pengamat Sosial Keagamaan

No comments:

Post a Comment